Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Janji dalam Sepotong Pempek

Gemetar jemari  wanita muda saat mencoba menuliskan email pada lelaki di seberang samudera. Jari-jemari  yang biasanya lincah menari meliuk-liuk di atas keyboard itu seakan tidak punya daya bahkan untuk merangkai sebuah k9ata.

Ada apa gerangan? Kali ini ada segumpal tanya yang telah berubah menjadi bongkahan gunung es dalam dada dan rasanya makin menyesakkan. Ada perang sengit dalam hatinya,“Haruskah Aku menurunkan harga diri yang kupegang tinggi selama ini sebagai seorang wanita yang memegang teguh adat ketimuran?

"Haruskah kutanyakan ini padanya?”Sementara selama tujuh kali musim semi berganti, direntang jarak dan waktu, sebuah kata keramat tak jua terucap diantara mereka.

Sayup-sayup dering telepon membangunkan wanita muda di pagi buta. Dia ingat pagi ini harus menggedor kamar sebelah untuk menerima telepon dari seseorang nun jauh di sana. Pelan-pelan dia bangkit dari tempat tidurnya dan menuju kamar sebelah. Ya, telepon memang merupakan barang langka di sebuah mess pegawai terbuat dari kayu bersusun seperti rumah panggung di tengah belantara pulau Borneo ini.

Hanya satu orang di mess tersebut yang memiliki alat yang menjadi satu-satunya media pemuas rindu pada orang-orang tercinta bagi penghuninya yang rata-rata masih single. Ini adalah telepon keempat yang diterima wanita muda itu selama dua bulan dia berada di kota ini.

Kota dimana perusahaan batubara bergerumut layaknya laron yang mengelilingi lampu di malam hari. Dan walau suara di telepon itu berjarak enam jam dari waktu di jam tangannya, tetap saja ada rasa hangat yang menjalari hatinya tiap kali dia mendengar lelaki itu mengucap salam dan menanyakan kabarnya.

Percakapan biasa dan topik yang tak pernah istimewa. Namun kontinuitasnya yang membuatnya berbeda. Selalu saja ada desiran halus dan senyum simpul setiap kali sang wanita menutup telepon itu. Dan cerita mereka selalu berlanjut dengan ratusan email yang terkirim dua hari sekali dan puluhan surat yang mereka kirim sebulan sekali.

Padahal hanya kegiatan harian dan peristiwa-peristiwa up to date di kota kelahiran mereka, serta Yogyakarta, dimana mereka berjanji untuk berjalan kaki keliling Malioboro dan mampir ke sebuah kedai empek-empek terkenal di belakang sebuah pusat perbelanjaan, yang selalu menghiasi obrolan mereka. Itu saja.

Namun rasanya aliran cerita itu seakan tak pernah putus layaknya aliran sungai yang selalu mengalir mencari muaranya.

Tiba-tiba ingatan wanita muda itu melayang pada jumpa pertama mereka. “Nama saya Muliawarman, Mbak! Mbaknya muslim ya?” seru lelaki muda sambil menjulurkan tangannya. Sesosok wajah putih dan bermata sipit dengan kulit kemerahan yang duduk di sebelahnya membuat wanita muda ternganga dengan pertanyaan yang tidak lazim. Tidak langsung dibalasnya uluran tangan itu.

Dia sengaja menunjukkan keheranannya dengan menjawab tanya itu dengan pertanyaan, “Tahu dari mana kalau saya muslim?” Lelaki muda tersenyum sambil menunjuk kalungnya. “Itu dari bandul yang Mbak pakai.”

Spontan wanita memegang bandul bulat kecil kalungnya yang terdapat kaligrafi bertuliskan Allah.  Tulisan sekecil ini? Bagaimana mungkin terlihat dari kaca mata minusnya? Sang wanita tak habis pikir dengan teman duduknya di travel sore itu.  

Sebelum perjalanan panjang mereka dimulai, sang wanita meminta si lelaki untuk bertukar tempat duduk. Rasanya sangat tidak nyaman membayangkan duduk diapit oleh dua orang pria. Sebelah kanan supir travel dan sebelah kiri, lelaki aneh yang sama sekali belum dia kenal. Sang wanita mencoba mengarang alasan yang masuk akal.

“Maaf, saya sering mabuk perjalanan, kalau boleh saya duduk di dekat jendela ya,” ujarnya. Lelaki itu menjawab sopan, “Monggo mbak, supaya jenengan lebih nyaman teng perjalanan.”

“Wajah oriental dengan logat Jawa yang kental,” batin sang wanita. Dan lima jam perjalanan yang memisahkan jarak Jogja- Cilacap terasa sangat singkat karena sang wanita menjadi pendengar setia saat si lelaki berceloteh tentang kehidupannya di Hamburg, sebuah kota kecil di Jerman.

Tentang betapa dia jarang bertemu dengan orang sesama muslim, bagaimana orang Asia mendapatkan diskriminasi di banyak lini dibandingkan dengan orang Eropa, empat menu favorit yang dia masak saat musim dingin tiba yaitu ayam goreng, goreng ayam, telur goreng, dan goreng telur. “Ah, ternyata selain bisa bercerita serius, lelaki itu bisa melucu juga,” batinnya dalam kekaguman yang disembunyikan.

Travel meluncur memasuki perumahan tempat sang wanita tinggal. Si lelaki menghentikan ceritanya sambil memandang sang wanita, “Mbak, main ke rumah saya ya! Rumah saya dekat Pasar Besar, Persewaan Kursi Candi Baru, tau kan?”

Kekaguman wanita pada kesantunan sosok lelaki disampingnya sontak luntur seketika. Tanpa sadar jawaban sengit keluar dari  bibirnya, “ Maaf ya Mas, sebagai wanita, saya tidak terbiasa untuk main ke rumah lelaki. Itu tidak sesuai dengan budaya Timur.”

Lelaki muda terlihat kaget dengan jawaban tersebut. Mencoba menenangkan dirinya, dia mendebat jawaban sang wanita,“ Lho Mbak, bukankah ini jaman modern, dan selagi ada niat dan tujuan yang baik, tidak ada masalah bagi wanita untuk mendatangi rumah pria, kan?” Sang wanita ber-argumen panjang lebar, sementara si lelaki masih terus mencoba berkilah dan mencari celah.

Hingga travel memasuki halaman rumah sang wanita. Dan debat kusir mereka akhirnya dimenangkan oleh sang wanita. Buktinya saat dia turun dari travel, si lelaki berteriak dari jendela,” Kalau kapan-kapan saya main ke rumah, boleh ya Mbak?”

Wanita muda tidak menjawab, hanya mengangguk kecil. “Lelaki ini benar-benar aneh bin ajaib,” ucapnya lirih.  Keesokan malam yang lain menjadi saksi pertemuan kedua mereka. Dengan formasi yang sama, dua lelaki yang mengapit satu wanita.

Kali ini lelaki muda membawa sahabat masa remajanya dengan dalih dia tidak bisa naik motor. Alasannya karena dia sudah lama sekali meninggalkan Indonesia. Dan jujur, dia sangat kuatir dengan padatnya lalu lintas yang menurutnya sangat tidak tertib di tanah kelahirannya. Sang wanita hanya mengangguk-angguk dan mencoba maklum dengan keadaan yang tidak biasa itu.

Tetiba, mereka baru sadar ternyata pernah berada di SD yang sama dengan jarak empat tahun, sehingga obrolan nostalgia pun menjadi seru dan tawa renyah bergantian muncul dari balik geligi ketiganya.

 Seharusnya pertemuan kedua itu masih terus berlanjut dengan pertemuan-pertemuan berikutnya. Sesuai janji si lelaki untuk segera menemuinya kembali. Ada janji yang masih terbungkus dalam sepotong empek-empek.

Janji yang mengaburkan pertemanan mereka. Janji yang membuat harapan si wanita membumbung tinggi dan akhirnya kandas terbentur oleh waktu. Waktu yang terus berjalan kemudian berlari dengan kencangnya, hingga saatnya kedua orang tua memintanya untuk segera berlabuh, membangun sebuah bahtera rumah tangga.

Dalam galau dan  bimbangnya, sang wanita berniat untuk mengirim email yang akan mengubah hidup serta perjalanan panjangnya dengan si lelaki. Dia telah lelah dengan semua dalih perih lelaki yang membuatnya terombang-ambing dalam lautan tanya yang dalam, yang tidak hanya mampu menenggelamkan harapannya, namun juga membuatnya terpuruk di dasar samudera ketidakjelasan.

“Mungkin sebaiknya engkau segera menikah dan aku pun disini juga akan melakukan hal yang sama, walaupun tanpa CINTA, hanya sekedar mendapatkan kewarganegaraan saja. Hanya dengan itu Aku bisa bertahan hidup disini”

Dan akhirnya kata keramat itu meluncur juga dari mulut sang lelaki, tetapi sama sekali bukan dalam format yang wanita muda inginkan. Harapnya untuk mendengar si lelaki menghentikan niat kedua orang tuanya pupus sudah.

Terlebih mengucapkan kata keramat itu khusus untuk dirinya,lalu
menegaskan hubungan mereka, semua hanya menjadi butiran debu yang saat itu terbawa oleh dinginnya angin musim hujan.Yang ikut menangis miris bersama dirinya yang mencoba melangkah terseok meninggalkan semua cerita.  

Dan lima belas tahun kemudian, barulah janji itu dapat tertunaikan. Saat semua tak lagi sama. Saat  harap telah benar-benar pupus.

Ketika tiba saatnya sang wanita menghidangkan semangkuk Pempek yang baru saja dia goreng,
“ Silakan”, katanya sambil tersenyum penuh makna, “Ini adalah empek-empek yang tertunda lebih dari sepuluh tahun lamanya. Empek-empek yang telah mengubah kisah dua anak manusia.”

Inilah pertemuan ketiga mereka. Masih dengan formasi yang sama, dua lelaki dan satu wanita. Masih di tempat yang sama, yaitu rumah sang wanita, walau dengan alamat yang berbeda di kota kelahiran mereka.

Namun kali ini pemuda yang menemani lelaki itu tak lain adalah murid sang wanita, yang ingin melanjutkan pendidikannya di Jerman, tempat si lelaki menetap dan mendapatkan kewarganegaraan barunya.

Hidup haruslah terus berlanjut…
Meski banyak tebaran duri halangimu    Tetaplah melangkah walau tertatih
Jangan pernah merintih
Karena luka yang perih
Sebab kita tak'kan pernah tahu
Apa yang Tuhan persiapkan nun jauh disana
Bagi para penerima takdir sejati  

Cilacap,November 2016  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: