Bab 4
Mana nih? Gak ada yang bom komen lagi... masih aku tungguin loh. Biar bikin aku semangatttt
--------------------------------------------------------------
Kalau mudah, bukan ujian namanya.
TAK SEGAMPANG ITU KUPERJUANGKANMU ... eak!
Malah nyanyi gue, enggak lihat itu si Otta ekspresinya udah panik banget. Iyalah panik. Baru dateng aja bapak udah introgasi banget-banget atas kehadiran Otta di rumah ini. Belum lagi ibu, yang tadinya fokus ngobrol sama gue di kamar, temanin gue bersiap buat pulang, ikutan curiga. Ekspresinya benar-benar menggambarkan rasa penasaran tinggi, tapi gue yakin ibu masih coba nerka-nerka siapa Otta sebenarnya, dan ngapain dia di sini.
Serius deh, moment ini yang sebenarnya gue takutin dari dulu. Karena itulah kenapa gue memilih punya hubungan backstreet sama Otta dalam 3 tahun kemarin.
Ikut gabung duduk di ruang tamu, dengan kursi bambu yang mulai usang, seratnya sedikit terkelupas tapi masih aman banget buat didudukin, gue lihat si Sulton masih cekikikan ngintip dari balik dinding dapur setelah teriakan toanya dia soal MANTAN.
"Dengan mas siapa?" tanya bapak hati-hati sambil mempersilakan Otta duduk.
"Narottama Pradana Putra, Pak. Bapak bisa panggil saya Otta."
"Owh, nak Otta. Temennya Nabi?"
"Betul, Pak."
"Kok bisa tahu Nabi ada di sini? Temen kerjanya?"
Otta enggak langsung jawab. Dia sengaja ngelirik ke gue terus, sampai gue kasih senyuman manis ke dia, baru deh Otta menggeleng ke bapak.
"Bukan, Pak. Saya teman kuliahnya Nabi dulu."
"Ah, satu kampus?"
"Iya, Pak. Satu kampus cuma beda fakultas aja."
Jujur aja, kalau gue lihat Otta lagi hati-hati banget kasih jawaban ke bapak. Mungkin ya, ini baru mungkin takutnya gue ke pedean, mungkin Otta enggak mau salah jawab dan bikin menyesal nantinya. Makanya pelan tapi pasti, jawaban yang Otta kasih bisa diterima bapak dengan baik.
Tapi sayangnya, bapak enggak berhenti sampai di situ. Mata beliau masih mengawasi Otta dengan tatapan analitis, sementara ibu ikut-ikutan memperhatikan, seolah berusaha menangkap sesuatu yang tersembunyi di balik jawaban Otta barusan.
Yah, gue sadar banget sih, meski bapak cuma orang kampung, dengan pendidikan seadanya, tapi jelas dia cukup tegas dengan kehidupan anak-anaknya. Jadi sampai sini paham lah ya, kenapa gue yang orang kampung bisa kuliah di Universitas Negeri terkenal di Jakarta dengan beasiswa full?
"Kalau beda fakultas, kok bisa deket?" tanya bapak penuh selidik.
Saat ibu mendatangi kami, dan duduk di sebelah bapak, wah benar-benar terasa sedang diadili. Mereka menatap kami, lebih tepatnya sih Otta, dengan amat lekat. Bahkan gue yakin sedikit saja gerakan yang Otta tunjukin bikin mereka curiga mati-matian, apalagi kalau sampai Otta salah kasih jawaban. Ini mah fix banget dia cuma bakalan jadi mantan selamanya buat gue.
Otta menarik napas, jelas banget dia lagi ngumpulin nyali buat jawab. Gue sih udah yakin, sebaik-baiknya dia merangkai kata, tetap aja bapak dan ibu pasti bakal nyari celah. Dan benar aja.
"Kami dulu sering satu organisasi, Pak," jawab Otta akhirnya. Gue hampir kasih jempol, tapi buru-buru gue tahan.
"Organisasi apa?"
"BEM, Bu."
Ibu mengangguk pelan, sementara bapak masih memasang ekspresi waspada. "Oh, berarti anak ibu ini aktif, ya?"
Gue cuman bisa nyengir kuda. Kayaknya Otta salah jawab nih. Ibu mah paham banget gimana gue? Dulu gue kalau enggak diamuk bapak buat belajar yang bener, mana bisa gue dapat beasiswa dan lanjut kuliah dari Yogya ke Jakarta.
Jadi kalau mendadak ibu dengar jawaban kayak gini sih, fix dia amat sangat enggak percaya.
"Ah, iya, Bu."
Otta ngeringis. Dia pun akhirnya sadar kalau ibu gue enggak percaya. Kami saling tatap lagi, terus bingung harus mengakhiri kondisi ini dengan cara apa.
Sulton masih cekikikan di balik dinding, dan itu makin bikin suasana tegang ini terasa absurd. Gue garuk kepala yang enggak gatal, sementara ibu menyipitkan mata ke arah Otta. Fix, kalau dia lanjut salah jawab, tamat riwayatnya.
"Bu, pak, udah dong introgasinya, Nabi udah mau ketinggalan pesawat nih," ucap gue buru-buru. Kalau enggak diginin bisa lanjut sampai besok.
"Nak Otta ikut ke Jakarta juga? Bukannya baru sampai ...."
Otta lanjut ngeringis. Mungkin Otta mikirnya ini ibunya si Nabi cenayang apa gimana, kok tahu banget kondisi dia?
"Besok harus kerja soalnya, Bu."
"Kerja di mana?"
Wah ... bahaya nih, ibu matanya mulai berbinar-binar. Gue yakin kalau Otta sebutin nama Perusahaan kantornya apa, terus tahu gimana kerjaannya, ekspektasi ibu bakalan jatuh.
"Saya arsitek."
Krik ... krik. Ibu diem. Dia ngelirik bapak, terus baru natap Otta lagi.
"Berarti bukan sarjana ekonomi ya kamu?"
Tuh kan! Bener aja. Sindiran ibu keluar juga. Ibu tuh ngerasa mahasiswa kalau enggak ambil jurusan ekonomi sama aja enggak kuliah. Karena menurut ibu, di Indonesia ini masih butuh banget sarjana-sarjana ekonomi yang bisa memperbaiki keadaan ekonomi di Indonesia. Padahal mah yang dibutuhkan itu cuma kesadaran pada pemimpin dalam menjalankan tugas-tugas mereka dengan baik.
"Bukan, Bu. Jurusan saya arsitek."
Kembali diem, gue semakin yakin ibu sama bapak susah buat terima kehadiran Otta.
"Udah ya, pak, bu. Nabi telat nih. Dari pada angus uang tiketnya, mendingan buru-buru kan?"
Walau kelihatan berat, ibu dan bapak akhirnya kompak ngangguk. Setelah ambil tas ransel di kamar, gue sama Otta siap-siap berangkat menuju bandara lagi. Tentu aja tanpa Otta istirahat, bahkan dia sampai enggak dikasih minum sama bapak dan ibu saking penasarannya mereka. Akh, gila sih, ternyata benar keputusan gue dari 3 tahun lalu, pacaran backstreet sama Otta adalah pilihan terbaik.
***
"Masih pengen ketawa?" tanya Otta terasa jutek saat kami sampai di bandara.
Gue langsung ngakak. Beneran, ekspresi Otta tuh priceless banget! Mukanya masih keki campur kesel, tapi juga capek karena tadi kena interogasi tanpa henti. Belum lagi perjalanan jauh dari Jakarta ke Yogya, pasti udah habisin energi dia juga, bikin gue nambah kasian. Tapi jujur aja sih gue senang gitu lihat Otta tersiksa begini. Kapan lagi coba lihat Otta enggak berkutik.
"Bi ..."
"Apa sih?"
Gue masih enggak bisa nahan senyum lebar tiap kali nginget gimana bapak dan ibu sukses bikin dia grogi.
"Bisa berhenti enggak?"
"Hahaha, kamu menyedihkan banget sumpah. Tampangmu bener-bener enggak kekontrol."
Otta mendengkus, merosot di bangku ruang tunggu dengan wajah penuh penderitaan. "Jujur aku masih enggak ngerti gimana kamu bisa ketawa setelah semua itu. Padahal kan semua itu berhubungan sama kita."
Gue duduk di sebelahnya, sengaja nyikut lengannya. "Iya, paham kok. Cuma ya, gimana enggak ketawa? Kamu yang biasanya ngeselin, selalu pede, mendadak jadi kikuk kayak anak magang ketemu bos besar."
Dia melirik gue tajam. "Kamu pikir coba, emangnya gampang ngomong di depan orangtua kamu kayak tadi?"
"Jadi sesusah itu ya? Mau nyerah?"
"Nyerah apa?" Otta ngelirik gue tajem.
"Nyerah buat perjuangin aku ...."
Diem seribu bahasa. Wah, salah ngomong nih gue kayaknya.
"Ta ...."
Otta masih diam. Dia menatap gue lama, ekspresinya sulit ditebak. Gue mulai gelisah, takut kalau dia beneran mikir ulang soal semua ini.
"Ta, jangan diem gitu ah. Maaf deh, aku tuh cuma becanda, sumpah," ucap gue buru-buru, berusaha nyengir tapi malah terasa canggung.
Dia masih diam, matanya masih mantap ke arah gue. Gue enggak suka momen kayak gini. Biasanya kalau Otta diam, artinya dia lagi mikir serius, dan itu bisa berujung keputusan yang bikin gue enggak siap.
"Ternyata perjuangan dari Jakarta ke Yogya masih enggak ada harganya dimata kamu. Sampai kamu masih mikirnya aku main-main jemput kamu kayak gini?"
Kalau tadi Otta yang diem, dengan seribu isi pikirannya. Sekarang gue yang nutup mulut gue rapat-rapat. Duh, Nabi, bisa-bisanya lo bikin Otta ngamuk!
-----------------------------------------
Mampus Nabi, si Otta kecewa dianggap main-main dalam perjuangannya...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro