Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

07 - Pengamatan Jared

Menjelang jam dua siang, Naira keluar kelas dengan langkah santai. Perkuliahannya sudah selesai untuk hari ini. Dia yang tidak begitu punya banyak teman, memilih untuk segera pulang saja dibanding nongkrong atau keluyuran tidak jelas.

Langkahnya sempat melambat ketika baru saja menuruni undakan di depan gedung kampus. Revin sedang berdiri di dekat anak tangga terbawah, tampak berbicara dengan senior Naira yang dikenalinya sebagai teman Revin semasa sekolah.

Menunjukkan wajah tidak pedulinya, Naira melanjutkan langkah tanpa merasa perlu menyapa Revin ketika dia melewati cowok itu. Dia bisa mendengar Revin berpamitan dengan temannya dan bergegas menyusul langkahnya.

"Hei, Sayang. Tunggu, dong," sapa Revin, melangkah cepat seraya menahan sebelah lengan Naira. Dengan mudah dia menghentikan langkah Naira dan berdiri di depan gadis itu. Senyum mengembang di bibir Revin, meski mendapati Naira malah menunjukkan wajah datar. Gadis itu menatapnya tanpa minat.

"Aku anterin pulang, ya," pinta Revin, mulai mencoba membujuk. Dia menggenggam salah satu tangan Naira dengan gerak lembut. Mengelus pelan seperti yang biasa dia lakukan untuk menenangkan gadis itu kala sedang merajuk.

Sekian detik, Naira membiarkan Revin menunjukkan wajah tanpa bersalahnya. Sebelum akhirnya menepis genggaman tangan Revin dan menggeser tubuh cowok itu dari hadapannya, agar bisa melanjutkan langkah.

Revin yang mulai menebak kalau usahanya tidak akan segampang sebelum-sebelumnya, mengembuskan napas panjang lalu menyusul Naira.

"Aku minta maaf. Aku salah. Please, Sayang. Lihat aku sebentar," pinta Revin, kembali memegangi sebelah lengan Naira untuk menahannya.

Lagi, Naira menghentikan langkah. Dikabulkannya permintaan Revin untuk menatap mata cowok itu lurus-lurus, tanpa merasa gentar. Senyum Revin sudah hilang. Ekspresi nelangsa yang sudah sering dilihat Naira, sekarang mulai menghiasi wajah cowok itu.

Lagu lama. Lihat saja. Apakah akan ada perubahan kata-kata dari segala pembelaan cowok itu kali ini? Cela Naira dalam hati. Biasanya sih akan sama saja. Itu-itu saja alasan dan pembelaannya.

"Sabtu itu, habis dari distro, aku langsung ikut anak-anak ke Anyer, terus ternyata acaranya memang sampai lewat tengah malam. Pas balik ke rumah udah mau subuh, terus ketiduran sampai mau sore. Orang rumah juga pada enggak ada pas aku bangun."

Revin tahu kalau Naira tidak benar-benar mendengarkan ucapannya. Mata gadis itu bergerak bosan ke arah lain tanpa mau memperhatikannya.

"Nai ...," ucap Revin, terdengar memohon, "sumpah, aku minta maaf. Aku tahu udah langgar janji seenaknya. Aku benar-benar minta maaf, Sayang," ulang Revin, kembali menggenggam tangan Naira. "Akhir minggu ini aku enggak akan ke mana-mana, aku mau sama kamu aja. Atau hari ini juga kita bisa jalan, kok. Kamu udah enggak ada kelas, kan? Pulang sama aku, ya, Sayang?"

Naira menggeleng pelan, tersenyum agak sinis. Matanya kembali menatap Revin, tapi kali ini lebih santai dibanding sebelumnya. "Hari itu aku enggak benar-benar nunggu kamu, kok. Aku tetap jalan sesuai rencana."

Revin mengerutkan kening mendengar ucapan santai Naira. Dia ingat, hari Minggu ketika dia terbangun mendekati sore hari dan tersadar kalau memiliki janji dengan pacarnya, Revin segera mengambil ponsel untuk memastikan berapa kali usaha Naira menghubunginya. Namun, dia tidak menemukan satu pun panggilan atau pesan dari gadis itu.

Kala itu Revin tidak ambil pusing. Malah langsung merasa tenang karena berpikir pacarnya mungkin mencoba mengerti dengan kemungkinan dia yang masih tertidur di hari liburnya.

"Kamu tenang aja. Aku enggak akan ngerepotin atau ganggu acara kamu lagi. Aku bisa jalan sendiri," ujar Naira, masih dengan santainya meski matanya tampak berkilat menahan marah.

Revin menegakkan punggung, menatap Naira dengan kening yang semakin mengernyit. "Apa maksud kamu?" tanyanya dengan nada tidak lagi memelas, tapi tegas.

Naira mengangkat ringan bahunya. "Enggak perlu merasa bersalah karena udah ngelupain janji. Aku udah biasa. Mending setelah ini, kita enggak usah bikin janji apa-apa. Terserah kamu aja. Kamu lakuin aja apa yang kamu suka. Aku juga ngelakuin apa yang aku mau. Bebas."

Revin menajamkan tatapan. Dia memang sudah terbiasa menghadapi mulut angkuh Naira, tapi memang belum pernah keangkuhan gadis itu melibatkan pengabaian terhadap dirinya.

Selama ini Revin selalu bisa membujuk ketika Naira merajuk. Hanya butuh waktu untuk mendengarkan omelan Naira. Setelahnya, gadis itu akan luluh saat Revin menunjukkan rasa sayangnya dengan gamblang. Namun, satu kali pun tidak pernah omelan Naira memuat kata-kata sinis yang mengisyaratkan ketidakpedulian atas hubungan mereka seperti tadi.

Jujur saja, Revin tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi Naira yang tenang tapi sinis seperti saat ini. Akan lebih gampang baginya kalau Naira menunjukkan kemarahannya seperti biasa. Namun, saat ini gadis itu sudah jelas sedang berusaha menyimpan emosinya. Tampak berniat menumpukkan agar nanti mampu menghantam Revin.

"Bebas? Apa maksudnya bebas?" Revin tidak suka mendengar kata itu dari mulut Naira saat ini. Terdengar sangat berbahaya dan mengkhawatirkan.

Naira mengatupkan bibirnya selama beberapa saat. Membalas tatapan tajam Revin dengan tatapan yang mulai sama tajamnya. "Aku enggak bisa lagi lanjutin ini."

Mata Revin melebar. Tidak menyangka kalimat sialan itu akan berani keluar dari mulut mungil Naira. "Apa-apaan, sih, kamu?!"

"Enggak ngerti?" tanya Naira, seakan menyayangkan. "Ya udah, kuperjelas. Aku mau kita putus."

"Naira!" tegur Revin agak keras, tidak peduli kalau mereka masih ada di depan kampus dengan para mahasiswa berseliweran di sana.

Jangan dikira Naira santai-santai saja ketika mengatakannya. Wajahnya memang terlihat cuek, tapi perasaannya terasa sakit. Dia tentu saja sedih harus berucap seperti itu di depan cowok yang pernah dianggapnya spesial. Meski Naira merasa kecewa, tapi rasa sayang itu masih ada walau semakin melemah.

Revin adalah sosok yang menunjukkan betapa manisnya jatuh cinta untuk pertama kali, meski pahit juga pada akhirnya. Namun, Naira juga merasa kesabarannya telah menipis. Dia bukan gadis baik hati, apalagi penyabar. Sudah mau bernegosiasi menghadapi Revin selama ini saja tergolong luar biasa untuk standar Naira.

Bukan menjadi prioritas. Secara tidak langsung, dengan sadar dia telah membiarkan dirinya seakan direndahkan oleh segala sikap tidak perhatian Revin selama ini.

Didatangi hanya saat rindu. Disayang hanya ketika ada waktu luang. Dijadikan nomor kesekian di atas kesenangan yang lain.

Naira tidak pernah diperlakukan seperti itu. Hanya Revin yang tega dan berani melakukannya. Tololnya, selama ini Naira membiarkannya dalam keadaan sadar. Hanya karena alasan cinta dan sayang, sesuatu yang sebenarnya bisa dia dapatkan tidak hanya dari Revin seorang.

"Ya, Tuhan, Sayang, kamu ngomong apa, sih?" Revin melunakkan suara. Sadar kalau tadi dia sudah termasuk kasar kepada pacarnya. Dia mengusap kasar wajahnya dan kembali menggenggam kedua tangan Naira.

"Aku bener-bener minta maaf karena semua kelakuanku yang enggak bisa selalu sama kamu. Tapi, tolong ... jangan ngomong begitu. Aku sayang sama kamu, Nai. Mana pernah ada cewek lain dalam pikiranku," ujar Revin, kembali mulai memohon dengan nelangsa.

"Memang, kamu enggak akan pernah sempat mikirin cewek mana pun. Karena dalam pikiran kamu cuma ada temen-temen kamu, PS, dan petualangan kamu mengejar sunset yang sama sekali enggak ada gunanya. Ah, juga distro kebanggaan kamu. Semua itu jauh lebih berharga dibanding pacar kamu sendiri." Naira memuntahkan unek-uneknya dengan gaya tenang, tapi bersuara dingin dilengkapi tatapan tajam ke arah mata Revin.

"Aku udah berkali-kali bilang. Kalau kamu sibuknya karena kuliah, aku bisa ngerti. Aku enggak masalah kalau kamu seharian fokus buat urusan kampus. Silakan. Itu kewajiban kamu. Tapi, setelahnya?" tanya Naira, menggeleng pelan. "Aku bahkan yakin kamu lupa sama tanggal jadian kita yang harusnya dirayain minggu lalu. Sudah pasti juga kamu enggak ingat, sama janji kamu untuk ngajak aku ketemu sama Mama kamu. Parah! Benar-benar parah kamu, Rev. Aku capek ngomong sama kamu," lanjut Naira, masih dengan gaya tenang. Bahkan mulai terkesan lelah untuk terus bicara.

Naira melanjutkan langkah menuju gerbang kampus, di mana mobil yang bertugas menjemputnya sudah menunggu di depan sana.

Revin sempat terdiam mendengar semua perkataan Naira yang terasa berbeda kali ini, meski sudah pernah disuarakan gadis itu sebelumnya. Dia kembali mengusap kasar wajahnya dengan frustrasi sebelum menyusul Naira yang sudah mencapai mobil jemputannya.

"Bukan karena ada yang lain, kan?"

Naira berhenti. Berpaling untuk menatap Revin dengan alis terangkat.

"Kamu ngomong semua ini. Tiba-tiba kayak enggak kenal kebiasaan aku gimana. Terus malah minta kita udahan," jelas Revin, menyuarakan kegundahannya. "Bukan karena ada cowok lain, kan?"

Dada Naira bergemuruh, marah dan tersinggung. Berani sekali Revin mencurigainya. Meski kenyataannya beberapa waktu ini dia memang memikirkan cowok lain, tapi Naira jelas menolak menyebut hal tersebut sebagai pengkhianatan. Toh, hubungannya dan Jared memang hanya sebatas status, bukan benar-benar menjalin. Itu pun belum resmi, hanya pembicaraan terbatas.

Seperti kata Jared, masih ada banyak kemungkinan untuk masa depan mereka. Namun, apa salahnya menghantam Revin sekali-kali? Memberi pelajaran kepada cowok itu kalau sekarang Naira memang telah benar-benar lelah dengan hubungan mereka yang lebih banyak menguras tenaga dan pikiran Naira. Sedangkan Revin malah merasa semuanya baik-baik saja tanpa peduli perasaannya.

Seraya menahan emosi yang rasa-rasanya terus membesar di hati dan pikirannya, Naira mengangkat dagunya untuk menatap angkuh kepada Revin. "Kalau iya, memang kenapa?"

Revin mengeraskan rahangnya, menatap Naira tajam. "Jangan bercanda, Naira. Aku tahu kamu cuma lagi nantangin aku."

"Terus kenapa tadi kamu berani mikir begitu?" balas Naira, masih dengan wajah angkuhnya.

Revin membuang napas kasar melalui mulut. Memejamkan mata sejenak, sebelum maju beberapa langkah agar bisa lebih mendekati Naira yang sudah berada di dekat pintu mobil.

"Kamu kenapa, sih? Kamu beda hari ini," ujar Revin pelan, kembali mencoba melunak untuk melemahkan Naira yang tampaknya berniat terus mengonfrontasi dirinya.

Biasanya Naira akan mudah luluh saat mendapati Revin bersuara lembut dan menatapnya penuh cinta seperti saat ini. Tapi sekarang, dia menolak bersikap lemah. "Aku capek, Rev. Enggak bisa terus-terusan begini," sahut Naira, ikut melemah dalam suaranya.

"Jangan, Nai. Please, jangan ngomong begitu," rintih Revin, semakin mendekati Naira dan berniat memeluk gadis itu.

Naira mundur, menghindari Revin yang ingin memeluknya. Dia memalingkan wajahnya. "Aku mungkin juga banyak salah karena enggak bisa benar-benar ngertiin kamu. Jadi, aku pikir kita memang butuh jarak untuk saling introspeksi diri."

Revin menggeleng keras, menolak. Tidak tahu harus berucap apa lagi. Sikap dan ucapan Naira selama beberapa saat ini sangat mengejutkannya.

"Cobalah untuk pikirin lagi semuanya," pinta Naira seraya membuka pintu belakang mobil. "Rasanya hubungan kita akhir-akhir ini memang udah beneran parah. Harusnya kamu bisa ngerti apa yang aku maksud. Itu pun kalau memang kamu bisa nyadarin, gimana kondisi kita yang sebenarnya."

Tidak sempat harus melakukan apa, Revin mengerjap dengan napas agak terengah ketika mendapati Naira sudah memasuki mobil dan menutup pintu mobil dengan cepat, tanpa merasa perlu mendengar tanggapan darinya.

"Nai! Naira, please! Buka dulu, Nai. Kita belum selesai ngomong!" cegah Revin, berusaha meminta Naira agar membuka pintu atau kaca mobil. Dia mengetuk kaca mobil sambil berseru nyaring, menarik perhatian beberapa mahasiswa yang sedang keluar-masuk gerbang kampus Naira.

Sia-sia. Mobil Naira melaju tanpa peduli dengan usaha Revin yang berusaha untuk menahan gadis itu. Revin mengumpat. Mencengkeram rambutnya sambil terus menatap nanar ke arah mobil Naira yang semakin menjauh.

Naira menangis dalam diam di dalam mobil. Tidak terisak, tapi air matanya terus mengalir tanpa mau berhenti. Kedua tangannya mengepal di atas pangkuan. Ingin berbalik untuk melihat Revin, tapi ditahannya sekuat tenaga.

Sementara kedua orang tersebut menghadapi kefrustrasian mereka masing-masing, Jared yang sedang bersandar santai di belakang kemudi mobilnya, menatap tenang ke arah Revin dari pantulan kaca spion.

Ketika melihat Revin berjalan memasuki gerbang kampus untuk mengambil motornya di parkiran, Jared menyalakan mesin mobil dan langsung menjalankannya untuk mengikuti mobil jemputan Naira.

Jared tahu mungkin apa yang sedang dilakukannya saat ini sangat kurang tepat. Terkesan mencampuri urusan orang lain. Namun, entah mengapa dia tidak bisa menahan diri untuk memastikan kondisi Naira secara langsung.

Kebiasaan selalu mengurusi gadis itu sejak mereka kecil, refleks membuatnya kepikiran saat tahu kalau Naira sedang menghadapi masalah dengan pacarnya.

Pancingannya untuk Revin ditanggapi cowok itu dengan cepat. Jadi saat tahu Revin tergesa meninggalkan kampus lebih cepat dengan niat mendatangi Naira di fakultas gadis itu, Jared ikut bergerak mengikuti tanpa sepengetahuan Revin.

Dia memarkirnya mobilnya di depan mobil jemputan Naira, agak jauh. Namun, dari posisinya, Jared tetap bisa menyaksikan apa saja yang sedang dilakukan Revin dan Naira bahkan sejak mereka di undakan gedung kampus Naira.

Jared memang percaya kalau Revin tidak akan berbuat hal di luar batas kepada Naira. Tapi untuk berjaga-jaga kalau saja suasana berubah menjadi berbahaya untuk Naira, maka Jared merasa tetap harus bersiaga. Kalau perlu, dia akan turun tangan apabila memang terjadi hal yang tidak diinginkan.

Sejauh dari apa yang bisa Jared amati, semuanya masih berjalan baik-baik saja. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya pembicaraan tersebut mampu membuat Revin sangat kacau. Kegagalan Revin kali ini dalam membujuk Naira tampaknya berakibat fatal.

Jared tahu kalau Revin akan punya banyak tempat dan orang yang bisa dia datangi, kalau memang sedang ada masalah dan butuh bantuan. Namun, tidak dengan Naira.

Gadis itu tidak punya teman dekat. Teman biasa saja rasanya tidak benar-benar ada. Sikap angkuh dan tertutupnya selama ini sama sekali tidak membantunya dalam bersosialisasi. Terlebih karena memiliki trauma dalam menjalin pertemanan, maka semakin saja membuatnya seperti penyendiri karena menolak dekat dengan sembarang orang.

Naira hanya punya orang tua yang bisa dia diandalkan kapan saja, juga mampu memahaminya dengan baik. Namun, terkait Revin, Jared tahu Naira tidak pernah mau ambil risiko menyebut nama Revin di depan orang tuanya yang tidak benar-benar menyukai cowok itu.

Jared yakin, untuk masalah saat ini, sudah jelas sekali kalau Naira hanya punya dirinya. Sebagai satu-satunya orang yang mengerti duduk perkaranya, tanpa perlu gadis itu bercerita panjang lebar.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro