11 - Menjauh
Sudah satu minggu ini Reira mencari keberadaan sang malaikat, tapi belum pernah satu kali pun melihat batang hidungnya. Ke mana dia? Apa jurus menghilangkan dirinya sudah naik level lagi? Bagaimana bisa tidak terdeteksi oleh radar cintanya?
Gadis berkuncir kuda itu celingukan, ini sudah ke sekian kalinya ia mengunjungi koridor kelas X, sampai-sampai ia memiliki banyak kenalan di sini. Walau kebanyakan yang menjadi temannya itu anak cowok yang menyebut ia cewek perkasa.
Ia heran sendiri, kenapa semua yang berjenis kelamin laki-laki selalu menyebalkan? Selalu berhasil membuat darah mendidih dengan celetukan-celetukan tidak bermutu?
Kecuali satu, malaikatnya. Dia idaman banget! Udah ganteng, pintar, enggak neko-neko pula. Duh, Reira ingin segera menjadi pacarnya!
Tapi kalau dia hilang terus seperti sekarang, bagaimana bisa Reira menyatakan perasaannya?
"Kak Rei, ngapain sih ke koridor kelas X mulu, gue sampe bosan lihat wajah kakak!" ujar salah satu berandalan kelas X bercanda.
Reira mengembuskan napas lelah, ia sudah capek celingak-celinguk, lantas memutuskan untuk ikut duduk lesehan di samping cowok yang baru dikenalnya tiga hari lalu itu.
"Tahu tragedi bola voli satu minggu yang lalu? Gue mau minta maaf sama dia."
Seketika cowok itu menjawab semangat, "Tahu, Kak! Kak Rei keren banget, deh! Ajarin gue buat spike ke kepala orang juga, dong!"
Kampret!
Reira menjitak cowok bernama Feri itu kesal. Ia sungguh tidak sengaja, kenapa banyak sekali orang yang tidak percaya?
Feri mengelus-elus kepalanya sayang, lalu berseru takjub, "Wah, kekuatan Kak Rei emang beneran mirip gorila!"
Reira mengacungkan tinju, kesabarannya benar-benar habis. Tuhan, kenapa ia selalu bertemu dengan manusia tidak waras?
"Feriiiiiiii!!!!!" Teriakan seseorang terdengar dari belakang mereka, seorang gadis dengan rambut sepinggang dan mengenakan jepit bunga mawar sedang berkacak pinggang di pintu. Wajah manisnya terlihat menggemaskan saat ia melotot marah. Tatapan setajam silet ia layangkan pada teman satu kelasnya yang paling bandel. "Mana pulpen gue? Lo kalau minjem suka lupa diri sampai tintanya ludes!"
Feri memberengut, lantas bertanya tidak suka. "Siapa yang pinjam sama lo? Cih!"
Gadis itu semakin melotot garang. "Lo yang minjem dasar gak tahu diri!"
Feri membalas sebal, "Kapan gue bilang minjem? Gue kan minta!"
"Kampret! Sini lo!"
Mereka pun bermain kejar-kejaran bak adegan film India di koridor. Tidak sadar jika dari ujung tangga ada anggota OSIS yang siap memasukan nama mereka ke dalam daftar hitam.
Reira geleng-geleng kepala, kenapa drama pulpen selalu ada di sekolah? Tapi kasus Feri ini masih ringan, bocah itu jujur bilang kalau dia minta. Beda dengan anggota kelasnya yang sudah berada di level pro dalam hal maling pulpen.
Pernah dulu Reira sedang menulis, karena pegal ia melepas pulpen sebentar, lalu meregangkan tangan. Tapi saat akan menulis lagi itu pulpen sudah lenyap. Sampai sekarang masih belum ada kejelasan tentang keberadaannya. Tapi orang dengan kemungkinan terbesar menjadi tersangka adalah Zidan, cowok itu duduk tepat di samping kanannya.
Ia kadang berpikir, apa anak-anak di kelasnya memelihara tuyul yang berspesialisasi dalam mencuri pulpen? Atau teman-temannya yang memang sangat ahli dalam hal nyolong pulpen? Sungguh sebuah misteri.
Reira akan membuka mulut untuk berbicara ketika sadar tadi Feri sudah pergi meninggalkannya. Lah, dasar kutu kupret! Sudah jomlo kenapa malah ditinggal sendiri?
Ia segera bangkit saat dirasa tidak ada kepentingan lagi di sana, mungkin sebaiknya dia menghabiskan sisa waktu istirahat dengan bergunjing ria bersama Nazril dan Zidan saja. Rasanya sudah lama juga ia tidak merusuh di kantin bersama mereka.
Sebelum berbalik, ia menyisir koridor kelas X sekali lagi. Siapa tahu kali ini bisa menemukan malaikatnya.
Dapat!
Ardi berada di ujung koridor, tetapi saat ia melihat Reira, lelaki itu segera berlari ke arah di mana tangga berada. Tangga yang biasanya digunakan oleh anak-anak jurusan IPA. Mengarah langsung ke lapangan voli di bawah.
Reira mengerutkan kening, kenapa lelaki itu selalu lari ketika melihatnya?
Iya, sekarang ia sadar. Bukan, tetapi berhenti menyangkal. Selama satu minggu ini, tidak, setelah dihukum bersama untuk membersihkan taman belakang dulu lelaki itu selalu berlari ketika melihatnya.
Awalnya ia hanya berpikir itu kebetulan. Tetapi sepertinya ... bukan. Ardi memang sengaja menghindar.
Tapi ... kenapa?
Apa ia punya salah?
Reira tidak merasa pernah melakukan kesalahan. Justru, bukankah selama ini ia hanya ingin mengungkapkan perasaan? Kenapa dia selalu menghindar?
Reira sungguh tidak mengerti.
Tanpa berniat mengejar seperti biasa, ia segera menuju ke arah tangga yang biasa digunakan oleh anak-anak jurusan IPS. Otaknya masih sibuk memikirkan kenapa ia dihindari.
"Akhirnya pergi juga," suara seorang gadis terdengar keras, membuat Reira menghentikan langkah, lalu suara itu berlanjut, "ngapain sih dia ke kelas X mulu? Bikin sumpek aja. Dia udah bikin pangeran kita kesakitan, tapi masih gak tahu diri dengan menampakkan batang hidungnya di sini."
Reira mengerutkan kening, pangeran? Siapa?
"Iya," suara dari gadis lain terdengar, "kalian pasti sadar kan kalau pangeran kita selalu lari setiap melihatnya?"
Maksudnya ... Ardi? Reira masih belum paham.
"Dasar kakak kelas enggak tahu diri! Dia juga flirting sama cowok-cowok keren di angkatan kita! Untung aja Pangeran Ardi beda, dia sangat membenci Kak Reira! Ayo kita dukung juga."
Sekarang Reira yakin ia yang mereka bicarakan. Dasar adik kelas tidak beretika, bagaimana bisa mereka melanggar kode etik menggosip? Seharusnya mereka menjelek-jelekkan orang lain jika orangnya sudah tidak ada. Kalau seperti ini kan namanya jadi menghina terang-terangan. Ck, ck, ck. Dasar para penggosip amatir, sungguh tidak selevel dengan Reira.
Lalu, apa katanya tadi? Pangeran Ardi? Dasar kids zaman now korban sinetron! Bagaimana bisa mereka menggunakan panggilan alay seperti itu pada malaikatnya?
Reira menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir, ia segera melanjutkan langkah, tidak terpengaruh sama sekali oleh ocehan adik kelas. Pikirannya sedang sibuk memikirkan Ardi, jadi sedang tidak mood cari ribut. Kalau mood-nya bagus, sudah ia ajak main cakar-cakaran adik-adik kelas bermulut manis itu. Lagipula, ia sudah terlalu biasa bertemu dengan orang-orang iri seperti mereka.
Hatinya sudah kebal. Terutama setelah berteman dengan Zidan yang kata orang gantengnya enggak ketulungan. Dulu ia juga sering dijadikan bahan gunjingan oleh kakak kelas dan teman seangkatan.
Ia tidak peduli apa kata orang tentang caranya bergaul. Tapi satu hal yang membuat jantung Reira berdetak gelisah. Ia sudah tidak bisa menyangkal.
Ardi ... benar-benar menjauhinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro