Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Janji 25 - Perasaan Janggal


"Lo potong rambut?" Mata Jendra melebar sempurna melihat Nirma dengan rambut pendek sebahu, membukakan pintu untuknya.

http://www.cloverblossomsblog.com

Nirma hanya tersenyum sekilas, lalu mempersilakan tutornya itu masuk ke ruang tamu, di mana mereka biasa belajar bersama. Jendra merasa sedikit aneh dengan sikap Nirma saat ini. Gadis itu tak banyak berkomentar saat Jendra menjelaskan materi padanya.

Beberapa kali gadis itu menghela napas, meletakkan pulpennya, mengetukkan jari ke meja, lalu menulis lagi. Jendra yang ada di hadapannya, merasa pasti ada yang salah dengan murid lesnya itu. Gadis itu tampak gelisah, tak berkonsentrasi pada lembar latihan soal di hadapannya.

"Lo kenapa?" tanya Jendra sekasual mungkin, agar tidak terlihat begitu kepo.

Alih-alih menjawab, Nirma hanya menggeleng lalu kembali menekuni latihan soalnya. Namun, lagi-lagi ia tak dapat berkonsentrasi, dan berakhir membanting pulpennya dengan kesal.

"Lo enggak mungkin baik-baik aja, Nirma." Jendra meletakkan buku yang ia baca dan menatap Nirma dengan intens.

Nirma langsung menoleh, tatkala mendengar Jendra menyebut namanya. "Kak Jendra bilang apa tadi?"

Mendengkus kesal, Jendra menukas, "Lo pasti ada masalah ya? Sampai banting-banting pulpen gitu."

Gadis itu sedikit tersenyum, mendengar kepedulian Jendra. "Bukan itu, Kak Jendra tadi nyebut nama gue. Gue kira, selama ini Kakak enggak tahu nama gue. Kalau manggil gue pasti 'lo-lo' gitu."

"Kenapa malah ngalihin topik sih?" Jendra kelihatan tak mau membahas perihal yang disebutkan Nirma tadi. "Kalau lo enggak niat latihan, ya udah, mending gue pulang aja. Ngajarin orang yang niat belajar itu percuma, buang-buang waktu."

Nirma mengerucutkan bibirnya, melihat Jendra yang mulai membereskan buku-bukunya. "Kak ... uhm ... enggak jadi deh."

"Kalau mau ngomong ya ngomong aja, jangan kayak ikan megap-megap kekurangan oksigen." Jendra mulai sedikit jengkel dengan Nirma yang membatalkan niatnya. Bayangkan, mendengarkan orang yang hampir curhat, lalu tiba-tiba mengurungkan niatnya itu, sama saja seperti hampir bersin, tapi tidak jadi. Hanya satu kata yang pantas untuk menggambarkan sikap Nirma saat ini, menjengkelkan.

Awalnya Nirma menatap Jendra tak yakin, tapi karena merasa butuh seseorang untuk tempat bercerita, akhirnya gadis itu membuka suara. "Kak, pernah nolak seseorang enggak?"

Alis Jendra naik sebelah, sedikit heran dengan pertanyaan Nirma yang begitu tiba-tiba. "Pernah. Kenapa?"

"Uhm ... Gimana perasaan Kakak kalau habis nolak cewek?" tanyanya tak yakin.

"Tergantung yang nembak juga sih." Jendra mengingat-ingat, pengalamannya yang telah lalu. "Kadang biasa aja, kadang malah jengkel kalau ada yang ngotot. Kenapa?"

Bahu Nirma merosot, mendengar ucapan Jendra berbeda dengan yang ia rasakan saat ini. "Kok gue ngerasa bersalah banget gini ya, Kak? Rasanya gue jahat banget sama dia."

"Lo habis nolak cowok?" tanya Jendra terkejut yang dijawab Nirma dengan anggukan. Ada sedikit rasa aneh yang bergelenyar di hati Jendra ketika mendengar ada seseorang yang menaruh hati pada murid lesnya yang menyebalkan itu. Antara tak percaya, sedikit konyol, dan perasaan aneh yang belum bisa ia definisikan.

"Lo yakin dia nembak lo bukan buat bercandaan doang?" tanya Jendra dengan nada sedikit meremehkan.

"Yakin lah, dia baik banget sama gue," ujar Nirma dongkol maksimal dengan raut wajah Jendra yang tampak menghina. "Malah gue balas jahat banget kayak gini."

"Enggak apa-apa kali, kalau emang lo enggak suka. Lebih jahat lagi kalau lo nerima dia cuma karena kasihan." Ucapan Jendra terdengar sedikit ketus di telinganya. "Ibarat lo bohong sama dia sepanjang waktu. Lo mau kayak gitu?" Nirma menggeleng mendengar kalimat tutornya itu.

"Gue bingung, Kak. Dia baik banget sama gue, dia yang bikin gue bisa berbaur sama teman-teman sekelas." Nirma berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "Tapi, dari awal gue udah bilang ke dia, kami cuma teman. Gue sadar dia lagi PDKT ke gue, tapi gue selalu nutup akses dia buat mendekat, karena gue pikir, dia enggak bakal ngelanjutin usahanya, kalau gue udah jaga jarak, buat nolak dia secara enggak langsung. Tapi, ternyata yang gue takutin, jadi kenyataan."

Nirma menghela napas panjang, mengingat percakapannya dengan Agil, saat istirahat tadi.

***

"Gue pengin ngomong sama lo."

Perasaan Nirma tiba-tiba saja menjadi tidak enak, saat melihat Agil yang biasanya cengengesan, menjadi serius seperti ini.

"Ngomong apa, Gil?"

Agil memandang Nirma dengan cemas, seolah takut yang akan ia kataka, akan mengubah hubungannya dengan Nirma yang mulai dekat. Namun, sejurus kemudian, cowok itu mengangguk sekilas, seakan yakin dengan pilihannya.

"Gue minta maaf udah bohong sama lo. Gue enggak bisa nganggep lo sekadar teman, seperti yang lo minta dulu."

Jantung Nirma terasa seperti diremas kuat. Yang ia takutkan selama berdekatan dengan Agil, akhirnya terjadi juga. Nirma membatu, bingung harus memberi respons seperti apa.

Melihat Nirma masih diam dan sedikit menunduk, Agil melanjutkan ucapannya. "Gue ... suka sama lo, Nir."

Nirma yang awalnya menunduk, kini mendongak menatap Agil secara langsung. "Gil, gue –"

"Gue tahu kok, Nir, lo sengaja jaga jarak sama gue. Gue tahu, lo suka sama salah satu dari kakak kelas di kantin seberang tadi. Gue cuma pengin ngomong ini sama lo." Agil menghela napas sejenak, lalu melanjutkan. "Senggaknya, gue udah berani ngomong daripada cuma lihat lo dari jauh."

"Gue ... gue –"

Agil tersenyum lebar, yang tampak sekali dipaksakan, lalu mendekat ke arah Nirma. "Lo enggak usah jawab. Gue udah tahu jawaban lo."

"Maaf." Nirma tak bisa membendung rasa bersalah yang membuncah di hatinya, hingga berubah bentuk menjadi air mata yang mati-matian berusaha ia tahan agar tak meleleh di pipi.

"Kenapa lo minta maaf?" Lagi-lagi Agil tersenyum, membuat Nirma semakin merasa bersalah. "Gue yang harusnya minta maaf karena enggak bisa nepatin janji gue."

Nirma bertanya-tanya, mengapa Agil bisa tetap tersenyum seperti itu walau ia sudah bersikap tidak adil padanya. Agil yang menyenangkan dan selalu bersikap baik padanya, malah ia tolak. Sementara Jendra yang lebih sering memasang wajah masam, malah selalu ada di hatinya.

"Gue duluan ya, mau ke toilet sebelum masuk." Agil menepuk bahu Nirma beberapa kali dan berlalu meninggalkan gadis itu sendiri. Namun, tiba-tiba saja cowok itu berbalik, dan berujar, "Kapan-kapan gue boleh main ke rumah lo, kan? Kayaknya kucing kita saudaraan. Soalnya, gue lihat lo mungut di kardus dekat halte, sama kayak gue."

Nirma berusaha tersenyum dan mengangguk.

***

"Bengong aja lo!" teguran keras Jendra, menarik Nirma kembali dari lamunannya.

Nirma mencebik sekilas lalu menyesap tehnya. "Kak Jendra sih hatinya udah mati kali ya? Udah keseringan nolak cewek sampai enggak punya rasa kasihan."

"Kok kesannya gue jahat banget di mata lo." Jendra melirik Nirma tajam, sedikit kesal dengan ucapan Nirma yang memojokkannya. "Asal lo tahu, gue mau mutusin mantan gue aja mesti mikir ribuan kali karena gue ngerasa enggak tega."

"Tapi, akhirnya tetap putus juga, kan?"

"Apa gue harus bertahan sama orang yang enggak mendukung gue buat maju?" Alis Nirma bertaut, belum paham arti ucapan Jendra, membuat cowok itu kembali menjelaskan. "Oke, yang namanya pacaran memang awalnya menyenangkan. Tapi, lama-lama dia nyebelin, Nir. Gue enggak angkat telepon, dia ngambek. Gue telat jemput, dia marah. Gue enggak bales chat, dikira selingkuh. Yang bener aja! Dulu gue kan, lagi banyak kegiatan. Mulai English Club, taekwondo, belum lagi tugas sekolah, bantuin katering Mama."

Perasaan Nirma campur aduk mendengar cerita Jendra. Antara sebal, kasihan, dan geli melihat ekspresi Jendra yang tampak jengkel. Namun, akhirnya rasa geli lah yang menguasai perasaannya, hingga akhirnya ia tak bisa menahan kekehannya.

"Kenapa lo ketawa?" tanya Jendra jengkel.

"Muka lo lucu, Kak." Nirma berusaha menyembunyikan tawanya dengan batuk, tapi sayangnya gagal.

Jendra berdeham sekilas, lalu melanjutkan ucapannya. "Gue penginnya, waktu pacaran itu saling menyemangati. Bukan ngambek-ngambek enggak jelas kayak gitu."

"Emang, cewek idaman Kak Jendra itu yang gimana?"

***

Kira-kira cewek idaman Jendra yang kayak gimana ya, Gengs?

Hai~ terima kasih sudah membaca Janji ^^

Yuk, mampir juga di akun pribadi saya @matchaholic

Ada cerita-cerita yang enggak kalah menarik di sana ^^


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro