Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

08. Yang Datang Kapan Saja

Hijrah. Kata itu masih terasa indah bagi Via. Tinggi seakan sulit didapat. Suci, bersih, bagi dirinya yang ragu. Gadis itu menerawang, menatap daun yang saling menyenggol. Pantaskah?

"Jangan ragu, Kak. Allah pasti bantu, kok. Oh iya, Ais bawa ini untuk Kakak." Aisya menyodorkan paper bag kecil. Dari luar, Via sudah dapat menebak bahwa isinya kerudung. "Coba pakai, Kak, Ais pengen lihat. Warnanya cocok, nggak, sama Kakak?"

Via membuka bungkusan jilbab, menemukan kain persegi panjang berwarna marun.

"Sekarang?"

"Hu'um. Ais tunggu, ya. Atau mau Ais susulin?"

Via menggeleng. "Nggak apa-apa, kamu di sini aja. Toilet mana?" Aisya menunjuk ke satu arah, atensi Via mengikuti ujung telunjuk Aisya lalu mengernyit. "Itu, 'kan, toilet pria."

Aisya terkekeh sebentar. "Toilet wanita agak masuk ke dalam."

Via mengikuti arahan Aisya, berlari-lari kecil menuju toilet. Sampai di sana, gadis itu merinding. Cahaya matahari hanya masuk sedikit, gelap. Ketika saklar lampu ditekan, benda bulat itu tidak hidup.

Via cepat memakai pashmina marun pemberian Aisya. Gadis imut itu juga sekalian memberinya jarum pentul, sangat detail. Terakhir, Via mematut diri di cermin buram. Agak aneh. Ia memakai kemeja flanel kuning dengan rok hitam panjang, tidak serasi dengan hijabnya.

Berada di ruangan gelap dan sepi meski masih dalam kawasan masjid membuat bulu halus di tangannya ikut berdiri. Via menyugesti diri sendiri untuk tidak takut, padahal kepalanya membayangkan yang tidak-tidak. Ketika merasa napasnya mulai tersendat, Via memutuskan untuk keluar, tidak berminat mematut diri lebih lama.

"Gimana?" Aisya langsung menyambut dengan semangat ketika melihat Via keluar dari kamar mandi.

"Angker."

"Apanya?" Kening gadis imut itu mengernyit.

"Kamar mandinya," jawab Via, masih bergidik.

Aisya mencebik ringan, bibirnya mengerucut. "Ais, kan, nggak nanya kamar mandinya."

Via menjawil pipi Aisya yang menggembung, pura-pura ngambek. Gadis itu tampak menggemaskan. "Harusnya aku yang nanya ke kamu. Gimana?"

"Cantik, banget, banget, banget!" celetuk Aisya sembari menunjukkan dua jempol. Matanya berbinar.

Via menghela napas panjang. Hatinya bimbang. Saat tidak memakai hijab, dirinya masih merasa nyaman. Namun, saat memakainya, hati terasa adem. Ada dorongan dari sana, tetapi ia tidak tahu mengapa rasanya masih ada yang mengganjal.

"Pakai kapan aja Kak Via siap. Ais doain yang terbaik," ujar Aisya, menyadari perubahan raut wajah Via.

"Em ... ya, makasih."

Aisya mengangguk seraya menampilkan senyum terbaiknya. "Ais harus masuk lagi, Kak. Kakak ke sini mau jumpa kakaknya Ais, kah?"

"Eh? Enggak, kok, cuma mau ketemu kamu aja."

Aisya menyikut Via. "Beneran?"

"Iya, niatnya ke sini cuma buat ketemu kamu aja, sih. Mau nanya soal jilbab."

Aisya manggut-manggut. Gadis kelas satu SMA itu mengalihkan pandangan antara Via dan teras masjid—tempat temannya berkumpul—berulang kali.

"Balik aja, nggak apa-apa. Aku juga mau langsung pulang aja." Via lebih dulu menyadari gelagat Aisya. Gadis yang memiliki wajah imut itu terkekeh.

"Oke. Kalau ada yang mau Kak Via diskusiin, jangan segan nyapa aku, ya!"

Via mengangguk, menaikkan dua jempol. Aisya balik ke serambi masjid, sedangkan Via ke toilet. Lama-lama memakai jilbab membuat lehernya gatal sebab tadi ia tidak mengikat rambut. Tambah lagi, saat ini Via kebelet ingin buang air kecil. Jadilah ia kembali ke bilik tanpa penerangan, lembab, dan pengap. Jangan lupakan, horor. 

"Permisi, assalamu'alaikum." Via pelan-pelan menapaki kakinya di ubin yang tampak seperti tidak disikat dalam kurun waktu lama.

"Eh, astaghfirullah. Masuk kamar mandi nggak boleh pakai salam." Via berbicara sambil merutuk diri sendiri. Sesaat kemudian ia memukul pelan bibirnya.

"Eh, kalau bilang astaghfirullah boleh, nggak, sih?"

Angin yang entah dari mana mengibarkan ujung jilbab yang dipakainya. Gadis itu akhirnya memilih untuk menyudahi pertanyaan dan melepas jilbab. Agak ragu, Via masuk ke salah satu bilik toilet yang airnya lebih banyak dari bilik lain.

Setelah mengunci pintu—terang saja Via tidak merasa aman dengan kamar mandi ini—gadis itu merasa dadanya sesak. Tanpa penerangan, sempit, dan tidak ada ventilasi. Jantungnya bertalu-talu. Berusaha diabaikan, tetapi ia tidak dapat menolak bahwa dirinya mengidap claustrophobia.

Toilet ini cukup untuk membuat napasnya sesak. Menahan luapan rasa cemas, Via berusaha untuk cepat-cepat menyelesaikan keinginannya buang air. Entah mengapa, tengkuknya terasa dingin sejak tadi. Rasa takutnya bertambah berkali-kali lipat.

"Tenang, tenang. Tarik napas ... buang," ucap Via sebelum membuka pintu. Ia menanamkan sugesti bahwa tidak akan terjadi apa-apa dan akan segera keluar dari bilik toilet yang tidak menyenangkan itu.

Atensi Via membulat ketika gagang pintu silinder yang tadi dikunci tidak dapat dibuka. Gadis itu baru sadar kalau kuncinya sudah berkarat dan bahkan saat ini tidak dapat diputar. Meski berkali-kali menyugestikan diri untuk tetap tenang, tetapi ia gagal untuk kesekian kali pula.

Keringat dingin mengucur, jantungnya juga berdetak terlampau cepat. Tangannya berubah menjadi dingin, lututnya gemetar hebat hingga tubuh Via jatuh merosot. Fobianya kambuh. Dengan sisa tenaga, Via menggedor pintu. Rasa panik kian membuncah saat menyadari tidak ada respons apa pun dari luar.

Pandangan Via memburam, napasnya tercekat. Gadis itu menekan dada sebab mulai sulit memasok oksigen. Sebelah tangan masih menggedor lemah.

"To-tolong. Siapa aja, tolong ...."

Tolong, Ya Allah. Nggak lucu kalau napasku berhenti di toilet ini karena fobiaku kambuh, batin Via. Kelopak mata gadis itu kian terasa berat. Dalam hitungan detik sudah tertutup rapat walau kesadarannya belum hilang.

"Siapa di dalam?"

"S-siapa di sana?" Via masih bisa merespons walau napas tak beraturan dan kelopak mata tertutup.

"Eh? Bentar, deh. Kak Via, ya? Eh, ini Ais. Kak Via di dalam, 'kan, ya?"

Kesadaran Via menurun drastis. Sebelum hilang sepenuhnya, gadis itu mendengar langkah kaki yang kian menjauh.

🌷

Via berjalan beriringan dengan kembarannya, Vira. Pemandangan sekitar sungguh memanjakan mata. Rumput hijau yang berkilau bagai permata tertimpa cahaya mentari, bunga kristal bermacam warna, sungai jernih mengalir tenang, dan aroma menyenangkan di sekeliling.

Di depan sana, atensi gadis itu mendapati istana tak terkira megahnya. Pintu setinggi langit terbuat dari emas. Menjulang, tidak ditemukan titik tertingginya. Yang bisa dilakukan Via hanya mendecak kagum.

"Gue masuk dulu, ya. Ayah, Bunda, Kak Fahri, dan Kak Farah udah nungguin di dalem."

"Ikut!"

"Nggak bisa, Vi," bantah Vira cepat.

"Kenapa? Kenapa lo bisa dan gue enggak?"

Vira memandangi Via lekat kemudian menghela napas pendek. "Ada kewajiban yang belum lo tunaikan, makanya lo nggak bisa masuk."

Via mengernyit, matanya menyipit. "Kewajiban apa?"

Vira mengeluarkan kain panjang berwarna putih dari sebuah tas sutera yang ditenteng seja tadi. Sejurus kemudian merentangkannya di atas kepala Via, menyampurkan satu ujungnya ke bahu kiri, membuat kembarannya bengong.

"Lo tau, 'kan?"

Via menelan ludah susah payah. Jujur, sedikit dalam hatinya ingin berubah. Menjadi seperti Bunda, Kak Farah, dan Vira. Akan tetapi, masih ada pemberontakan di sana. Ia tidak cukup siap untuk berubah.

"Udah, ya? Gue pergi dulu."

Via sigap mencekal pergelangan tangan Vira. "Kalau lo pergi ke sana bareng Ayah, Bunda, Kak Fahri, dan Kak Farah, gue di sini sama siapa? Lo mau pergi dan ninggalin gue gitu aja?"

Tidak siapa pun senang ditinggalkan, begitu pula Via. Tidak cukup buruk menjadi seseorang yang sendirian di tempatnya berpijak saat ini, sebab hamparan taman tersebut pun luas dan tak berujung sejauh mata memandang. Tetap saja, keluarganya di dalam. Rumahnya di sana.

"Gue bisa apa, Vi? Gue punya kuasa apa untuk menolak takdir Allah? Lo di sini karena pilihan lo sendiri," pungkas Vira. Gadis berkerudung itu melepas pelan cekalan tangan Via lalu memeluk kembarannya erat.

Saat Via baru selesai memproses ucapan Vira, kembarannya itu sudah berjalan lebih jauh. Hendak mengejar, tetapi kakinya beku. Hingga pintu emas menjulang itu terbuka, sinar terang menyelimuti segala penjuru. Vira masuk ke sana tanpa menoleh sedikit pun dan ditinggal oleh Vira adalah hal yang paling menyakitkan.

"Vir!"

🌷

"Kak!"

Via terkesiap. Dadanya bergemuruh kencang. Netranya menyapu sekeliling lantas dengan napas yang terputus-putus berusaha mendudukkan diri. Ia masih merasa tangannya gemetar, tetapi berusaha untuk mengendalikan diri. Yang barusan hanya mimpi.

Vira nggak mungkin ninggalin gue, batinnya.

Orang-orang yang tadinya ramai mengelilingi Via mulai bubar satu per satu. Jemari hangat Aisya menangkup tangan Via. Via baru sadar bahwa di hadapannya duduk seorang Aisya. Gadis kelas saru SMA dengan wajah menegang. Sambil mengatur napas, Via mengingat-ingat hal terakhir yang terjadi sebelum kesadarannya raib.

Toilet sialan.

"Minum dulu." Via mendelik menyadari Fata juga duduk di depannya, di sebelah Aisya. Saking fokusnya mengatur napas dan menyugesti diri sendiri untuk tetap tenang, ia tak menyadari keberadaan cowok jangkung tersebut.

Via menerima botol air mineral yang diulurkan Fata. Tangannya masih gemetar saat hendak membuka tutupnya yang masih tersegel rapat. Sebab jemarinya licin, botol itu malah jatuh dari genggaman. Fata mengambil alih untuk membuka tutup biru dan menyodorkan kembali ke Via.

Gadis itu meneguk cepat hingga airnya tandas.

"Ais, gue lihat surga," celetuk Via setelah napasnya berangsur normal.

Jeda sekian detik sebelum Aisya tergelak. Fata tampak membuang pandangan, berusaha menahan tawa.

"Beneran, gue beneran lihat!" Via masih bersikeras. Aisya mengusap sudut matanya yang berair.

"Surga itu nggak bisa dibayangkan penglihatannya," seru Fata. Nadanya datar, tetapi menurut Via malah terdengar seperti sebuah ejekan.

"Sok tau lo! Yang lihat, kan, gue," bantah Via ketus. Fata lagi-lagi memalingkan wajah untuk menahan tawa dan hal itu membuat Via jengkel.

"Kak Via punya sakit asma, ya?" Aisya mengubah topik. Via menggeleng.

"Nggak murni asma, sih. Gue punya fobia sama ruangan sempit dan pengap. Kalau udah di situasi cemas, dada gue sesak."

Via memelintir botol air mineral yang sudah kosong, menyasar tong sampah di belakang Fata, sebelah kiri. Sayangnya, botol plastik tersebut malah terlempar ke arah pelipis Fata cukup keras, membuat lelaki itu mengaduh.

"Tong sampahnya di sebelah sana. Saya yakin matamu masih normal." Setelah mengurut keningnya yang dicium botol bekas, Fata mengambilnya lantas membuang ke tempat yang seharusnya.

Via mencibir. Sebenarnya, salah sasaran juga tidak apa-apa. Itu bayaran karena telah membuatnya jengkel.

"Oh, iya. Makasih karena udah nolongin gue," ujar Via kepada Aisya yang masih panik melihat kakak lelakinya mengurut kening.

"Eh, bukan Ais yang nolongin, kok, Kak."

"Loh? Lo yang dengerin gue minta tolong, 'kan?"

"Hu'um, tapi yang nolongin Kak Via itu kakaknya Ais." Aisya memamerkan senyum khasnya.

Via menoleh ke arah Fata. Cowok itu memalingkan wajahnya ke arah parkiran masjid, mungkin kesal karena dilempari botol bekas. Via meringis.

"Kok bisa dia, sih?"

"Gini, gini. Ais bisa aja dobrak pintunya, tapi Kak Via kan pingsannya nyender di pintu, jadi nggak mungkin didobrak, ntar terpelanting. Jadi, Ais panik. Yang ada di pikiran Ais cuma kakaknya Ais. Ais panggil, dia yang congkel handel pintunya."

"Trus, yang bawa gue ke sini?"

"Kakaknya Ais juga. Nggak mungkin, kan, Ais nyeret Kakak?"

Sialan, ini jantung gue kenapa lagi, sih? celetuk Via dalam hati. Mendengar kalau yang menyelamatkannya adalah Fata, aliran darah gadis itu terasa hangat dan berimbas pada detak jantungnya yang menggila tak tahu diri.

"Bukan muhrim, tau," cetus Via tiba-tiba. Fata menoleh.

"Yang bener itu bukannya muhrim, tapi mahram. Bukan mahram," koreksinya.

"Ya, sama aja. Lagian suka-suka gue mau nyebut apa."

Fata menghela napas. "Maaf. Itu karena Ais nggak kuat ngangkat kamu dan cowok yang lagi ada di situ cuma saya."

"Panggil orang, kek, siapa, kek."

"Kamunya udah kehabisan napas, nggak mungkin dibiarin lebih lama di dalam. Ais juga minta tolong sambil nangis, saya harus apa?"

Via mati-matian menjaga keseimbangan bibirnya agar tidak tertarik sudut-sudutnya hingga membentuk senyuman. Ia harus tampak biasa saja walaupun sedang salah tingkah. Digenggamnya tangan sendiri untuk menetralkan rasa hangat yang menjalar di wajah.

"Lagi pula, apa kamu nggak tau caranya berterima kasih?"

Lupakan ucapan manisnya tadi. Saat ini Via merasa ingin melempar sepatunya ke wajah Fata.

"Ngemis terima kasih, ya, lo? Nggak ikhlas?" Via memandang sinis.

Fata menggeleng. Sejurus kemudian cowok jangkung itu berdiri. "Kalau kamu nggak tau caranya bilang terima kasih, saya mau langsung pulang."

"Eh, tunggu dulu, Kak. Masa Kak Via mau ditinggalin?" protes Aisya.

"Dia udah banyak bicara, kayaknya udah baikan. Yuk, Ais. Umi nitip belanjaan juga sama kamu, 'kan?"

Aisya tersenyum canggung, ikut bangkit mengekori langkah kakaknya.

Bilang makasih, nggak? Bilang, nggak? Dia nyebelin banget, tapi kalau nggak ada dia, mungkin bakalan mati konyol gue, batin Via.

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya gadis itu bangkit. Sempoyongan ketika pertama kali berdiri, kepalanya sedikit terasa seperti berputar.

"Fata!" Cowok itu menoleh. "Makasih," ungkap Via. Tanpa menjawab apa-apa, Fata kembali melangkah.

Sumpah! Dikira dia siapa, bisa sombong banget kayak gitu, hah? rutuk Via dalam hati. Sungguh, jika kepalanya tidak sedikit pusing, sudah diraih sneakers-nya dan dibalingkan ke tengkuk Fata. Syukur-syukur jika tulangnya retak.

"Sama-sama."

Via yakin dia mendengar Fata menjawabnya. Tanpa sadar, dua sudut bibir gadis itu saling menarik hingga membentuk lengkung indah di wajahnya. Senyum itu, yang terpahat karena Fata menolongnya, lagi.

Rasa aneh menjalar di tubuhnya. Hangat, tenang, walau direcoki irama jantung yang tidak beraturan. Namun, Via cukup nyaman akan gelenyar asing yang dirasakannya saat ini.

"Makasih, untuk lo yang datang kapan saja."

🌷🌷🌷

Update, yuhu!
Tengok pojok kiri! Kelihatan simbol bintang, ngga? Nah, kelen pencet itu bintang.
Udah? Bagos.
Blom? Buruan, ditungguin!
Ngga mau? Y-ya ... gapapa sih. Asal kau bahagia.

Oh, kalau kalian nemu typo, janlup ingetin Yoru, ya. Jangan segan juga untuk komen. Komentar kalian bikin Yoru semangat nulis dan update. (≧∇≦)

Anyway, thankyou~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro