Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lima

Ruang rapat berisik seketika saat Tirta, yang terpilih menjadi ketua panitia, menutup acara siang menjelang sore itu.

Beberapa dari panitia saling berkenalan, ada yang langsung pulang, tapi ada juga yang langsung rapat saat itu juga sesuai divisi mereka ditempatkan, di ruang yang lain.

Nara dan Deska berpisah karena Deska langsung rapat dengan divisinya. Gadis tomboy yang tampaknya kini tengah membuka pintu untuk kembali pada mantannya itu, masuk seksi informasi dan komunikasi. Memang sesuai dengan jurusan Multimedia yang Deska tekuni, karena salah satu tugas divisi infokom adalah mendesain brosur, poster, atau apapun yang berkaitan dengan acara. Gadis itu bisa mendapat lebih banyak pengalaman dengan bergabung di divisi tersebut.

Lain halnya dengan Nara. Mungkin gadis itu ketiban sial. Dia pikir, kali ini dia bisa bergabung di divisi konsumsi. Sayang, atas rekomendasi Tirta yang dulu pernah satu divisi dengannya saat kelas X, Nara dimasukkan divisi sponsorship dengan Sam sebagai ketuanya. Sungguh, Nara ingat bagaimana lelahnya dulu saat hampir tiap hari harus mencari tambahan dana.

"Halo, partner." Sam menghampiri Nara saat gadis itu akan pulang.

Nara tersenyum miring, lalu kembali ke wajah sebalnya. "Ada apa ya, partner?"

"Gue nyapa doang, lo udah jutek duluan." Sam berdecak sebal. Sesaat kemudian, pemuda itu menoleh ke arah Tirta yang tengah merapikan tasnya. "Ta, serius nih lo rekomenin dia? Gimana kalau lo tukar aja sama siapa gitu kek. Gue nggak yakin bisa kerja bareng dia."

Tersulut emosi, Nara menukas, "Eh, gue juga males kerja bareng cowok yang bisanya cuma bercanda doang kayak lo kali."

Sam pura-pura kaget dengan ekspresi wajah berlebihan. "Oh, jadi lo minta diseriusin?"

"Sam!" seru Nara gemas. "Kenapa sih lo bikin gue bete terus?"

Tirta menghampiri mereka dan menepuk bahu Sam. "Gue baru tahu kalian udah deket sebelumnya."

"Deket? Iya, kayak jarak bumi sama matahari ya." Nada sarkasme keluar dari mulut Sam. "Lo lihat sendiri, gue nyapa baik-baik, dia galaknya udah kayak orang utang yang nggak mau bayar tagihan."

Nara memutar bola mata malas mendengar cemooh Sam. "Ta, tuker ya," rajuk Nara pada Tirta kemudian. "Kan di formulir gue milihnya divisi konsumsi. Kenapa malah sponsorship sih?"

"Kita butuh senior yang udah pengalaman buat bimbing adik kelas, Ra. Lo sama Sam udah pernah di bagian ini sebelumnya."

Alis gadis itu bertaut heran. "Dia? Kapan?"

"Maaf ya, partner. Tahun lalu gue berhasil ngumpulin dana lebih banyak dari perkiraan. Jadi, nggak usah mandang gue heran kayak gitu."

"Gitu ya, partner?" Suara Nara meninggi, tak mau kalah. "Lo boleh tanya Tirta, saksi hidup yang tahu gimana kemampuan gue yang bisa bikin banyak proposal lolos dan dana mengucur ke rekening panitia."

"Oh ya? Kenapa gue nggak pernah denger nama lo sebelumnya ya? Lo ngaku-ngaku kali."

"Gini... memang itu kerja tim, Sam. Kebetulan gue satu tim sama Nara terus sama siapa dulu kakak kelas yang udah lulus, kelompok kami yang proposalnya lolos paling banyak." Tirta mencoba menengahi mereka berdua, lalu menambahkan, "Tapi... itu dua tahun lalu sih."

Sam tertawa kecil ke arah Nara, "Kesuksesan tim masa lalu nggak usah terlalu dibesar-besarkan dong, partner. Lagian, proposal tembus, bukan berarti dana yang masuk juga banyak, kan? Lo inget tahun kemarin kan, Ta?" Sam menatap Tirta penuh arti. "Kelompok gue nggak begitu banyak proposal yang tembus, tapi instansi sasaran kami, ngasih banyak sumbangan."

Menghela napas lelah, Tirta berujar, "Udah lah, mau tahun lalu atau tahun lalu, itu udah lewat, Guys. Move on dong. Situasi sekarang, bisa aja beda dari yang dulu. Jadi, daripada lo berdua ngeributin siapa yang lebih hebat, kenapa nggak lo buktiin aja sekarang?"

"Oh, jelas." Sam langsung mengiakan tantangan Tirta. Sementara Nara, melirik dua pemuda itu malas, baru akhirnya mengangguk kecil.

Tirta tertawa dalam hati melihat dua orang di hadapannya ini mudah terpancing kompetisi.

"Ta, rencana anggaran kira-kira beres kapan?" tanya Nara kemudian.

Tirta tampak menimbang-nimbang. "Kalau lancar akhir minggu ini kelar deh. Tergantung Pak Wisnu juga sih. Semoga nggak banyak revisi." Pemuda itu menyebut pembimbing kepanitiaan Linus Vaganza tahun ini.

"Lagian lo buru-buru amat. Nggak sabar mau kerja bareng gue ya, partner?" goda Sam dengan seringai miringnya.

Melipat tangan di depan dada, Nara menukas dengan tajam. "Eh, partner ... belum ada satu jam yang lalu lo minta tuker. Lupa?

"Iya, gue berubah pikiran. Pengin lihat kayak gimana kerja bareng orang yang ngakunya berhasil bikin lolos banyak proposal."

Gadis itu berdecak sebal mendengar Sam bisa dengan mudah membuat kalimat yang Nara ucapkan, berbalik menyerangnya.

"Ya udah, silakan lanjutin ya ributnya. Gue pulang duluan," sela Tirta yang sedari tadi menjadi penonton dua orang yang adu mulut ini.

Tinggal mereka berdua di ruang ini. Nara menatap Sam malas, sebelum mencangklong tasnya. "Sementara ini nggak ada yang perlu dibahas kan? Gue duluan."

"Sebentar." Tangan Sam refleks menahan tangan Nara, membuat gadis itu melotot dan mengibaskan tangannya seketika.

"Gitu banget ngibasinnya," seloroh Sam sedikit tersinggung. "Gue cuma mau nanya nomor HP lo. Nggak mungkin kan gue hubungin lo pakai surat?"

Nara mengangguk sekilas lalu mendiktekan nomornya. Selang beberapa saat, ponsel yang ada dalam tas gadis itu berdering sesaat lalu mati.

"Simpen ya," pintanya yang dijawab Nara dengan anggukan ringan. "Ya udah, yuk gue anter pulang."

Langkah Nara terhenti seketika. "Nggak. Ngapain? Lo mau nyebarin alamat rumah gue yang baru ke Nadia sama yang lain kan?"

Belum sampai Sam menjawab, Nara menukas lagi, "Sam, please, berhenti jadiin gue bahan candaan lo. Bukan maksud gue nyembunyiin keadaan gue yang sekarang ke yang lain. Gue cuma... huft... nanti gue pasti cerita sendiri sama Nadia kalau gue udah siap."

"Kenapa sih lo mikir negatif mulu sama gue?" tanya Sam sedikit tersinggung dan tak habis pikir dengan tuduhan Nara. "Gue tahu sampai sekarang lo pasti masih benci banget sama gue walaupun gue udah minta maaf. Tapi asal lo tahu, gue bukan tukang ngadu. Kalau gue mau, gue udah bilang ke Nadia dari tadi pagi, tapi mulut gue nggak seember itu."

Sam meraup wajahnya dan berdecak sebal. Dia yang awalnya berniat mengantarkan Nara pulang, tiba-tiba berubah pikiran meninggalkan gadis itu sendiri di ruang rapat.

Nara menatap punggung lebar Sam yang semakin menjauh. Hatinya sedikit tersengat saat melihat raut tersinggung Sam atas tuduhannya tadi. Namun, sebagian lainnya merasa pemuda itu layak mendapatkan tuduhan tadi.

Apa gue tadi keterlaluan ya?

Menggeleng pelan, gadis itu berusaha mengenyahkan rasa bersalahnya. "Dia aja selalu seenaknya sama gue. Gue juga boleh dong kayak gitu."

"Pokoknya gue harus jaga jarak sama dia. "

***

Jadi, siapa yang salah? 🙈

Terima kasih sudah baca, vote, komentar, dan masukin cerita Jar of Memories ke daftar baca teman-teman 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro