Bab 3
Gimana yang baca? Komennya dikit nih, sedih deh. Padahal cuma berharap dikomen aja kok, enggak lagi jualan apapun.
------------------------------------------------------
Melawan orangtua bukan berarti tidak hormat, hanya saja, terkadang mereka yang membuat diri ini menjadi penjahat
Duh, lama banget sih! Posisi duduk gue udah salah tingkah sekarang. Bisa-bisanya ibu sama bapak ninggalin gue berdua si Slamet doang di ruang tamu ini. Bahkan Sulton, adek gue yang kurang ajar itu, ikut menghilang.
Aish, menyebalkan banget mereka. Mungkin mikirnya mereka pengen kasih gue ruang dan waktu buat kenalan sama Slamet. Padahal jujur aja nih, dari lubuk hati gue terdalam, yaudah ... gue cukup kenal namanya aja, enggak perlu bagaimana kepribadiannya.
"Saya panggil kamu Nabi aja enggak papa?"
Gue ngelirik dia, ngangguk sambil meringis. "Emang nama gue Nabi doang kok."
"Owh, kirain ada nama panjangnya." Dia kelihatan enggak enak sama gue. Bagus sih begini. Biar dia enggak ngarep lebih sama gue.
"Bapak sama Ibu enggak kreatif, Mas."
Dia natap gue, terus senyum gitu. Ya ampun, pelet mas-mas Jawa mulai beraksi.
"Nanti saya kreatif kok."
"Maksudnya?" Gue ngangkat alis, curiga.
Slamet ketawa, dia lagi dan lagi ngelirik gue. "Nanti saya yang kasih nama panggilan buat kamu."
Oh Tuhan, ini orang enggak usah repot-repot gitu kali ya. Gue aja enggak niat kenal lebih jauh, malah dia udah niat kasih nama panggilan segala.
"Enggak usah, nama gue udah Nabi aja." Gue jawab ketus, berharap dia paham kode kalau gue enggak tertarik.
Tapi, dasar Slamet, dia malah ketawa lagi. "Kamu tahu enggak, Nabi itu artinya pembawa pesan. Mungkin ini pertanda, kita ditakdirkan buat sesuatu yang lebih besar."
Ya Allah, serius nih? Gue pengen ketawa, tapi takut dosa. Ini mas-mas terlalu percaya diri atau gimana, sih?
Duh, rasanya gue cuma pengen duduk manis, diem di pojokan, nunggu waktu berlalu sampai orang-orang yang sengaja pergi itu balik lagi ke rumah.
Lagi juga, kenapa sih, orang-orang tuh suka banget maksa gue buat kenal sama orang lain? Gue udah cukup puas tahu nama dia Slamet. Titik. Enggak perlu tahu dia suka makan apa, hobinya apa, atau—amit-amit—zodiaknya apa.
"Mas, kita baru kenal. Enggak usah langsung mikir takdir segala," jawab gue gondok. Gue langsung aja pura-pura sibuk sama hp yang ada di tangan gue. Biar nih cowok sadar, gue enggak nyaman sama dia.
Slamet diem sebentar. Gue kira dia bakal nyerah, tapi ternyata enggak. "Ya udah, kalau gitu saya panggil kamu Bi aja. Nabi kepanjangan."
Gue mendelik. JANGAN! Itu kan panggilan biasa Otta buat gue.
"Kenapa? Enggak boleh, ya? Padahal biar kerasa akrab aja."
Aduh, kenapa gue harus terjebak dalam situasi begini?
Gue mendesah pelan, mata masih nempel di layar hp, pura-pura sibuk scrolling timeline yang isinya gue sendiri enggak peduli. Sumpah, apa dosa gue sampe harus ditinggal berdua sama Slamet di sini?
Gue lirik dia sekilas. Masih senyum, masih nyantai, masih kelihatan pede banget kayak enggak sadar kalau gue udah kasih kode keras buat enggak lanjut ngobrol.
"Enggak usah panggil Bi, Mas," kata gue ketus. "Nama gue Nabi, bukan BABI."
Slamet nyengir, kayak nemu hal yang menarik.
Wah, gue salah duga cowok satu ini. Gue pikir dia bakalan menyerah buat basa basi, atau cari topik pembicaraan sama gue setelah gue ketus ke dia. Eh, enggak tahunya dia malah nantangin.
Oke! Dia mau gue kasarin seberapa jauh sih?
***
Akhirnya si Slamet pulang juga. Itu juga setelah gue usir dengan kalimat, gue mau ada flight ke Jakarta malam ini. Untung aja dia masih paham pakai bahasa manusia. Kalau dia masih terus aja enggak paham, dan ngajak gue ngobrol terus, bener-bener gue ajak ngobrol pakai bahasa hewan dia.
Sumpah, kesel banget!
Pengen banget sebenarnya gue ngamuk ke ibu yang bisa-bisanya kenalin gue sama cowok model si Slamet ini, yang katanya ibu bibit bebet dan bobotnya baik, tapi menurut gue pengertiannya NOL BESAR! Serius deh, beda banget sama Otta!
Apa mungkin gue ngerasa beda, karena si Slamet ini lagi usaha buat dapatin perhatian gue, sedangkan Otta ....
"Mbak, kamu jadi berangkat sekarang?" tanya ibu waktu gue lagi bersiap sama barang gue dalam tas ransel.
"Sebentar lagi, Bu."
Gue jawab sambil putar otak cari alasan. Kan enggak mungkin gue bilang lagi nungguin Otta jemput, ibu pasti bingung dan enggak paham kalau sebenarnya anak perempuannya ini udah punya kekasih hati. Eh, maksud gue MANTAN kekasih hati.
Sambil natap wajah ibu yang penasaran, jujur gue ngerasa bersalah. Salah karena enggak kenalin Otta ke ibu waktu hubungan kami masih berstatus pacaran. Gue pengen banget ibu tahu ada cowok sebaik dan sesempurna Otta buat dijadikan teman hidup, baik dikala bahagia ataupun dikala duka.
Selama 3 tahun menjalani hubungan sama Otta di Jakarta, gue yang lebih milih sembunyiin hubungan ini dari orangtua. Terlebih bapak sama ibu pengen banget gue kuliah terus kerja sukses di Jakarta. Kalau mendadak dia dengar anaknya malah pacaran di kampus, bisa kecewa banget pastinya dia.
Cuma sekarang, setelah gue lulus, dan udah punya penghasilan, gue malah enggak bisa kenalin Otta sebagai pacar. Tapi malah sebagai MANTAN yang kebetulan liburan bareng ke Korea kemarin ini.
Absurd banget, kan?
Gue embusin napas pelan, sebelum sedikit demi sedikit pasang senyum biar ibu enggak curiga ataupun khawatir.
"Kamu lagi banyak masalah ya, Mbak?" tebak ibu, yang langsung gue jawab dengan gelengan kepala.
"Enggak, Bu. Cuma capek aja."
"Kalau gitu, baliknya senin aja. Minta cuti sama bosmu."
Gue pura-pura sibuk beresin rambut di depan cermin, padahal lagi nyari alasan biar ibu enggak curiga. "Besok pagi ada kerjaan, Bu. Jadi harus balik sekarang." Padahal kenyataannya, Otta lagi otw ke sini.
Ibu angguk-angguk aja. Dia kayak setengah percaya, setengah enggak. Tapi untungnya dia enggak coba lanjutin percakapan ini.
"Karena kamu pulangnya naik pesawat, bawa gudeg ya, Mbak. Sama ibu tadi beli keripik belut. Siapa tahu temen kosmu itu, siapa namanya?"
"Mila."
"Iya, Mila. Siapa tahu dia suka."
Yah, seperti orangtua pada umumnya, disaat anaknya pulang kampung tanpa bawa apapun, tapi baliknya selalu dibungkusin banyak makanan untuk bekal anaknya di kota.
Bener aja, enggak lama, ibu balik datang bawa oleh-oleh yang dia bilang tadi. Gudeg buatan ibu langsung, dan dua bungkus keripik belut.
"Makasih banyak, Bu."
"Sama-sama, Mbak. Lumayan kan buat sarapan besok pagi. Ibu tahu kamu pasti jarang masak!"
Gue mencibir sebal. "Sering kok, Bu. Masak air."
"Nabi ... Nabi."
Nyengir lebar, gue akhiri perdebatan ini dengan anggukan kepala. Jujur rasanya gue enggak sanggup kalau harus berdebat sama ibu.
"Udah semua, kan? Udah sana cepat berangkat. Nanti kamu ketinggalan pesawat, Mbak."
"Iya, Bu. Ini juga mau berangkat," jawab gue sebelum dengar adik gue, si Sulton, teriak dari pintu depan.
"BU!!! MANTANNYA MBAK NABI DATENG NIH!"
Gue nyaris ngejatuhin ransel dari pundak. Anak satu ini beneran enggak ada otaknya!
Gue langsung berbalik dan melotot ke Sulton yang udah berdiri dengan ekspresi kepo maksimal di ambang pintu. Itu anak kalau ada ajang gosip tingkat nasional, udah pasti menang!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro