Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Janji 31 - Berjuang Bersama


Nirmala Larasati: Semangat ya, Paduka. POPDA provinsi menantimu :)

Jendra yang baru saja selesai latihan sesi pertama, membaca balasan dari Nirma dengan senyuman lebar. Padahal tadi pagi saat berangkat bersama, ia sudah memberi tahu Nirma bahwa ia tidak bisa datang ke rumahnya sore ini, bahkan tadi malam pun, ia sudah berkata demikian. Namun, tetap saja ia ingin memberi kabar pada Nirma, sebagai cara untuk membuka percakapan terlebih dahulu.

Ia ingat bagaimana wajah Nirma saat Giri meminta gadis itu berangkat bersama Jendra pagi tadi. Menurutnya, wajah Nirma sangat lucu. Gadis itu megap-megap seperti ikan kekurangan oksigen, lalu tergagap untuk menolak permintaan kakaknya. Untung saja, helm Dion bisa Jendra jadikan alasan agar gadis itu mau berangkat bersama. Jendra ingin meyakinkan diri dulu, bahwa pilihan yang telah ia putuskan tadi malam adalah pilihan yang tepat.

Ia akan mulai membuka hati pada Nirma.

Memang awalnya Nirma masuk dalam blacklist gadis yang harus ia jauhi. Saat itu Jendra menganggap Nirma berpura-pura menjadi korban, hingga kakaknya menyuruh Jendra menjadi tutor. Selain itu, menjelaskan materi pada Nirma, membuat Jendra ingin membenturkan kepalanya berkali-kali ke dinding karena Nirma susah sekali berkonsentrasi.

Jendra ingat, saat ia mulai menyindir dan mengomeli Nirma dengan kalimat-kalimat pedas yang menyakitkan hati, perlahan-lahan Nirma mulai berubah menjadi lebih baik. Jendra pun ingat, bagaimana senyum bahagia gadis itu saat pertama kali mendapat nilai 72 untuk pelajaran Bahasa Inggris, saat itulah sikap Nirma pada gadis itu mulai melunak. Mereka mulai mengobrol biasa tanpa ada perasaan terpaksa seperti sebelumnya, walau Jendra kadang masih sering membentaknya.

Saat itu Jendra memang sudah merasakan gelenyar aneh tiap kali berdekatan dengan Nirma, tapi ia belum bisa mendefinisikan perasaan itu. Sekarang perasaan itu semakin jelas, dan Jendra tak ingin menyangkal lagi. Ia hanya ingin benar-benar memastikan, sebelum nantinya ia menyatakan perasaannya pada gadis itu. Walaupun mereka memiliki perasaan yang sama, tak mungkin ia membiarkan Nirma yang menyatakan perasaan padanya terlebih dahulu.

Ia masih ingin menikmati masa-masa pendekatan dengan saling melempar kode, yang bisa membuat hati berdebar-debar. Lagi pula, Nirma pasti akan kaget setangah mati jika tutor yang sering mencemoohnya, tiba-tiba menyatakan perasaan. Tak mungkin juga Jendra mengatakan sudah merasakan ada gejala-gejala jatuh cinta sejak beberapa waktu yang lalu.

Tidak. Jendra tidak seperti itu. Rasa gengsinya masih menahan untuk tidak segera menyatakan perasaannya pada Nirma. Ia tidak ingin, perasaan yang ia rasakan ini semata-mata karena tahu Nirma memiliki rasa untuknya. Ia ingin penguatan dan penegasan bahwa rasa yang ia rasakan ini, benar-benar yang ia inginkan. Ia tak ingin menyesal seperti sebelumnya, karena menyukai orang yang salah.

Jendra kembali mencerap ke arah layar ponselnya, dan mengulum senyum kecil. Dengan segera, ia membalas pesan Nirma tadi.

Rajendra Wardhana: Thanks, Dayang! Belajar sendiri dulu ya. Nanti malam kita bahas. Awas aja kalau masih ada yang salah! Gue tungguin lo ngerjain, tanpa istirahat!

Nirmala Larasati: Demi apa gue dipanggil Dayang! Paduka kejam :( Hamba akan berusaha, Paduka. Tapi, otak hamba mulai panas. Apalah hamba yang belum berhasil lolos dari jerat remedi ini?

Rajendra Wardhana: Hush! Ati-ati kalau ngomong! Diaminin malaikat baru tahu rasa lo! Lo harus yakin dong, ulangan berikutnya lo pasti bisa dapet batas KKM itu, atau mungkin malah lebih.

Nirmala Larasati: Paduka bercanda :(

Rajendra Wardhana: Kalau lo bisa yakin gue bakal lolos seleksi akhir, kenapa gue enggak boleh yakin lo bakal dapet nilai di atas KKM?

Jendra menunggu balasan dari Nirma yang tak kunjung datang. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu hingga mengetik pesan saja bisa selama ini.

Rajendra Wardhana: Okay. Let's make a deal. Kalau gue lolos seleksi, lo harus ngabulin satu permintaan gue. Begitu juga sebaliknya.

Nirmala Larasati: Gue enggak tahu mesti ngomong apa, Kak. Tapi, terima kasih udah nyemangatin gue. Kita berjuang sama-sama ya, Kak :)

"Berjuang sama-sama." Jendra menggumam kecil, mengulangi pesan Nirma lalu tersenyum dan memasukkan ponsel ke dalam ranselnya. Ia tak menyadari, Giri yang baru saja datang, memperhatikannya sejak beberapa saat yang lalu.

"Senyum-senyum terus. Kayak orang lagi kasmaran aja." Giri yang sudah mengenakan dobok-nya, duduk di sebelah Jendra, membuat cowok itu tersenyum canggung.

"Baru datang, Kak?" tanyanya berbasa-basi.

Giri mengangguk sekilas, lalu berujar, "Thanks ya, Jen. Berkat kamu, nilai Bahasa Inggris Nirma membaik. Dia juga jadi lebih semangat, mau masuk HI. Dia bilang, pengin kayak kamu yang serius ngejar cita-cita kamu." Giri menepuk bahu Jendra dengan mantap dan melanjutkan ucapannya. "You change her a lot. Thanks."

Jendra menggeleng, mendengar cerita Giri. "I don't deserve it, Kak." Jendra menatap Giri ragu-ragu, sebelum akhirnya mengaku pada pelatihnya itu. "Selama ini saya galak banget sama dia. Mungkin saya sering bikin Nirma sakit hati."

Alih-alih marah karena adiknya sering menjadi korban mulut pedas Jendra, Giri justru tertawa keras. "Saya tahu kok. Itu juga salah satu tujuan saya minta kamu jadi tutornya."

Jendra yang tak begitu paham maksud Jendra, menatap pemuda itu penuh tanya.

Melihat banyak kerutan di dahi Jendra, Giri menjelaskan misinya. "Adik saya itu agak aneh. Tapi, ketika dia udah punya komitmen sama sesuatu, pasti dia bakal berusaha dengan baik." Giri berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Kamu yang gampang emosi, sering bikin dia sakit hati. Dari sakit hatinya itu, dia jadi pengin membuktikan kalau dia enggak kayak yang kamu bilang. Dan sebaliknya, dengan ngajarin adik saya yang konsentrasinya mudah terpecah, kamu bisa sedikit lebih sabar."

Jendra tersenyum kecil. "Ada yang selalu menahan saya buat enggak marah-marah ke Nirma kok, Kak." Kini giliran Giri yang menatapnya penuh tanya. "Nirma selalu ngancem saya pakai Jejen, jadi mau enggak mau saya nahan emosi."

"Kamu beneran masih takut sama kucing?" Giri terkekeh geli mendengar alasan Jendra. "Dulu, saya ingat waktu kamu masih SD pernah ikut latihan di dojang gitu ya, tapi berhenti gara-gara muka kamu dicakar kucing pas lagi nunggu jemputan orang tua kamu."

Jendra ikut tertawa juga mendengar kekonyolannya saat masih kecil. "Kak Giri masih inget aja. Saya sih udah niat ngelupain taekwondo sejak itu, tapi pas iseng-iseng nonton Dion latihan, malah ketemu Kak Giri yang udah jadi pelatih, jadi pengin gabung lagi deh."

Giri mengangguk maklum, mengingat dulu ia memang sempat beberapa kali merayu Jendra agar kembali menekuni taekwondo. Saat melihat Jendra, ia seperti melihat dirinya saat SMA. Oleh karena itu, ia ingin membantu Jendra mencapai salah satu impiannya.

"Jen, kalau misalnya kamu lolos seleksi akhir, kamu bakal latihan lebih intensif lagi selama kurang lebih satu setengah bulan. Jadi, mending kamu enggak usah mikirin soal lesnya Nirma dulu. Fokus ke POPDA aja. Enggak usah nunggu sampai skor TOEFL dia 550, kamu bisa berhenti jadi tutor dia. Toh, nilai dia udah mendingan."

Jantung Jendra rasanya seperti mesorot hingga perut saat mendengar penuturan Giri. Entah kenapa, ia tidak rela berhenti menjadi tutor Nirma. Padahal itu yang ia inginkan saat pertama kali Giri memintanya mengajari adiknya itu. Sekarang, ia tidak ingin itu terjadi.

"Kak, saya bisa bagi waktu kok," ujar Jendra, membuat Giri menatapnya dengan intens. "Saya bisa tetap jadi tutor Nirma, paling enggak sampai semester ini selesai."

Giri menggeleng sekilas. "Enggak usah maksain diri, Jen. Nirma pasti bakal nyalahin dirinya sendiri kalau sampai konsentrasi kamu buyar gara-gara ngurusin nilainya." Giri mendecak pelan, lalu berujar, "Adik saya itu ... peduli sama kamu."

"Saya tahu, Kak." Jendra berhenti sesaat dan menatap Giri dengan yakin. "Karena saya juga peduli sama Nirma."

Giri mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya mengangguk. "Terserah kamu aja kalau gitu."

"Oh iya, ini ada titipan dari murid les kamu," lanjut Giri sembari mengambil sesuatu dari ranselnya dan menyerahkan sebuah kotak bekal pada Jendra. "Dia bilang, tutornya suka banget sama matcha cream puff. Tapi, karena bikinnya cepet-cepet, bentuknya jadi enggak karuan gitu."

Perasaan hangat menyelimuti seluruh hati Jendra, melihat Nirma mau bersusah-susah menyiapkan ini semua untuknya.

Giri menyeringai kecil, saat melihat Jendra terdiam membuka kotak bekal itu. "Jangan lupa, besok kotak bekalnya balikin." Giri kemudian tertawa geli, mengingat alasan Jendra pagi tadi.

"Kak, saya ... saya ..." Jendra gelagapan, karena Giri memberi sinyal sudah tahu dengan gelagatnya mendekati Nirma.

"Saya tahu, bahkan sebelum kamu sadar sama perasaan kamu itu." Ucapan Giri membuat Jendra membelalakkan mata. "Saya ngizinin kamu sama adik saya, asal kamu bisa dapet medali emas di POPDA seperti saya dulu."

"Hah?"

"Apanya yang 'hah'? Udah ayo latihan."

***

Kira-kira Jendra bakal lanjut deketin Nirma atau nyerah aja ya?

Hai~ Thanks buat vote dan komentarnya kemarin ya ^^

Double update-nya malam ya, Gengs ^^

Tapi, kalau vote sama komentar part ini bisa sekitar 350-an, bisa kali update-nya dipercepat hihihi

See you very soon~


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro