Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Empat

Kantung mata Nara sedikit menghitam pagi ini. Seandainya dia punya concealer untuk menyamarkan mata panda, pasti wajahnya tampak lebih segar dibanding sekarang.

Jika alasan yang menyebabkan dia harus begadang adalah alasan yang masuk akal seperti lembur PR, tentu Nara tak akan sesewot ini.

Sayang, penyebabnya begadang adalah memikirkan nasib ponselnya yang masih dibawa Sam.

Akan lebih mudah jika ponsel itu dibawa Nadia, karena Nara tahu alamat rumah gadis itu. Tetapi, ini Sam. Sam yang kemarin sempat mempermalukannya di acara reuni, walaupun dengan embel-embel bercanda.

Sungguh, Sam tak perlu repot-repot menemuinya untuk mengantar ponsel dengan alasan tidak tega padanya yang harus keluar malam. Nara seratus persen yakin, Sam akan kembali mempermainkan perasaannya dengan alasan bercanda.

Menghela napas sebal, Nara mengecek arloji di pergelangan tangan kirinya. Pukul 06.45 dan Sam belum menunjukkan batang hidungnya. Padahal pemuda itu sendiri yang mengatakan padanya agar datang lebih awal, tapi sepertinya dia sengaja membuat gadis itu menunggu.

Bosan menunggu tanpa kegiatan, Nara mengecek kembali tugas Bahasa Indonesianya tentang cara membuat surat lamaran pekerjaan. Dia pikir, jika tugas membuat lamaran pekerjaannya itu sempurna, bisa digunakan sebagai acuan untuk melamar pekerjaan.

"Cie... rajin bener anak subsidi."

Tanpa menoleh pun Nara tahu suara itu. Suara Hilda, mantan sahabat yang ternyata hanya memanfaatkannya saja.

Nara tersenyum simpul berusaha menelan kejengkelannya. "Iya dong. Biar lo sama anak lain nggak rugi udah bayarin gue."

Muka Hilda kini sekamar air rendaman cucian. Mungkin awalnya dia berniat menghancurkan mood Nara pagi ini. Sayangnya, kalimat Hilda tidak cukup untuk membuat Nara jengkel, karena menunggu Sam yang belum kunjung tiba, jauh lebih menjengkelkan.

"Buruan gih, masuk ke kelas. Biasanya kan lo belum ngerjain tugas," lanjut Nara yang membuat muka Hilda semakin tertekuk sempurna. "Gue sih mau aja minjemin lo kayak dulu, tapi pastinya lo gengsi kan, minta bantuan gue? Lo pasti jijik kan, jilat ludah sendiri?"

Hilda mendengus sebal sembari mengumpat kecil dan meninggalkan Nara. "Anak subsidi aja belagu." Kata andalan yang gadis itu ucapkan ketika kalah berdebat dengan Nara.

Nara mengabaikan tatapan dan bisik-bisik orang di sekitarnya. Dia sudah terlalu sering menerimanya.

"Iya, saya anak subsidi. Thanks ya, udah bantu saya supaya tetap bisa sekolah di sini," ujar Nara lumayan keras pada dua orang gadis yang menatap Nara dengan pandangan merendahkan.

"Loh bukannya malah keren, bisa dapat beasiswa Linus ya? Liat syaratnya yang seabrek aja gue udah males duluan. "

Nara menoleh mendapati suara orang yang ditunggunya sejak tadi.

"Jadi, Mbak-Mbak yang budiman ... lo seharusnya ngelihat cewek ini kayak lihat berlian, bukan kayak lihat kotoran. Gue culek baru tahu rasa lo!" lanjut Sam sembari mensejajari Nara, membuat dua gadis tadi menyingkir dengan sebal.

Gadis itu melirik Sam dengan pandangan sulit diartikan.

"Maksud lo apa?" tanya Nara defensif. "Lo mau ngasih tahu ke Nadia sama yang lain kalau gue udah nggak kayak yang dulu kan? Silakan, gue sekarang udah nggak peduli."

"Tuh kan, mulutnya... su'udzon terus." Sam menggeleng tak terima. "Gue nggak tahu apa yang terjadi sama lo selama ini, tapi kalau lo nuduh Nadia seolah dia nggak peduli sama lo, gue agak nggak terima sih. Gue tahu semarah apa dia sama gue dan Bima gara-gara bikin lo pulang kayak kemarin. Gue juga tahu sepanik apa dia waktu nggak nemuin lo di rumah. Gue kasihan sama dia, ternyata lo nganggap dia secetek itu."

Kemudian Sam mencari ponsel Nara di saku dan menyerahkannya pada gadis itu. "Sorry gue lama. Ban motor gue bocor. Sorry juga buat yang kemarin. I really mean it."

"Thanks." Nara menjawab sekasual mungkin. Tak berusaha memperpanjang obrolan dengan Sam.

Sam mengangguk lalu meninggalkan gadis itu. Namun, baru beberapa langkah dia berbalik dan berujar, "See you soon. Very soon."

Menggeleng sebal, Nara menukas, "Siapa juga yang mau ketemu lagi sama lo?"

"Who knows?" Sam menaikkan bahu, lalu kembali ke motornya.

***

Nara bersyukur bisa lolos rekrutmen panitia Linus Vaganza tahun ini. Ini kali kedua dia mengikuti event tahunan itu. Pertama kali dia ikut saat kelas X, karena memang semua siswa penerima beasiswa yayasan Pelita Nusantara wajib ikut kepanitiaan Linus Vaganza saat kelas X dan dia sangat menikmati momen itu. Terlebih, saat itu dia butuh pengalihan karena baru saja ribut besar dengan Hilda, sahabatnya dulu.

Kelas XI Nara tidak bisa ikut kepanitiaan walaupun sangat ingin. Dia harus mengikuti rangkaian seleksi untuk persiapan Lomba Keterampilan Siswa. Walaupun pada akhirnya dia tidak lolos.

Kali ini kesempatan terakhirnya untuk mengikuti event ini. Memang sebagian besar siswa kelas XII menghindari mengikuti acara seperti ini agar lebih konsentrasi pada ujian. Namun, selain Nara memang suka ikut event ini, dia juga membutuhkan sertifikat kepanitiaan yang bisa dia gunakan sebagai nilai tambah untuk mendaftar beasiswa kuliah nanti.

"Buruan, Des," ujarnya pada Desa yang tengah berjalan sambil mengecek ponselnya. "Perasaan sekarang lo sering banget ngecek HP. Lo balikan sama mantan?"

Deska langsung mensejajari Nara. "Gue kan udah pernah bilang, baikan sama balikan itu beda. Dulu kami putusnya banyak drama. Sekarang temenan lagi, nggak masalah kan?"

"Iya sih, tapi kalau lo sampai nunduk terus kayak gitu ya bahaya. Mau nyeberang jalan juga susah."

Nara menggandeng tangan gadis itu menyeberangi jalan, menuju gedung serba guna yayasan Pelita Nusantara. Gedung itu terletak persis di hadapan SMA dan SMK Pelita Nusantara.

Di gedung dua lantai itu, biasanya lantai bawah di gunakan untuk pertemuan skala besar, bahkan kadang disewa untuk acara pernikahan. Sementara lantai dua, ada beberapa ruangan lebih kecil yang bisa digunakan untuk pertemuan skala kecil atau menengah.

Dan di sini lah Nara dan Deska sekarang, di salah satu ruang pertemuan lantai dua. Sudah ada beberapa orang di sana dan sebagian besar anak kelas X dan XI, baik dari SMA maupun SMK.

Gadis itu celingukan, berusaha mencari orang yang dia kenal. Siapa tahu ada panitia lama yang ikut kepanitiaan kali ini. Sayangnya, nihil, mungkin karena tahun lalu dia tidak ikut. Jadi, kali ini tidak ada yang dia kenal. Hanya Deska, yang ikut karena tertarik dengan cerita Nara tentang serunya panitia Linus Vaganza dua tahun lalu.

Setelah berbasa-basi dan berkenalan sekilas dengan beberapa orang, mereka duduk di kursi yang disediakan.

"Semoga tahun terakhir gue sekolah, jadi lebih seru sih. Selama ini gue nggak pernah ikut yang kayak gini," komentar Deska sesaat setelah membalas pesan dari mantannya.

Nara baru saja akan merespons, tapi kemudian batal karena pintu ruangan terbuka lagi. Senyum di wajah Nara merekah karena mengenali pemuda yang baru saja masuk ke ruang itu.

"Tirta," gumam Nara tanpa sadar. Namun, senyuman yang sejak tadi muncul mendadak hilang saat seorang pemuda lagi menyusul di belakang Tirta.

"Sam?!"

***

Halooo~ mau mencoba konsisten buat update seminggu sekali nih 🙈 doakan semoga lancar 😘

Btw, cerita soal Nara dan Hilda bisa dibaca di antologi cerpen High School di akun WattpadIndonesia loh 🤗

Selalu jaga kesehatan teman-teman 🤗 selamat membaca 💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro