Janji 32 - Permintaan
Nirma sengaja tak membuka lembar hasil ulangan yang telah dibagikan Miss Kinara beberapa saat yang lalu. Setelah mendapatkan kertas itu, Nirma mengalihkan pandangannya ke arah lain, lalu buru-buru melipatnya dan menyurukkan kertas tersebut ke dalam saku. Ia belum siap melihat hasil ulangannya kali ini.
Selepas perjanjiannya dengan Jendra hampir seminggu yang lalu, Nirma belajar keras untuk ulangannya kali ini. Ia belajar sendiri karena Jendra harus mendapatkan latihan tambahan untuk seleksi akhir. Memang Jendra beberapa kali mengirimi pesan, menanyakan apakah ia ada kesulitan saat mengerjakan soal. Tentu saja Nirma mengaku semua baik-baik saja, agar Jendra tak khawatir.
Sejak Jendra menyelamatkannya dari Nessa seminggu yang lalu, Nirma merasa sikap Jendra padanya mulai melunak. Entah perasaannya saja atau memang itu nyata, Nirma merasa Jendra mendekatinya. Nirma berkali-kali meyakinkan dalam hati bahwa itu hanya halusinansinya saja, karena ia tidak termasuk kategori cewek yang Jendra sukai. Namun, melihat Jendra datang ke rumahnya pagi-pagi hanya untuk mengantarkan kotak bekal dan beberapa kali menawarkan pulang bersama, membuat Nirma ingin percaya pada keyakinannya, bahwa Jendra mulai merasakan sesuatu padanya.
Dulu Nirma mengira yang ia rasakan sekarang adalah mimpi, bisa dekat dengan Jendra dan cowok itu memiliki rasa yang sama untuknya. Ketika hal itu hampir benar-benar terjadi, Nirma malah sempat ragu. Ia takut Jendra akan kecewa padanya. Namun, ia membaca-baca kembali, pesan-pesan penyemangat yang pernah Jendra tulis untuknya. Pesan-pesan yang tak pernah ia hapus, sejak mereka bertukar nomor ponsel beberapa bulan yang lalu. Keraguan yang sempat muncul, terhapus perlahan-lahan. Jendra yang perlahan-lahan berubah menjadi lebih baik, membuatnya ingin menjadi lebih baik pula.
"Dapet berapa lo?" bisik Alya perlahan, yang masih bisa dengan jelas didengar Nirma.
Nirma menggeleng sekilas. "Enggak tahu, Al. Entar aja lihatnya. Gue takut."
"Lebay lo." Alya berdecak sebal, dan berusaha mengambil lembar ulangan itu dari saku Nirma. "Lo kan waktu itu bilang udah yakin sama jawabannya. Pede aja lagi."
"Gue takut kalau remedi, Al. Gue udah janji sama Pad−, ehm ... maksud gue Kak Jendra, nilai kali ini pasti dapet KKM." Nirma berbisik sembari sekali-kali melirik Miss Kinara yang sedang menulis sesuatu di papan tulis.
Alya menoyor pelan bahu Nirma dan berujar, "Cemen lo! Lihat sebentar aja. Kan pas habis ulangan udah cocokan jawaban sama gue. Banyak yang bener. Kenapa lo takut banget sih? Kalau misalnya remedi pun, kan malah kesempatan buat belajar bareng Kak Jendra lagi."
Nirma menggeleng keras. "Gue enggak mau ganggu dia dulu." Namun, Alya kembali meyakinkannya bahwa jawaban mereka banyak yang cocok sehingga Nirma tak perlu ragu melihat nilainya.
Seperti dihipnotis, Nirma akhirnya menuruti bujukan Alya. Dengan perlahan ia mengambil kertas itu dari sakunya, dan membukanya seperti adegan slow motion dalam film yang sering ia tonton.
"Yes!" pekik Nirma lumayan keras, membuat Miss Kinara berbalik seketika dan memandangnya dengan wajah penuh selidik.
"So-sorry, Miss." Nirma buru-buru minta maaf dan Miss Kinara melanjutkan kegiatannya.
Nirma tersenyum semringah pada Alya yang juga ikut senang karenanya. Nirma kembali memandangi kertas ulangan yang baru saja ia buka. Angka 82 menghiasi kertas ulangannya, benar-benar jauh dari yang ia bayangkan sebelumnya.
Ia ingin segera istirahat, dan mengabarkan ini pada Jendra.
***
Rajendra Wardhana: I did it! Can't wait to see you.
Jendra segera memasukkan ponselnya dalam ransel, dan segera beranjak dari duduknya. Ia masih mengenakan dobok-nya saat berpapasan dengan Giri yang baru saja selesai berganti pakaian.
"Buru-buru amat, Jen? Enggak ikut makan-makan dulu sama yang lain?
Jendra menggeleng lalu tersenyum canggung. "Eng ... enggak, Kak. Saya ada janji sama Nirma. Uhm ... boleh kan, Kak?"
"Boleh. Tapi, inget syaratnya waktu itu kan?" Giri menyeringai jahil, membuat Jendra tersenyum kaku dan mengangguk.
Setelah mendapat izin dari pelatihnya, Jendra segera melesat menemui Nirma di Polaris kafe, tempat mereka membuat perjanjian beberapa bulan yang lalu. Dalam perjalanan, ia memikirkan pesan yang dikirim Nirma siang tadi. Gadis itu mengirim foto lembar ulangan dengan nilai 82 dengan pesan 'I did it! Now, your turn :)'.
Jendra tersenyum lebar saat menerimanya. Ia yakin, Nirma bisa melakukannya, dan keyakinannya benar-benar terwujud. Sore tadi adalah saatnya membuktikan keyakinan Nirma dan kemampuan Jendra di bidang ini. Dan keyakinan mereka berdua benar-benar terwujud. Bukannya sombong, tapi memang ia bisa mengalahkannya saingannya dengan lumayan mudah. Perjuangan sesungguhnya, akan ia hadapi setelah ini, di tingkat provinsi, bersama dua orang lainnya yang juga terpilih.
Sesampainya di tempat tujuan, ia segera masuk dan mendapati Nirma tengah tengah menata pesanan di meja. Jendra melihat ada beberapa macam hidangan berbahan dasar matcha, seperti kesukaan Jendra.
"Lo pesen sebanyak ini?" tanyanya membuat Nirma menoleh. Gadis itu terdiam sesaat ketika melihat Jendra masih dengan dobok-nya dan rambut yang sedikit basah karena keringat.
Tersadar dari kekagumannya, Nirma kemudian tersenyum lebar dan bertepuk tangan kecil. "Selamat ya, Paduka."
"Thank, Dayang." Jendra duduk di hadapan gadis itu. "Lo kok pesen sebanyak ini, gue buru-buru ke sini, belum ambil duit."
Gadis itu terkekeh geli, membuat Jendra ingin mencubit pipinya. "Gue cuma pesen matcha affogato sama matcha mousse cake. Yang matcha cream puff ini bikinan gue sendiri kok. Yang ini kan kesukaan Kak Jendra."
Jendra ikut tersenyum, melihat kebahagiaan yang menguar dari wajah gadis itu. Seakan teringat dengan sesuatu, Jendra mengambil ranselnya dan mengeluarkan sebuah buku berukuran sedang yang cukup tebal. "Buat lo." Jendra menyerahkan buku latihan itu pada Nirma. "Gue minta maaf, kayaknya bakal sering izin enggak nemenin lo belajar. Gue harus latihan intensif selama satu setengah bulan ini."
Nirma tersenyum yang Jendra sadari itu adalah senyuman yang dibuat-buat. "Enggak apa-apa, Kak. Terima kasih udah nemenin gue belajar selama ini. Gue enggak nyangka banget ulangan terakhir dapet segitu." Nirma menghela napas sejanak lalu melanjutkan. "Pasti berat banget buat Kakak kalau masih harus nemenin gue belajar. Padahal harus latihan intensif dan belajar buat ujian semester."
"Kalau ada kesulitan, jangan sungkan-sungkan hubungin gue," seloroh Jendra sembari menyendok matcha mousse cake-nya. "Oh iya, inget perjanjian kita kan? Gue bakal ngabulin satu permintaan lo. Jadi, lo mau minta apa?"
Nirma menatap Jendra dalam diam. Ia tak segera menjawab pertanyaan tutornya itu. Gadis itu menghela napas berkali-kali hingga akhirnya memberanikan diri untuk berkata, "Kalau gue minta, Kak Jendra pulang bawa medali emas boleh?"
Jendra mengehentikan kunyahannya. Ia menatap gadis itu dengan saksama, hingga gadis itu mungkin merasa tak nyaman, dan akhirnya menunduk pura-pura menyendok matcha mousse cake-nya.
"Kenapa lo minta itu?"
Nirma mendongak dan tersenyum simpul. "Karena gue tahu itu salah satu impian Kakak. Dan gue juga tahu, Kak Jendra enggak mungkin ingkar janji. Jadi, gue bener-bener berharap, Kak Jendra nepatin janji Kakak buat ngabulin permintaan gue."
Enggak Kakak, enggak adik, sama-sama minta medali emas. Masak iya gue tolak?
Jendra akhirnya tersenyum dan mengangguk. "Doain ya. Gue pulang bawa medali emas. Tapi, lo juga harus janji mau ngabulin permintaan gue." Ucapan Jendra membuat Nirma mengangguk pelan. "Gue minta, nilai Bahasa Inggris lo di rapor semester ini 80. Enggak susah, kan?"
"Yang bener aja!" sanggah Nirma tak terima. "Kak, dua nilai ulangan gue di awal dapet di bawah KKM, mana mungkin bisa dapet nilai segitu."
"Enggak ada yang enggak mungkin kalau lo mau usaha. Lo lihat sendiri kan hasil ulangan terakahir lo? Jauh di atas KKM. Usaha enggak akan mengkhianati proses."
"Kalau Kak Jendra minta lainnya aja gimana?" Nirma masih berusaha merayu Jendra agar mengubah permintaannya.
Jendra menggeleng. "Gue udah setuju buat bawa pulang medali emas, masak gue minta nilai rapor 80 aja enggak bisa?"
"Kan Kak Jendra udah ada bakat? Gue mah apa? Harus belajar sampai otak kebul-kebul dulu baru berhasil. Kalau nilai pas KKM aja gimana?" Nirma mulai merajuk, agar Jendra merasa iba padanya.
Jendra menggeleng pelan dan akhirnya pasrah dengan rajukan Nirma. "Tujuh puluh delapan dan enggak boleh ditawar lagi."
Nirma tak membalas. Ia tampak menimbang-nimbang sebelum akhirnya menunduk dan mengangguk lemah. "Tapi, gue jangan dimarahin kalau enggak berhasil."
"Lo pasti bisa, gue pasti bisa." Nirma mendongak saat mendengar suara Jendra yang terdengar sangat mantap. "Bukannya lo sendiri yang bilang, kita berjuang sama-sama buat mencapai tujuan kita."
Nirma tak bisa berkata-kata. Hatinya menghangat mendengar kalimat-kalimat yang Jendra ucapkan padanya. Jendra yang dulu membencinya, kini malah berbalik menyemangatinya seperti ini. Nirma mengangguk dengan mata berkaca-kaca, membuat Jendra kelabakan mencabut tisu dari kotak tisu.
"Kenapa lo nangis sih? Duh, malu-maluin aja!" Jendra menyerahkan tisu itu pada Nirma yang mulai terisak pelan, dan kembali berujar, "Shh ... Nir, jangan nangis kali, malu dilihatin orang-orang. Mana mulai ramai gini."
"Kak Jendra baik banget sama gue."
Jantung Jendra seperti merosot hingga perut, saat mendengar penuturan Nirma. Ia teringat ucapan-ucapan ketus dan kalimat jahat yang sering ia ucapakan untuk membuat gadis itu sakit hati, sebagai balasan karena ia hampir dicoret dari daftar seleksi atlet POPDA.
"Nirma, gue tahu ini terlambat. Gue sadar, selama ini gue udah jahat banget sama lo. Gue tahu, gue sering bikin lo sakit hati." Ucapan Jendra membuat Nirma berhenti menangis dan memberikan atensi sepenuhnya pada cowok itu. "Gue minta minta maaf, buat semua yang udah gue lakuin ke lo. Lo mau maafin gue, kan?"
Nirma mengangguk dan melengkungkan garis bibirnya ke atas. "Maafin gue juga ya, Kak. Sering ganggu Kakak. Sering bikin Kak Jendra emosi. Sering enggak konsentrasi kalau pas Kakak jelasin. Gimana gue mau konsentrasi kalau yang ngajarin seganteng Kak Jendra?" Alis Jendra meninggi sebelah, membuat Nirma menapuk mulutnya sendiri. "Anu ... maksud gue, sebaik Kak Jendra."
Jendra terkikik geli, mambuat hati Nirma meleleh seketika. "Kenapa diralat? Jadi, gue enggak ganteng?"
Napas Nirma terhenti, mendengar pertanyaan Jendra. Dengan terbata ia menjawab, "Uhm ...uhm ...ganteng sih." Tanpa bisa Nirma tahan lagi, wajahnya memerah menahan malu. Ia mengibas-ngibaskan tangannya untuk meredakan kehangatan yang mulai mejalari wajahnya. "Aduh, gerah banget ya, Kak. Udah mulai banyak orang sih," ujarnya mencoba mengalihkan topik.
"Jelas banyak orang lah. Lo enggak sadar ini malam Minggu. Banyak orang kencan."
Nirma terbelalak dan wajahnya kembali memerah, membuat Jendra ingin mengusilinya. "Anggap aja kita lagi kencan. Enggak ada yang bakal ngelabrak gue kan, kalau lo kencan sama gue?"
Nirma menggeleng malu-malu. "Kan, yang temen-temen tahu, gue emang ceweknya Kak Jendra."
"Oh iya!" Jendra menepuk dahinya, karena sempat melupakan status mereka di sekolah. "Aduh, maaf ya, Pacar. Gue beberapa hari ini jarang ngajak pulang bareng."
Nirma tak menjawab, hanya tersenyum kecil. Antara takut dan senang menjadi satu. Senang karena Jendra benar-benar peduli padanya, dan takut karena status meraka hanya pura-pura.
Kak, sebenarnya kita ini apa?
***
Sebenernya status mereka apa ya, Gengs?
Hai~ Thanks buat vote dan komentarnya hari ini ya ^^
Aduh ... ini panjang banget, lebih dari standar per bab-nya hihihi
Mau triple update buat hari Sabtu enggak, Gengs? Yuk, vote dan komentarnya ditunggu ^^ Kalau sampai masing-masing 400, saya update triple, kalau enggak sampai ya double aja hihihi
By the way, thanks ya, hari ini tanggal 24 Januari 2017, Janji bisa rank #87 ^^ tembus TOP 100 hihiihi
See you very soon~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro