Bab 7
Gaes, udah muncul ya pov Otta untuk Series Jatah Mantan.
Kalo kalian tanya, beberapa bab ini Otta ke mana? Ada povnya sendiri di Karyakarsa...
Kalian bisa nemuin di sana gimana perasaan Otta.
Silakan ke karyakarsa, Mampir dan baca di sana...
kalo ada yg tanya, gak mau baca pov Otta gimana?
Enggak papa. Enggak masalah, cuma kalian enggak pernah tahu apa yang Otta rasain. Gitu aja. Enggak ngaruh ke cerita kok. Krn cerita memang kutulis berdasarkan POV Nabi.
--------------------------------------------------
Enggak yakin bisa, tapi kalau enggak dicoba siapa yang tahu hasilnya?
Ketemu sama Nita tanpa ditemani Otta?
Serius, gue sih gila banget rasanya. Cuma gue juga enggak paham kenapa Nita tiba-tiba aja punya nomor gue, terus ajakin gue ketemu gitu. Kemarin sih pas ditelepon dia bilangnya pengen kenalan aja, karena katanya dia, Otta sering banget cerita soal gue.
Aish, ngomong-ngomong soal Otta, tuh cowok masih aja ngambek. Dan hebatnya gue, masih aja enggak ada aksi buat minta maaf ke Otta.
Nabi ... Nabi, bodoh banget sih lo. Kenapa lo bisa seyakin ini bertahan sama ego lo, yang sebenarnya udah ketahuan salah?
Rumit dengan pikiran sendiri, gue coba nikmati minuman yang tadi udah gue pesan sambil nunggu datangnya Nita malam ini.
Sambil ngelamun, gue duduk di pojokan restoran, punggung bersandar di kursi kayu yang agak keras, sementara tangan gue muter-muterin sedotan di dalam gelas es kopi yang udah setengah cair. Lampu-lampu temaram bikin suasana jadi cozy, tapi tetap aja enggak cukup buat nenangin pikiran gue yang ribet sendiri.
Untung aja gue berhasil nemuin restoran yang enggak terlalu ramai, cuma ada beberapa orang yang kelihatan lagi sibuk sama urusan masing-masing. Kalau enggak mah, udah lagi pusing ditambah suasana gaduh, bisa ketebak gimana kacaunya mood gue.
Gue melirik jam di layar HP—udah lebih dari sepuluh menit dari waktu yang Nita tentuin. Enggak telat banget sih, tapi cukup buat bikin gue makin enggak sabar. Entah karena penasaran atau karena ngerasa aneh aja ketemu dia tanpa Otta.
Gue tarik napas panjang, ngerasa geli sendiri. Kenapa sih gue harus sepanik ini? Harusnya biasa aja, kan? Tapi tetep aja, ada yang enggak nyaman. Pikiran soal Otta juga masih berkeliaran di kepala gue, bikin suasana hati makin enggak jelas. Mungkin dengan ketemu Nita malam ini, setidaknya gue jadi bisa tahu sepusing apa Otta mikirin masalah dikeluarganya dia, terlebih saat kehadiran Nita.
"Nabi ..."
Suara teguran seorang cewek bikin mata gue membelalak lebar banget, karena enggak nyangka ternyata Nita secantik ini. Amat sangat jauh dari pikiran gue.
"Nita."
Gue refleks bangkit dari duduk, meskipun agak kaku, sementara mata gue masih sibuk mencerna sosok di depan gue.
Nita berdiri dengan senyum tipis yang entah kenapa berasa mahal banget. Cewek ini punya aura khas anak SCBD yang enggak bisa diabaikan—stylish tanpa usaha, percaya diri tanpa harus jadi over. Rambut hitamnya yang bergelombang jatuh sempurna di bahu, framing wajahnya yang tirus dengan mata sedikit sipit yang bikin dia kelihatan makin tajam. Kulitnya putih bersih, seolah pantulan lampu restoran aja bisa nambahin efek glow ke wajahnya.
Gue yang awalnya skeptis soal ketemu Nita sekarang malah ngerasa... kagum? Oke, ini gila. Dan gue, yang cewek aja, bener-bener jatuh hati sama kecantikan Nita.
Mungkin gue kena karma kayaknya. Awal-awal gue sebel sama Nita, waktu di Korea kemarin, sampai tahu dia itu kakaknya Otta, gue selalu mikir ah elah, Nita paling kayak mbak-mbak pada umumnya. Yang gila kerja tanpa mikirin penampilan. Terlebih lagi ada fakta buruk yang nyangkut dikepala gue, kalau Nita ini anak selingkuhan bokapnya Otta, makin-makin deh gue ngerendahin dia dalam pikiran gue.
Tapi sekarang, setelah ketemu langsung, berhadapan, gue jadi malu sendiri. Karena gue enggak ada apa-apanya dibandingin Nita.
"Maaf ya, pasti kamu nunggu lama deh." Dia melangkah mendekat, suaranya tenang, tapi ada kesan santai seolah dia tahu banget gimana cara ngontrol situasi.
Gue buru-buru duduk lagi, mencoba keliatan selow padahal kepala gue masih sibuk mikirin kenapa Otta enggak pernah cerita kalau Nita secakep ini.
Gimana Otta mau cerita, kalau gue aja uring-uringan mulu saat dengar nama Nita disebut.
"Enggak lama kok," jawab gue akhirnya, berusaha enggak kedengeran terlalu impressed.
Nita narik kursi dan duduk di depan gue, matanya mengamati sekilas sebelum akhirnya tersenyum lagi. "Akhirnya kita ketemu juga."
Dan gue enggak yakin ini bakal jadi pertemuan yang biasa aja. Karena pasti akan ada banyak hal yang kami bicarakan malam ini.
***
"Enggak nyangka bisa ketemu dan ngobrol sama kamu kayak gini," kata Nita sambil senyum manis, balas tatapan gue. Suaranya yang lembut, benar-benar nambah sempurna tampilan Nita dimata gue.
"Iya, aku juga enggak nyangka."
Ngelihat dia begitu ramah ngomong ke gue, plus pemilihan kata yang amat sangat sopan, gue akhirnya ikutin gaya ngomong dia. Pakai aku kamu, dan bahasa yang tentu saja sopan didengar untuk orang pertama kali ketemu.
"Maaf ya, kalau kehadiran aku bikin hubungan kamu sama Otta jadi keganggu. Otta udah cerita semuanya ke aku, dan aku harap kamu enggak perlu mikir aneh-aneh lagi, karena kehadiran aku dikeluarga Otta murni untuk restu."
Gue sempat tercenung, enggak nyangka Nita bakal ngomong sefrontal itu. Restu? Maksudnya, restu siapa? Bokapnya Otta? Atau... Otta sendiri?
Nita tetap tenang, ekspresinya enggak berubah sedikit pun. Tatapannya stabil, enggak ada tanda-tanda ragu atau gugup. Padahal gue yakin banget, kalau dia benar-benar paham situasi ribet yang ada di antara dia dan Otta, yang jelas-jelas masih susah nerima kehadiran dia di keluarga.
Gue mengamati gerak-geriknya. Cara dia ngerapihin rambut ke belakang telinga dengan jari lentiknya, cara dia nyender ke kursi tanpa kelihatan tegang, semuanya kelihatan effortless. Seolah dia udah biasa menghadapi percakapan berat tanpa harus kehilangan ketenangannya.
Tapi, justru itu yang bikin gue makin penasaran. Apa dia enggak capek? Maksud gue, hidup dengan status kayak dia—anak yang selama ini 'disembunyikan' dari keluarga Otta—pasti berat banget. Tapi di depan gue sekarang, dia enggak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda kelemahan.
Gue narik napas pelan sebelum akhirnya buka suara. "Kamu ngomong gitu, berarti kamu emang mau bagiin semua cerita ini ke aku, yang cuma orang luar dari keluarga kalian."
Nita mengangguk kecil. "Iya, aku mau berbagi cerita ini ke kamu. Karena aku yakin kelak kamu pun akan jadi keluarga."
Gue membungkam
Jadi keluarga mereka? Bah ... status aja masih enggak jelas.
"Lagi juga, aku sedikitpun enggak marah atau sakit hati waktu pertama-tama lihat Otta marah dan ngehindarin aku. Karena aku sadar, dengan kondisiku ini, siapa juga yang masih bisa dengan baik terima aku. Termasuk kamu agak skeptis ke aku, kan?"
Dia nyebut kata 'skeptis' dengan senyum tipis, seolah sadar kalau selama ini gue memang ngeremehin dia. Gue sedikit bergeser di kursi, ngerasa agak enggak enak sendiri.
"Jujur ya, aku enggak punya masalah sama kamu, Nit." Akhirnya gue mutusin buat ngomong lebih santai. "Tapi ya, kamu pasti tahu sendiri Otta tuh paling susah buat cerita atau ungkapin semua hal yang dia rasa dan pikirin. Jadi deh, aku ... aku..."
"Kamu sibuk gambar aku dalam pikiran kamu?"
"Ah ... iya. Sebenarnya enggak pengen kayak gitu, cuma ya aku enggak bisa juga tahan isi pikiran aku yang tiba-tiba munculin hal buruk soal kamu. Tapi yah, namanya juga orang belum kenal, kan? Enggak kenal maka enggak sayang. Makanya pas ketemu sekarang, aku langsung sadar semua gambaran buruk tentang kamu dalam pikiran aku nyatanya enggak sama sekali benar. Dan aku mengakui kesalahanku itu."
Wets, tumben banget nih gue. Ngaku salah, tanpa kata tapi ...
Apa ini sebuah kemajuan?
Nita ketawa kecil, suaranya halus, tapi ada sedikit ironi di sana. "Ya, aku tahu banget. Dan itu kenapa aku harus pelan-pelan."
Gue memperhatikan matanya. Walaupun tenang, ada sesuatu di sana—sesuatu yang bikin gue sadar kalau dia juga lagi mikirin banyak hal. Mungkin dia enggak menunjukkan, tapi gue bisa ngerasain bebannya. Dia berusaha keliatan kuat, tapi pasti ada bagian dari dirinya yang capek juga.
"Tapi, kamu enggak akan nyerah?" tanya gue akhirnya.
Dia geleng pelan. "Aku enggak akan maksa keluarga Otta buat nerima aku secepat itu. Aku cuma mau mereka tahu, aku ada di sini. Bukan buat rebut apa pun, bukan buat bikin hidup mereka lebih ribet. Aku cuma... pengen punya keluarga."
Jawaban itu bikin gue terdiam. Enggak ada nada putus asa atau drama dalam suara Nita, cuma kejujuran yang simpel. Dan itu, justru yang bikin gue ngerasa berat.
Mungkin, selama ini gue kebanyakan emosi sampai enggak sedikitpun kasih waktu buat Otta cerita masalah dia.
Gue buang napas pelan. "Kamu kuat banget ya."
Nita tersenyum. "Aku harus kuat, untuk diriku sendiri."
-------------------------------------------------
Nita dan kedewasaannya yang enggak dipunya sama Nabi....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro