Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Janji

Didedikasikan untuk AkiyamaAoi, arigatou, Lulu! Makasih udah mau jadi salah satu first reader. Sebenernya mau kudedikasiin ke kak @wanda-ay juga, soalnya udah bikin terinspirasi oleh diksinya yang wow banget. Makasih, kak!

***

Suara embusan angin sepoi terdengar, mengalun syahdu bersama melodi klasik yang diputar. Mataku terpejam sesaat, menikmatinya tenang. Pelan-pelan, cahaya senja masuk melalui jendela kayu yang engselnya bergerak, nyaris terbuka seluruhnya.

Kubuka mataku, kembali bersitatap dengan pemandangan di sana. Wanita itu masih tergugu di kursi, sama seperti dulu. Dalam diam dan senyap sore, jemari penuh kasihnya membuka satu demi satu lembaran kertas putih yang tak lagi kosong, berhiaskan barisan huruf terangkai bertinta hitam. Netranya bersinar redup, ditimpa senja yang samar-samar pergi.

Aku ikut bergeming, menyaksikan wanita itu bergerak dari duduk setelah sekian jam menyandarkan punggung nan letih miliknya di kursi. Kulihat wajahnya dilingkupi sendu, sama seperti tatapan miliknya yang terbungkus luka. Aku terdiam menatapnya.

Suasana nostalgia yang sedari tadi mengalir, hilang sekejap, tatkala si wanita menghentikan laju piringan hitam usangnya. Ada sunyi yang meraja pada tiap-tiap jejak sang wanita yang pergi, melangkah sembari menggenggam tumpukan kertas yang tadi dibacanya.

Dalam senyap, kuikuti arah kakiknya menapak. Tubuhnya berangsur meninggalkan rumah berdinding dan berjendela kayu itu, diiringi barisan cahaya jingga memudar, tergantikan serat malam terbentang samar.

Renta tubuhnya tak henti bergerak maju, menghalau tatapan orang-orang yang menyiratkan rasa kasihan. Aku tahu dia tak suka dikasihani, karena kini, detik-detik di mana sore menjelma gulita bersaksi atas gigihnya. Tak sekalipun dia berhenti mengayunkan kakinya, menghadang pekat bersanding beku merambat.

Masih kuikuti dia tanpa sepatah kata terlontar. Ayuan langkahnya yang tenang, kini beranjak menuju kursi panjang di area taman yang sunyi. Lampu-lampu di tempat itu menyala damai, membuatku sadar akan prajurit malam yang telah menyergap seluruhnya.

Wanita itu kini duduk. Aku lagi-lagi mengikutinya, ikut bergeming di sisi kiri badannya. Tanpa tolehan kepala atau lirikan mata, kutahu ia tak sadar akan sosokku.

Kulihat dia menatap kosong semak belukar di hadapannya. Aku tahu ada kesedihan berembun di sudut matanya, yang kemudian tumpah membasahi wajah itu. Kurasakan bara kesedihan mengelilingi atmosfer di antara jaraknya denganku.

Tampak meski samar kemuraman dalam setiap gerakan bahunya yang bergetar pelan. Aku mengetahuinya. Lalu, entah mengapa, hatiku seolah terbakar nyala api kesedihan yang sama-aku tak tahu apa.

Dalam tangis pilunya, kuamati dia mulai membuka barang yang dibawanya. Kertas berhiaskan tinta itu kini basah. Pelan-pelan, si wanita membacakan isinya.

"Wahai para penghuni dunia ... ."

Suara si wanita mengalun jernih, sejernih embun pagi yang kusuka. Tiap katanya yang terucap mengisi kesunyian perlahan.

Aku terhanyut.

***

Wahai para penghuni dunia.

Hari ini, ketika kalender menunjuk pada angka ke dua puluh dua di bulan Desember, senja mulai merayap. Aku masih berdiri di depan jendela, menanti kicau burung yang terkadang hinggap di dahan pohon kesukaanku. Sinar lembut berwarna oranye menyiram wajahku. Ada kehangatan yang menimpa hati, membuatku tersenyum.

Derit pintu kayu yang sangat kukenali ritmenya terdengar. Ibuku muncul di sana, menghampiri tubuhku yang kemudian duduk di kursi dekat jendela. Ada semburat sendu menghias wajahnya. Kutunggu ibuku bicara dalam diam.

"Besok, Ibu akan berangkat ke luar kota. Mereka bilang, ada job mendongeng di sana. Kamu tak apa, kan?"

Pertanyaan dan pernyataan akan kesendirian yang kubenci kini terucap. Pelan, aku merasa sebatang kara.

"Tidak apa. Aku bisa di rumah sendirian." Aku menjawab lirih, senyum kuulas agar ibuku tidak khawatir.

"Ibu janji, akan pulang dua hari sebelum ulang tahunmu. Akan merayakannya di taman kesukaan kita," ucap ibuku sembari tersenyum. Diacaknya rambut sepunggungku yang kuikat seperti biasa penuh kasih.

"Ibu," panggilku. Ibuku menghentikan aksinya, menatap wajahku kini.

"Aku janji, selama Ibu pergi, tak akan kubuat Ibu malu. Ibu masih ingat janjiku dulu, kan? Aku janji, menjauhi pergaulan yang salah sampai titik terakhir. I promise," ucapku sembari mematut wajahku di dalam matanya sungguh. Kuacungkan jari kelingking, memberi instruksi agar Ibu melakukan hal sama. Setelahnya, kutautkan jari kami dengan netra berkaca.

"Aku janji."

Ibuku mengangguk, lantas mengucapkan hal yang sama.

Hari itu, ketika malam menjamah hari, janji kami terucap. Janji yang kuyakin, akan kutepati dengan sempurna.

**

Wahai embun nan menghias pagi.

Rabu ini, hari ke dua puluh tiga bulan ke dua belas, kicau burung menyambutku kala jendela kayu kamar pribadiku kubuka. Sepoi berhawa sejuk menerpa setengah tubuhku yang dibatasi kusen jendela. Sayang, hari ini, ibuku pergi, tepat setelah kubalikkan tubuh berpaling dari sana.

"Afwa." Kudengar Ibu memanggil lirih. Kutatap wajahnya yang makin menipiskan jarak dengan diriku. Kupeluk tubuhnya erat ketika jarak itu nyaris terbunuh, seakan ia tak akan pernah bertemuku lagi. Aku menangis. Satu minggu, dua hari sebelum hari ketika aku melihat dunia, bukanlah waktu sebentar untuk menunggu. Setidaknya menurutku.

"Jangan menangis. Anggaplah waktu di mana kamu sendirian adalah waktu untuk mengingat Ibu tanpa air mata," ucapnya parau. Aku menangis dalam dekapannya.

Suara klakson mobil mengakhiri rasa hangat yang kurasa.

"Daaahh ... ," kata ibuku ketika kulihat dari jendela tubuhnya mulai memasuki mobil. Aku melambaikan tangan hingga kendaraan roda empat itu menghilang dari pandangan.

Kautahu? Ketika kutulis kata demi kata ini di atas tubuh putihmu, air mataku kembali menetes. Aku tahu aku cengeng. Dan kuharap, ibuku tak tahu soal tangisanku hari ini.

**

Hai embus sejuk yang menghampiri.

Maafkan aku yang kini jarang menulis kata-kata hatiku pada tubuhmu. Hari ini, tiga hari sebelum ibuku kembali, lima hari sebelum ulang tahunku terjadi, aku tak lagi merasa sendiri. Minggu ini, kujanjikan padamu akan menulis banyak hal.

Kautahu? Malam ini, Angkasa Widatama, ketua kelas di sebelah ruang kelasku, mengajakku makan malam lewat pesan singkat. Entah aku harus bagaimana. Perasaan bahagiaku membuncah, seakan-akan telah kulihat hasil karyaku berjajar di rak-rak toko buku terkenal.

Dia, Angkasa, bilang malam ini, ketika aku dan dia menikmati makan malam yang telah ia janjikan, ada hal yang akan dia katakan di hadapanku.

Jadi menurutmu, aku harus pakai apa?

Apa menurutmu, gaun putih berhias hiasan kupu-kupu itu cocok kupakai nanti malam? Atau mungkinkah kaus panjang tosca bermotif dedaunan berpadu rok panjang hitam itu lebih baik? Tetapi kurasa, aku akan memakai gaun yang sama dengan ibuku saat kami merayakan ulang tahunnya tahun lau. Gaun merah muda selutut yang paling kusuka itu, kurasa yang paling baik.

Ah, ya. Aku lupa.

Menurutmu, bagaimana aku menata rambutku untuk dipadukan dengan gaun yang kupakai? Apa geraian rambut saja cukup untuk membuatnya tak kecewa mengajakku makan malam? Atau lebih baik kukepang bagian sampingnya, dan kuikat ekor kuda? Ah, mungkin aku akan menguncir ekor kuda saja rambutku tanpa riasan apapun seperti biasanya. Karena kurasa, itu yang paling cocok. Benar, kan?

Ya ampun, aku tak sadar sore nyaris habis. Gadis penyuka senja ini kurasa harus bersiap-siap sekarang.

**

Wahai kertas putih kesayanganku.

Kurasa, ini akan menjadi tulisan terakhirku. Hari ini, sehari sebelum ibuku pulang, pekat menyertai hatiku tanpa celah.

Dia, Angkasa, membuatku ketakutan. Minggu itu, ketika ia bilang ia menyukaiku, perlahan diriku terasa kotor.

Aku sudah kotor. Kata-kata itu sungguh menakutiku sepanjang waktu setelah kejadian itu terjadi.

Malam itu, tanpa sadar, kutenggak segelas bening yang tersedia di atas meja, dan entah kenapa, lama-kelamaan tubuhku oleng. Lantas setelahnya, kesadaranku menipis. Dengan sekelumit memori yang ada, kuingat Angkasa membawaku pergi, menuju tempat yang tidak akan pernah kukira.

Tempat itu, penuh dengan berbagai macam barang yang pernah kujanjikan tak akan kutelan pada ibuku. Tetapi apa? Dengan mata nyaris terpejam, Angkasa menyodorkan salah satunya padaku, yang entah apa sebabnya, kutelan tanpa pikir panjang. Akal sehatku terbang bersama sisa kesadaran yang kupunya.

Aku kemudian menemukan diriku sendirian, teronggok di sudut ruang berdebu tanpa helaian kain. Hatiku robek terasa, memaksa api kesedihan berbaur bersama pedih.

Rasa bersalah itu kini membesar. Janjiku pada Ibu hangus pada malam itu. Tangisku tak berhenti hari ini.

Tubuhku kotor, tak lagi bersih. Kautahu seberapa menyakitkannya kenyataan itu? Hatiku bagai dipukul gada penuh dosa.

Hari itu juga, kututurkan semuanya, pada orang-orang yang kutahu bisa kupercaya. Karena itu, hal satu-satunya yang bisa kulakukan untuk menutup perih yang membuatku tersedu. Mereka mengangguk mengerti, membuatku mengucap syukur sekian kali.

Dan mungkin setelah kutulis ini, aku akan tidur, menyambut esok dengan sisa kebahagiaan yang kupunya. Sebab kurasa, akan ada hal aneh yang kembali menyerangku kala gelap kutangkap di mata, entah mimpi buruk, atau kenyataan buruk.

Ibu, mungkin aku tak akan cerita padamu tentang ini. Karenanya, kutulis hal yang ingin kusampaikan dalam jalinan kata di atas kertas putih yang kini basah oleh air mata.

Aku minta maaf, Ibu. Kumohon dengan sungguh, maafkan aku.

***

"Afwa ...," suara serak yang sarat akan pilu itu mengakhiri kisah yang dibacakannya. Sang wanita tampak tersedu, memeluk tumpukan kertas itu erat.

"Asal kamu tahu, Nak. Aku tidak marah. Ibumu ini tahu, kau masih bersih, tanpa noda menghias tubuh ataupun hatimu.

"Kau tahu, Afwa? Hari itu, ketika aku pulang dari pekerjaan mendongengku di luar kota, kutemukan dirimu bersimbah darah yang telah menghitam. Aku menjerit, jeritan ternyaring yang pernah kukatakan setelah jeritanku kala melihat ayahmu meninggal dulu. Kupanggil polisi, dan setelah mereka datang, rumah kayu kita ramai didatangi tetangga.

"Dengan kesedihan menyala-nyala, Afwa, kudengarkan penjelasan mereka mengenaimu. Mereka bilang, kau mati terbunuh saat malam sebelum kepulanganku. Dan kau tahu, Anakku Sayang?" Sang wanita mengembuskan napas berat. Matanya yang basah entah kenapa membuatku ikut terluka.

"Dia, Angkasa Widatama, orang yang kaulaporkan pada kepolisian, adalah orang yang juga dengan teganya membunuhmu. Aku begitu marah. Kubilang pada polisi, 'penjarakan dia seumur hidup' dengan suara bergetar. Mereka setuju, lantas pergi meninggalkanku yang menangisimu.

"Hari ini, hari ulang tahunmu, Afwa. Setahun setelah kamu pergi, dan ibumu ini masih belum bisa menghapus rekam peristiwa itu-saat kulihat tubuhmu bermandi darah."

Kulihat pelan-pelan, si wanita tersenyum pahit.

"Kutepati janjiku, janji yang kuucap sebelum aku pergi mendongeng, sehari sebelum pelukan terakhir kita, janji yang setelah aku datang, tak sempat kupenuhi."

Mataku memanas, entah karena apa. Kristal hangat itu meluncur membasahi pipi. Aku terlalu terhanyut.

"Selamat ulang tahun, Afwa Izzati, anakku terkasih. Malam ini, akan kubacakan dongeng milikku yang paling kausuka."

Aku terenyuh. Desau angin malam menyaksikan tangisanku menjelma isakan haru.

Wanita itu memaafkanku, bilang kalau aku sudah menepati janji, meski secara tidak langsung. Hatiku hangat, setelah satu tahun terasa beku.

Masih kudengarkan dongeng indah si wanita yang terasa menyentuh. Wanita itu, ibuku yang tersayang. Aku, anakmu, Afwa Izzati, kini bisa mendengarkan dongengmu untuk yang terakhir kali.

Dan setelahnya, aku merasa bisa pergi dengan tenang. Janjiku yang hangus, kini kurasa, telah kutepati dengan sempurna.

***

Aoi's Note

Aku nggak yakin sebenernya mau publish ni cerita. Gaje emang. Jadi, kalau ada krisar, aku terima dengan amat sangat terbuka. Hehe. Yah, sebenernya cerpen ini dibuat untuk lomba, jadi yaa gitu.

Udah, gitu aja.

~Aoi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro