Dua
Seperti mendapat sengatan listrik, Nara otomatis berdiri dan berusaha merebut kertas itu dari tangan Sam.
"Oooh tidak bisaaa," kata Sam seraya menirukan kalimat khas salah satu komedian Indonesia. Dia mengangkat kertas itu semakin tinggi, sehingga Nara sulit menggapainya.
"Serius lo suka model beginian?" tanya Nadia dengan alis saling bertaut, sembari menatap Nara yang masih berusaha merebut kertas dari Sam.
Pram ikut menambahkan, "Iya, seingat gue kalian berdua ngobrol aja jarang."
"Justru itu, Guys, seninya mencintai dalam diam. Kayak ada ... nyesek-nyeseknya gitu," tukas Bima yang pertama kali membaca kertas berisi pengakuan Nara tadi.
Menggeram jengkel, Nara berujar, "Guys, please lupain. Itu tulisan waktu gue masih bocah. Masa lo pada percaya sih?"
"Percaya tuh," sahut Sam cepat. "Kalau gue inget lagi, ada benernya sih. Lo sering ngelihatin gue gitu. Tapi, serius deh, Ra, gue kagum sama kehaluan lo yang berlebihan itu. Umur segitu udah mikir nikah lo, Guys. Kita mah mikirin PR." Kalimat Sam terdengar seperti sindiran bagi Nara. "Oh iya gue lupa. Lo kan sering dihukum karena nggak ngerjain PR dulu."
Seperti menambahkan minyak ke kobaran api, Bima malah menukas, "Bukan cuma PR, Sam. Nara dulu juga sering dihukum karena nggak hapal perkalian kan?"
"Jangan-jangan gara-gara kebanyakan mikirin nikah sama gue lagi, jadi lupa ngerjain PR."
Tawa Sam dan Bima terburai lantang. Sementara Pram dan Nadia saling pandang, khawatir karena Nara terlihat sangat tak nyaman.
"Guys, bahas yang lain aja deh. Kita kan ke sini buat happy-happy."
"Bener tuh, Pram. Ini malah bahas yang dulu-dulu. Nggak nyadar sendirinya juga banyak halu pas masih bocah," imbuh Nadia jengkel dengan dua temannya.
"Lho, ngingetin masa lalu itu juga bikin happy. Lucu gitu gue bayangin Nara pengin nikah sama gue."
"Gue nggak lihat lucunya di sebelah mana." Nara berusaha menahan amarahnya yang malah terdengar menyeramkan. "Gue udah bilang ya, Sam. Itu tulisan bocah."
"Ah elah, baperan amat sih lo, Ra," balas Sam masih belum mau mengalah. "Gue cuma bercanda. Gue kan cuma inget muka bego lo pas bingung ditanya perkalian."
"Iya, gue bego." Suara Nara tampak sekali bergetar, berusaha menahan diri agar tidak menyumpal mulut Sam dengan sepatunya. "Gue nggak tahu kenapa dulu gue suka sama lo. Padahal kelakuan lo minus kayak gini."
Tanpa banyak cakap lagi, Nara berdiri dan menyambar tasnya. Setengah berlari, gadis itu keluar kafe dengan wajah dan telinga memerah.
Hanya Nadia yang mengejarnya setelah menatap tajam Bima dan Sam.
Tak berselang lama, gadis itu kembali dengan tangan kosong dan alis yang menukik tajam karena sudah tak menemukan Nara di luar sana.
"Lo berdua kenapa sih?!" semburnya pada Bima dan Sam. "Bercanda kalian nggak lucu tahu. Kalau gue di posisi Nara, gue bakal siram lo berdua pakai minuman yang ada di sini."
"Sayang minumannya atuh, Nad," sela Bima yang langsung mendapat pelototan dari Pram. Laki-laki menggeleng untuk mengingatkan agar jangan menambah masalah. Sayangnya, terlambat karena Nadia malah menggebuk bahu Bima.
Sam berdecak sebal. "Gue cuma bercanda. Perasaan kita-kita kalau bercanda gitu biasa aja."
"Masalahnya dia kan nggak sedekat itu sama kita, Sam. Dia dekatnya sama Nadia doang. Jadi, bercanda lo berdua tuh bisa dibilang kasar sih menurut gue. Mana lo ngatain bego juga," terang Pram panjang lebar. "Jujur sih gue tadi juga ngerasa lucu aja pas tahu dia dulu suka sama lo, tapi begitu lo ngatain dia bego... gue malah kasihan sama dia."
"Gue nggak mau tahu ya, lo berdua harus minta maaf sama dia!" sembur Nadia penuh penekanan. "Sana cari!"
Pram mengangsurkan hojicha latte milik gadis itu, seraya menukas, "Mau nyari ke mana, Nad? Udah nggak kekejar. Lagian, kalau misalnya kekejar, lo pengin mereka minta maaf di jalan? Nggak lucu tahu, Nad. Sekarang mending lo minum dulu. Kasih waktu buat Nara juga, biar nggak terlalu emosi. Habis itu baru kita ke rumahnya. Lo tahu rumahnya kan?" tanya Pram yang dijawab Nadia dengan anggukan malas.
Setelahnya laki-laki itu menoleh ke arah Sam dan Bima. "Udah yuk lanjut dulu. Sayang kita jarang kumpul, begitu kumpul malah ribut."
Suasana meja itu tak semenyenangkan sebelumnya. Mereka berempat seolah tak peduli lagi pada gulungan kertas kecil yang ada di kotak itu lagi.
"Gue yang bacain deh." Pram mengalah dan mengambil salah satu kertas. "Hmm... punya lo nih, Nad."
"Pengin lihat kincir angin di Belanda. Pengin banget lihat tulip, pakai sepatu kayu. Pokoknya pengin ke sana. Nadia Pramudita," lanjut Pram membacakan kertas itu.
"Gue baru tahu lo suka Belanda," sahut Bima tak yakin. "Bukannya lo sukanya Korea. Boyband, drakor, oppa-oppa BTS. Sampai lo bela-belain beli kimchi. Eh, ternyata nggak doyan."
"Kok lo hapal banget kesukaan gue, Bim? Lagian, dulu kan Korean wave belum booming banget," jelas Nadia dengan suara lebih tenang. "Tapi, gue tetep pengin ke Belanda sih. Ke Keukenhof, Giethoorn, Kinderdijk." Mata gadis itu tampak berbinar ketika menjelaskan keinginannya seolah lupa, beberapa menit yang lalu baru dia baru saja marah-marah.
Dengan senyum yang masih merekah di bibirnya, Nadia mengambil salah satu kertas dan membacanya. "Pengin ngerasain mudik sama berlibur ke rumah nenek."
Tawa mereka meledak hampir bersamaan.
"Njay, absurd banget. Punya siapa itu, Nad?" tanya Sam penuh kekepoan.
Pram menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kayaknya gue lupa ngasih nama deh."
Mereka bertiga paham dengan keinginan Pram karena rumah nenek dari pihak ibunya hanya beberapa blok dari rumahnya. Sedangkan rumah nenek dari pihak ayahnya tepat di sebelah rumah tinggal Pram.
"Gue tuh dulu bingung kalau diminta bikin cerita berlibur ke rumah nenek. Makanya gue sampai ikut Bima mudik ke Tegal kan?"
Nadia menggeleng pelan. Pram yang lebih banyak sebagai pengamat ini ternyata dulu punya keinginan sederhana nan absurd.
Maklum saja, mereka dulu masih bocah, belum berpikir terlalu rumit. Dia jadi paham perasaan Nara ketika keinginannya saat masih bocah dulu ditertawakan.
Tiba-tiba saja Nadia merasa jengkel lagi pada Sam dan Bima. Terutama Sam yang tega mengatai gadis itu.
"Habis ini beneran langsung ke Nara ya, Guys. Gue yang udah ngundang, jadi ngerasa nggak enak."
"Iya, Nad. Gue kayaknya tadi keterlaluan deh." Sam sedikit tak enak saat mengatakannya.
Bibir Nadia melengkungkan senyuman. Gadis itu mengangguk setuju sebelum akhirnya mengambil satu kertas yang tersisa. "Ini pasti punya lo, Sam. Hmm... gue bacain ya," katanya sembari membuka gulungan kertas kecil itu. Nadia tak langsung membaca lantang kalimat itu. Dia menatap Sam sekilas dengan pandangan sulit diartikan.
"Gue nulis apa sih?" tanya laki-laki itu seraya mengambil kertas dari tangan Nadia.
Raut wajah Sam berubah drastis. Namun, sesaat kemudian dia tersenyum sekilas lalu membacanya. "Pengin ketemu Mama."
Bima yang ada di sebelahnya, langsung menepuk bahu Sam. "Lo strong, Bro. Gue bisa bayangin posisi lo saat itu."
"Gue jadi pengin terima kasih sama lo, Nad. Kalau lo dulu nggak absurd pengin ngikutin bikin time capsule kayak di komik, nggak akan ada hari ini. Hari di mana kita bisa tersenyum membayangkan keinginan kita waktu masih bocah dulu," jelas Pram panjang lebar.
Nadia menyeringai jahil. "Ya udah, kalau lo pengin terima kasih, bayarin gue hari ini."
Muka Pram langsung kusut.
Nadia tiba-tiba saja menepuk dahinya keras, ketika sadar akan sesuatu. "Guys, kita belum foto," kata gadis itu sembari mengembalikan ponsel teman-temannya, kecuali ponsel Nara.
Setelah mengambil beberapa foto, mereka segera menuju ke rumah Nara. Menurut perkiraan Nadia, Nara kemungkinan sudah sampai rumahnya.
"Lo yakin ini rumah Nara?" tanya Sam tak yakin, ketika mereka sampai di rumah yang Nadia katakan.
"Bener kok. Dulu waktu SD kan gue pernah main ke sini."
Bima ikut menambahi, "Kok kayaknya sepi."
Tanpa menunggu yang lain, Pram berinisiatif menekan bel di pagar. Terdengar suara pinta dibuka dan seorang pria setengah baya menghampiri mereka.
"Selamat sore, Pak. Kami temannya Nara. Nara-nya sudah pulang belum ya?" tanya Pram sopan.
"Nara siapa ya?" Pria itu malah bingung.
Nadia sedikit panik karena tidak tahu nama orang tua Nara, karena saat dia berkunjung ke rumah gadis itu dulu, orang tuanya sering tidak ada di rumah.
"Jangan-jangan salah rumah, Nad."
"Bener ini kok, Pram. Gue telepon dia dulu deh."
"HP-nya kan lo bawa," timpal Sam menyadarkan gadis itu.
Dengan segera, Nadia membuka ponsel dan mencari instagram Nara. "Ini, Pak, orangnya."
"Ooh, kayaknya ini anak Pak Ikhsan deh. Itu dulu yang punya rumah ini, Mbak. Tapi, lima tahun yang lalu pindah. Rumahnya dijual ke saya."
Mereka berempat saling melempar pandang.
***
Kira-kira, gimana cara mereka menemui Nara? 🙈
Jangan lupa baca cerita saya yang lain ya 😁 silakan follow instagram saya @jurnalifia untuk info lainnya 💕
Keep voting, keep posting comments, and happy reading, beloved readers~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro