Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga

Nara turun dari bus yang dia tumpangi dengan wajah kusut masai. Sepanjang jalan menuju rumah, mulutnya lancar sekali menggerutu dan tak lupa beberapa kali mengumpat tertahan.

Gadis itu meremas rambutnya gemas saat mengingat tulisan di secarik kertas yang ada di time capsule tadi.

"Demi apa gue dulu nulis kayak gitu? Ih, bego lo, Ra!" serunya gemas seraya menoyor kepalanya sendiri.

"Lagian, kenapa pula gue dulu suka sama Sam coba?" gumamnya seraya mengingat-ingat penyebab dia menulis pesan tak masuk akal itu.

"Emang sih... waktu SD dulu, ngelihat dia pas lagi seru-seruan sama temennya itu asyik. Terus... cakep juga."

Sesaat kemudian Nara menggeleng keras.

"Cakepan juga Taehyung ke mana-mana. Lagian, cakep doang, mulutnya nyebelin. Ya ampun, masokis banget gue kalau dulu beneran suka sama orang yang mulutnya bikin sakit hati gitu."

Menghela napas lelah, Nara mencoba melupakan kejengkelannya tadi. Gadis itu mendorong pagar rumahnya pelan karena memang sudah rapuh.

"Assalamualaikum," ujarnya seraya membuka pintu.

Dilihatnya sang Kakak dan mamanya yang langsung menghentikan pembicaraan mereka di ruang tengah, ketika Nara masuk.

"Kenapa pada diem?" tanya gadis itu curiga.

Saras, kakak perempuannya, berdiri dan berujar, "Kepo lo. Udah sana buruan ganti baju. Bantuin gue nyetrika baju pelanggan."

"Adik kamu itu baru sampai lho, Ras." Mamanya menggeleng pelan, lalu menoleh ke arah Nara. "Kamu udah ashar belum? Kalau belum, ashar dulu sana."

Nara mengangguk dan menuju kamarnya. Kamar yang dia tempati sejak lima tahun lalu.

Matanya memindai tiap sudut kamar dengan teliti. Memang kamarnya sekarang, tak sebesar kamarnya dulu.

Bukan hanya kamar, kamar mandi di setiap kamar pun, sekarang tidak ada. Nara dan keluarganya kini bergantian menggunakan satu kamar mandi yang ada di dapur.

Rumahnya yang lumayan besar dengan halaman yang luas dulu kini sudah berpindah tangan, berganti dengan rumah tua milik ART-nya dulu, yang kini pulang kampung.

Jangankan meminta tolong ART untuk mengerjakan pekerjaan rumah, bisa hidup sehari-hari tanpa kekurangan saja Nara sudah bersyukur.

Kali ini gadis itu tersenyum samar berusaha berdamai dengan keadaannya sekarang.

Seandainya saja, peristiwa naas itu nggak menimpa keluarga kami.

***

Sam melihat ponsel yang tergeletak di atas meja belajarnya dengan gamang. Dari tadi, ponsel itu berdenting pertanda ada pesan yang masuk. Namun, belum sekali pun ada telepon masuk yang Sam maksudkan bahwa Nara mencari ponselnya.

Sam pun tidak bisa mencari info nomor yang bisa dihubungi karena ponsel Nara dikunci.

"Emang dia nggak sadar ya, HP-nya ketinggalan," gerutunya sebal.

Sebenarnya Nadia lah yang mengatakan akan mengembalikan ponsel Nara, tapi karena rasa bersalah Sam atas candaannya yang keterlaluan tadi, dia akhirnya menawarkan diri untuk mengembalikan ponsel gadis itu.

Dia pikir, Nara akan segera menghubungi ponselnya saat sadar ponselnya ketinggalan. Sayangnya, sampai malam pun, gadis itu belum menghubunginya.

Lagi-lagi ponsel itu berdenting. Sekilas Sam melirik pesan yang muncul di notifikasi bar. Tanpa sengaja, pesan itu terbaca olehnya.

Ra, udah cek pengumuman belum? Lo lolos jadi panitia Linus* Vaganza. Besok bareng ya, gue tadi nyari lo udah nggak ada.

Diambilnya ponsel tersebut. Alis pemuda itu saling bertaut saat membaca pesan entah dari siapa yang menyebut kata-kata Linus Vaganza.

Jadi, Nara anak Linus juga? Kok gue nggak pernah lihat dia. Apa dia anak sebelah*?

Pemuda itu mengangkat bahunya pelan, berusaha tak ambil pusing dengan hal itu. Baginya, yang paling penting saat ini adalah minta maaf pada Nara.

Tiba-tiba saja ponsel yang ada di genggamannya itu berdering. Nama 'Kak Saras' muncul di sana.

Angkat aja deh, siapa tahu yang nelepon tahu alamat Nara.

"Halo," sapanya sopan.

Ada jeda lama sebelum akhirnya sapaan itu terjawab.

"Halo, Sam. Ini gue Nara." Suara gadis itu terdengar ragu. "Gue kira, yang bawa Nadia."

Alih-alih merespons kalimat Nara, Sam malah berujar, "Sorry."

Terdengar helaan napas di seberang sampai akhirnya Nara menanggapi. "Lupain." Gadis itu berdeham sekilas, lalu melanjutkan, "Rumah lo mana? Gue mau ambil HP."

"Udah malem, Ra. Kasih tahu aja alamat lo yang baru. Soalnya tadi kami ke rumah lo, ternyata udah pindah. Biar gue aja yang ke sana."

"Jangan!" seru Nara seketika. "Biar gue aja yang ke rumah lo. Udah buruan kasih tahu alamat lo."

Sam mengernyit lagi. "Udah malem tahu. Lagian, lo dari tadi ngapain aja? Masa nggak sadar HP lo nggak ada?"

"Bukan urusan lo juga ngapain aja! Gue cuma mau HP gue balik!" Nada suara gadis itu meninggi, bukanlah pertanda yang baik.

Terpancing emosinya, Sam balik menyembur Nara. "Eh, lo tuh ya, nggak tahu terima kasih. Gue udah bicara baik-baik, mau nganter HP lo juga, eh ... masih aja lo nyolot."

"Lo duluan pakai kepo urusan gue segala." Nara masih belum mau mengalah. Kilasan tawa menyebalkan Sam saat di kafe tadi, kembali memenuhi pikirannya.

"Udah lah, buruan kasih alamat lo," lanjut Nara lagi. "Gue butuh banget HP gue sekarang."

"Nggak!" Sam masih ngotot dengan pendiriannya. "Apa susahnya sih, lo aja yang kasih alamat lo ke gue? Masa gue tega ngebiarin cewek yang suka sama gue, keluar malem-malem buat ambil HP doang."

"Sam!" pekik Nara sebal.

Tawa pemuda itu terburai lantang di seberang. "Bercanda, Ra. Lagian, lo terlalu galak buat cewek yang ngakunya suka sama gue."

"Sialan lo! Masih aja diungkit," geram Nara tertahan. "Lagian, gue bukan cewek masokis yang suka sama cowok bermulutnya jahat kayak lo."

"Enak aja!"

Tanpa sadar Nara terkekeh kecil mendengar suara Sam marah di seberang sana.

Satu sama.

"Dih, ketawa. Nggak malu ya, habis marah-marah ketawa?" tanya Sam retoris. Tentu saja dia hanya pura-pura jengkel.

Sam kemudian melanjutkan, "Berhubung gue nggak tahu alamat rumah lo, mending kita ketemu aja di sekolah. Gue baru tahu lo anak Linus, tapi kok kita nggak pernah ketemu ya? Apa jangan-jangan lo anak sebelah?"

"Emang kenapa kalau anak sebelah? Linus juga kan namanya?" Nada suara Nara tidak bisa santai sama sekali.

"Ya ampun... galaknya. Gue kan cuma nanya. Lagian --"

"Sebentar," sela Nara cepat, "Dari mana lo tahu gue anak sebelah? Nadia yang cerita?" tanya Nara curiga, karena seingatnya dia tidak pernah mengatakan bersekolah di SMK Pelita Nusantara. Dia hanya mengatakan Linus, yang bagi sebagian besar orang berarti SMA Pelita Nusantara.

"Nggak kok. Gue nebak aja."

"Atau... lo buka-buka HP gue ya?"

Sam berusaha tenang, menghadapi tuduhan Nara. "HP lo dikunci, Ra. Gue nggak sekurang ajar itu buat ngutak-atik HP orang."

"Terus?"

"Mau tau aja atau mau tau banget?" goda Sam. "Penasaran kan? Makanya, besok pagi jangan telat ya. Bye."

Sekilas sebelum mengakhiri panggilan, Sam mendengar Nara mengumpat di seberang.

Pemuda itu tersenyum sekilas, memandang foto Nara yang jadi wallpaper ponsel gadis itu.

______

*Linus: Sebutan untuk sekolah di bawah yayasan Pelita Nusantara. Namun, bagi sebagian besar orang, Linus merujuk pada SMA Pelita Nusantara. Sedangkan anak-anak SMA Linus, menyebut SMK Linus dengan sebutan 'sebelah' karena memang lokasinya bersebelahan. Silakan baca cerita Janji di wattpad beliawritingmarathon untuk keterangan lebih lanjut.

***

Halo~ Long time no see 🙈
Maaf lama nggak update cerita, karena saya lagi hectic banget. Selain itu kami sekeluarga sempat positif covid-19, sebagian masuk RS dan sebagian isolasi mandiri. Jadi, lebih concern ke pemulihan dulu 🙈

Semoga pembaca semua sehat selalu 🤗 Selalu taat prokes ya~

Keep voting, keep posting comments, and happy reading beloved readers 💜

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro