Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Janji 23 - Curiga

Alya menyeret Nirma ke kantin, karena semenjak tadi pagi, wajah gadis itu terlihat suntuk. Berkali-kali ia bertanya, tapi gadis itu selalu menjawab 'enggak apa-apa' seperti kebanyakan orang berbohong tentang keadaannya.

Akhirnya Alya menyerah untuk memaksa Nirma menceritakan masalahnya. Biasanya, setelah Nirma merasa terdesak, ia baru akan menceritakan masalah itu. Setidaknya Alya berharap, dengan mengisi perut dengan makanan kesukaannya, wajah suntuk Nirma bisa sedikit memudar.

"Gue lagi enggak pengin makan, Al. Gue udah sarapan," gerutu Nirma saat Alya menyodorkan kertas menu ke hadapannya.

Mendesah lelah, Alya berujar, "Gue denger perut lo bunyi kali. Gue enggak maksa lo cerita masalah lo, tapi seenggaknya, lo bisa jaga badan lo sendiri. Jangan gara-gara lagi suntuk, lo males ngapa-ngapain, termasuk makan. Itu bego namanya."

Nirma memandang Alya, lalu tersenyum kecil. Sejak dulu, Nirma tak memiliki sahabat yang sangat dekat, seperti Alya. Giri lah yang selalu menemaninya ke mana-mana, dan melindunginya dari anak-anak yang menganggu gadis itu.

"Ah, lo kelamaan milih. Bakso beranak aja ya?" tanya Alya retoris, kemudian berlalu ke arah Pak Jamil, untuk memesan makanan kesukaan sahabatnya.

Sepeninggalnya Alya, Nirma mengerling ke arah meja kantin seberang, yang biasa ditempati Jendra dan teman-temannya. Meja tersebut kosong. Entah kenapa tidak ada orang lain yang menempati meja itu. Namun, Nirma memang sempat mendengar desas-desus bahwa anak-anak lain tak ada yang menempati meja itu, karena merasa sungkan pada Davin. Memang cucu pemilik yayasan Pelita Nusantara itu tak pernah menyinggung soal statusnya di sekolah, tapi tetap saja anak-anak yang tidak dekat dengan Davin, tak ingin membuat masalah dengan cowok itu.

Nirma menoleh ke arah kanan, saat merasa kursi di sebelahnya bergeser. Agil duduk di sebelahnya dengan membawa semangkuk mi ayam dan es jeruk.

"Kosong, kan? Gue duduk di sini ya? Yang lain penuh." Ucapan cowok itu membuat Nirma menaikkan sedikit alisnya. Padahal, ada beberapa meja yang masih kosong, tapi memang di dominasi kakak kelas. Nirma tak melarang Agil duduk di sebelahnya karena ia berpikir, mungkin cowok itu merasa sungkan pada kakak kelas yang tak ia kenal.

"Lo enggak makan?" tanya cowok itu sembari mengaduk mi ayamnya.

Belum sampai Nirma menjawab, Alya datang dengan dua mangkuk bakso beranak dan beseru, "Kok lo di situ, Gil? Minggir kali, itu tempat duduk gue."

Agil berdecak sebal, lalu berdiri dan membantu Alya membawa mangkuk dan meletakkannya di meja, sebelum akhirnya pindah duduk di depan Nirma.

"Thanks ya, Al." Nirma tersenyum dan mulai menyesap kuah baksonya. Namun, tiba-tiba saja gadis itu tersedak kala melihat Jendra, Dion, dan Davin bercanda, lalu menempati meja mereka seperti biasa.

Untung saja, Agil ada tepat di hadapannya sehingga dari meja seberang, mungkin posisi Nirma tak begitu jelas. Belum begitu yakin dengan posisinya, Nirma sengaja menggeser botol saus, tempat tisu, dan tempat sendok tepat di depannya, agar keberadaannya sedikit tersamarkan. Sayang, usahanya sia-sia. Dion sudah keburu melihatnya. Cowok itu tersenyum semringah, lalu melambaikan tangannya.

"Itu Kak Dion dadah-dadah siapa sih?" gumam Alya seraya menoleh ke belakang, tapi orang-orang di belakangnya pun tak ada yang peduli.

Agil sendiri ikut menoleh ke arah meja seberang, lalu mengangkat bahunya. "Dadah-dadah Pak Jamil kali, pengin bakso beranak dalam kubur."

"Lo pikir film horor!" desis Alya sebal, karena tanggapan Agil yang begitu usil.

Dari mejanya, Nirma bisa melihat Davin yang tengah menelepon, sedangkan Jendra menarik tangan Dion berkali-kali untuk duduk, seraya melirik Nirma dengan tajam. Entah tarikan Jendra yang tak terlalu kuat, atau memang Dion yang memiliki tenaga kuda, nyatanya cowok itu masih berdiri dan tak mau duduk.

"Nirma! Sini betar," seloroh Dion lumayan keras, hingga membuat Alya dan Agil melirik Nirma yang menghentikan makannya. Tentu saja Dion tak tahu perjanjiannya dengan Jendra, untuk pura-pursa saling tidak mengenal di sekolah. Nyatanya, sejak pertemuan mereka dojang dua hari yang lalu, Jendra sendiri yang mematahkan janjinya, dengan menyalami Nirma terlebih dahulu.

"Lo kenal Kak Dion?" tanya Alya dengan alis menukik tajam. "Kok bisa?"

Merasa terpojok, akhirnya Nirma mengaku. "Belum lama kok. Uhm ... gue sempat ikut Mas Giri waktu dia ngelatih taekwondo di dojang. Gue ketemu Kak Dion di sana."

"Kakak lo pelatih taekwondo sekolah? Kok lo enggak pernah cerita?" Mata Alya kini hampir keluar dari kelopaknya, mengetahui fakta tentang kakak sahabatnya itu.

"Lo enggak pernah tanya," gerutu Nirma sebal pada Alya yang begitu berlebihan.

"Ih, Nir! Lo tuh ya! Hih!" geram Alya tak jelas, saking jengkelnya. "Kenapa lo enggak pinter sih? Lo kan, bisa manfaatin kakak lo buat deketin –"

"Nirma!" seru Dion lagi sembari memberi kode pada Nirma untuk menghampirinya. Sementara itu, ia yakin sekali melihat Jendra menggeleng pelan.

"Nir, itu Kak Dion manggil lo lagi. Samperin gih, enggak enak ganggu yang lain. Lagian, dia lebih tua, kalau lo enggak nyamperin entar dikira junior sok lagi," ucap Agil sekasual mungkin.

Merasa ucapan Agil ada benarnya, Nirma menghampiri meja kantin seberang dengan sedikit ragu. Jelas sekali Jendra menghela napas lelah lalu menyeruput minumannya, seraya menatap ke arahnya tajam.

"Siapa, Yon?" tanya Davin setelah mematikan panggilan teleponnya.

"Ini Nirma, adiknya pelatih taekwondo sekolah," ujarnya sembari menggeserkan kursi untuk Nirma, di tepat hadapan Jendra. Namun, Nirma menggeleng dan menolak duduk.

Davin mengangguk paham lalu akirnya berkata, "Waaa ... adiknya pelatih lo nih, Jen. Lo harus baik-baikin dia biar nama lo selalu dipakai buat pertandingan."

Belum sampai Jendra menjawab guyonan Davin, Nirma sudah terlebih dahulu menjelaskan, "Enggak perlu kayak gitu, Kak. Kak Jendra memang sudah berbakat dari dulu kok."

"Sok tahu lo!" gerutu Jendra jengkel.

"Galak banget lo, Jen. Perasaan kemarin ketawa-ketawa gitu sama Nirma, mana bahas hal-hal yang gue sama Kak Giri enggak paham gitu, Vin. Udah kayak dunia milik berdua aja," sindir Dion membuat Jendra menoyor kepala sahabatnya itu dengan brutal.

"Mulut lo tuh!"

Davin tampak menyadari sesuatu, bertanya dengan wajah tak yakin, "Jangan-jangan, Nirma ini cewek yang lo maksud ya? Lo kan, paling pinter nyembunyiin hubungan."

"Enggak, Kak, enggak. Gue murid lesnya, Kak Jendra. Bukan cewek yang aneh-aneh." Nirma segera mengklarifikasi pemilikiran Davin, sebelum ada yang mendengar dan gosip-gosip aneh tersebar luas. Nirma tidak ingin konsentrasi Jendra terganggu, mengingat semakin dekat tanggal perlombaannya.

Dari meja seberang, Alya tersenyum karena sedari tadi mendengar percakapan dari kantin seberang. "Gue sebel, Nirma enggak cerita sama gue. Tapi, gue seneng karena dia selangkah lebih dekat sama orang yang dia suka."

"Maksud lo?" Agil bertanya seraya menoleh ke meja seberang.

"Gil, Nirma tahu kok, lo suka sama dia." Ucapan Alya, menarik atensi Agil sepenuhnya. "Tapi, lo sendiri sadar kan, gimana sikap Nirma sama lo. Dia ngerasa enggak enak karena lo yang udah bikin dia dekat sama teman-teman sekelas. Jadi, lo seharusnya jangan terlalu berharap. Gue ngomong gini karena, gue kasihan sama lo, please, jangan tersinggung."

Mendesah lelah, Agil berseloroh, "Gue tahu, Al. Lo enggak usah ngajarin gue buat ngatur perasaan gue kayak gimana. Mungkin ekspresi bisa diatur, tapi perasaan enggak." Agil menggeser kursinya lalu berdiri. Sebelum pergi, ia menunduk ke arah Alya dan berujar, "Lo enggak usah kasihan sama gue, gue enggak butuh itu."

Melihat Agil meninggalkan Alya setelah menggeser kursi dengan keras, Nirma segera kembali ke mejanya, meninggalkan Dion yang tengah memuji kenikmatan eclairs buatan gadis itu.

"Agil kenapa, Al?" tanya Nirma khawatir.

Alya mengangkat bahunya sembari berseloroh, "Tahu tuh, kebelet kali."

Nirma kembali duduk di tempatnya. Namun, melihat wajah gusar Alya, ia sadar pasti ada yang tidak beres dengan gadis itu dan Agil, mengingat Agil biasanya ramah, walau kadang menyebalkan.

Merasa tak enak dengan Agil yang sudah banyak membantunya, Nirma mengirim pesan untuk cowok itu.

Nirmala Larasati: Gil, lo kenapa buru-buru balik? Mi ayam lo gue habisin loh ^^

Due centang biru muncul di pesan itu, tapi tak ada balasan dari orang yang dimaksud. Mendesah kesal, Nirma memasukkan kembali ponsel ke dalam sakunya.

Dia kenapa sih?

***

Agil kenapa sih, Gengs?

Hai~ terima kasih sudah membaca Janji ^^

Yuk, mampir juga di akun pribadi saya 

Ada cerita-cerita yang enggak kalah menarik di sana ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro