Bukit Bintang yang tertinggal jauh
Alana pov.
Beberapa bulan kemudian...
Tidak ada hiruk pikuk yang kudapati di sini. Hanya kesunyian dan aku sangat menikmatinya.
Anggap kepura-puraan, namun ini lah satu-satunya kekuatanku. Aku tidak ingin cengeng lagi soal perasaan. Semua tertinggal di sana, tempat yang sangat jauh dari sini. Berkilo-kilo jaraknya, lagi pula aku sudah memutus semua komunikasi dengan mereka.
Saat duduk di kereta, ketika meninggalkan kota aku masih berharap akan keajaiban. Mungkin Dafa menyusul, atau tergerak hatinya untuk memperjuangkan semua. Gabby menceritakan perasaan Dafa yang sesungguhnya. Aku bahagia mendengarnya. Bukankah berarti dia tidak sepenuhnya membenciku?
Aku tersenyum samar. Pada akhirnya keajaiban itu tak terwujud. Aku kembali ke rumah, menjalani kehidupan tak normal beberapa hari, puncaknya di hari yang kuyakini hari pernikahan mereka aku nyaris seperti zombie. Hanya mengurung diri di kamar, menangis. Hari terberatku.
.
"Di sini rupanya," suaranya menarik kesadaranku ke alam nyata. Aku menoleh, mendapatinya mendekatiku perlahan.
Kak Pras memasangkan jaketnya ke tubuhku, agak kedodoran---tapi hangat. Dia mengikuti arah mataku, menikmati bias lampu seluruh kota.
Berada di keheningan.
Begini lah hubungan kami. Kak Pras amat mengenalku, begitu sebaliknya. Sejak kecil dia menjagaku, karena kami tinggal bersama. Orang tuanya sudah lama meninggal, dan Ayah yang menyukainya meminta untuk jadi bagian keluarga. Itu yang membuatku meninggalkan kota ini, aku mengetahui maksud Ayah-----akan lucu saat terlibat perasaan dengan orang yang sudah kau anggap kakak.
"Ayah bilang kau meninggalkan acara makan malam dengan calon tunanganmu." Kak Pras tersenyum geli, pasti dia sudah mendengar semuanya dari Ayah. Kenapa bertanya lagi? Batinku kesal.
"Sampai kapan, hmm?" Dia mencubit hidungku, tidak sakit. Tapi aku pura-pura mencebik kesal.
Dia kembali menikmati udara setelah tidak ada jawaban yang kuberikan. Buat apa? Kak Pras lebih tahu. Bukankah dia orang yang membantuku bangkit dari keterpurukan dan patah hati? Jadi Kak Pras pasti tahu alasannya.
"Aku harus membereskan kekacauan yang kau buat," ungkapnya tanpa menoleh ke arahku, mengambil ponsel, entah mengirim apa.
"Paling hanya kehilangan kontrak kerja sama," sahutku cepat. Bagi para pengusaha, menjodohkan anak mereka dengan mitra kerja sudah hal biasa. Pernikahan politik-dengusku.
"Benar, tapi bukan itu yang kukhawatirkan," menggantung. Kak Pras sepertinya ragu ingin melanjutkan inti dari kedatangannya kemari.
"Lalu?" Tanyaku santai
"Bisa saja kita dipaksa menikah," meski mengucapkannya dengan gaya santai tapi aku bergidik ngeri.
Kak Pras tertawa, khas dirinya.
"Jangan becanda!"
"Tidak. Itu serius. Kupikir juga tidak ada salahnya, kita bukan saudara kandung."
"Berhenti mengatakannya!" Aku tidak tahan lagi.
"Al, mau sampai kapan?"
"Itu urusanku!" Aku akan beranjak tapi Kak Pras mencekal tanganku hingga aku kembali duduk.
"Lupakan dia!" Dia mengatup mukaku dengan ke dua tangannya, aku menunduk, rasanya sangat menyesakkan.
Jika boleh jujur, aku sudah berusaha melupakannya karena saat ini pasti Dafa dan Gween sudah bahagia, saling memaafkan. Sedang aku seperti pesakitan yang mendambanya.
"Tatap aku!"
Aku menggeleng, air mataku tumpah. Begini lah. Setiap kali membayangkan mereka hatiku sakit. Dafa tak sepenuhnya mencintaiku, dia tetap memilih Gween dan aku terkapar---jatuh bangun mengobati luka.
Kak Pras memelukku, mengecup puncak kepala, memberi kekuatan. Aku tak menolak. Aku membutuhkan sandaran.
.
Author pov.
"Kau sudah mendapatkan alamatnya?" Tanya Rafa, Azka menggeleng. Ini lebih sulit dari kemarin saat dia mencaritahu tentang Alana.
"Kenapa kau tidak mendekati Gabby?"
"Mendekati? Baru mencoba gadis itu langsung waspada. Dia tahu aku sahabatmu." Protes Azka.
Sam tersenyum. Dia juga merasa kesulitan kali ini. Satu-satunya orang yang mengetahui alamat Alana selain keluarga Hadikusuma adalah Gabby.
"Damian mana?" Rafael bertanya, dia baru sadar kalau anggota mereka kurang satu. Si tukang Tidur, Damian.
"Dia keluar kota." Sam yang menjawab
"Tumben?" Azka kali ini, karena tidak biasanya si tukang tidur mau repot-repot keluar kota untuk pekerjaan.
"Dia akan membangun hotel di sana, dan dia perlu melihat langsung keadaannya." Sam menjelaskan
Azka ber-oh ria.
Rafael tak berkomentar. Masalahnya cukup banyak, terutama menyangkut Dafa. Coba dulu dia melaksanakan rencananya, setidaknya semua tidak berakhir seperti ini. Tapi apa dia bisa menolak permohonan kembarannya. Bukankah satu sakit, satunya lagi ikut merasakan?
"Alana Pratiwi, kau sudah keterlaluan!" Rafael mengepalkan tangan hingga buku jarinya memutih.
Sam dan Azka menatap ngeri. Kalau sudah begini mereka tidak berani membayangkan jika Rafael menemukan gadis itu. Semoga hal buruk tidak terjadi seandainya memang mereka akhirnya bertemu.
***
Malming, mblo...
Sudah makan? Karena itu satu-satunya alasan supaya kita tetap kuat menghadapi kenyataan. Kenyataan kalo malming cuma mantengin hape 😄😄😄
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen.
Salam
LoopiesFM
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro