Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

07. Tentang Hijab dan Alasannya

Via baru selesai mengerjakan tugas Biologi. Tangannya kini memegang surat rekomendasi dari sekolah untuk melanjutkan pendidikan kedokteran di salah satu universitas di Inggris. Dari beberapa murid bertalenta, dirinyalah yang dipilih untuk mewakili sekolah.

Bunda dan Ayah mengizinkan, tentu saja. Sejak awal bahkan sangat bangga melihat surat dalam amplop cokelat tersebut. Via juga sama senangnya. Belajar di luar negeri adalah salah satu dari banyak impian yang tercatat dalam wish list-nya. Namun, entah mengapa kali ini hatinya merasa berat.

"Harus disiapin secepat mungkin, soalnya data harus segera dikirim supaya prosesnya lebih cepat."

Begitu ucap Pak Bambang kemarin saat dirinya dipanggil ke ruang kepala sekolah. Kini, gadis itu ragu entah karena hal apa.

Via bangkit dari kursinya. Langkah membawanya ke lemari, mengambil gamis pemberian Vira dari sana. Satu lagi, jilbab.

Via melipat ujung ke ujung kain persegi itu sampai berbentuk segitiga yang simetris. Tak sulit memakainya, Via terkadang melihat proses Hani mengenakan benda tersebut Lima menit berselang, kepalanya tertutup sempurna. Gadis itu mematut diri di depan cermin.

Sosok di sana, kelihatan anggun. Ada gelenyar hangat di hati, sensasi aneh yang menyenangkan. Via, di sana lebih mirip dengan Vira dalam versi yang sama.

"Via! Ngapain? Pintunya Kakak ketuk dari tadi, loh." Kak Fahri tiba-tiba masuk, tangannya memegang beberapa lembar kertas.

Baik Via maupun Kak Fahri sama-sama tersentak. Via terkejut akan kehadiran kakaknya yang tiba-tiba, sedangkan Kak Fahri kaget sebab melihat adiknya dalam balutan busana muslimah, tambah lagi jilbab yang dipakai. Via yang menyadari hal itu, buru-buru melepas jarum pentul di bawah dagu.

"Nggak usah buru-buru dilepas," celetuk Kak Fahri.

"Kakak, sih, kapan ketuknya? Aku nggak dengar."

"Udah hampir tiga menit, kamu nggak jawab. Dikirain kenapa, rupanya melamun di depan kaca. Ini, berkas dari dari Ayah. Tinggal nunggu nilai IELTS kamu keluar."

Via meraih beberapa lembar kertas dan meletakkannya di atas meja belajar. Kak Fahri duduk di atas sofa malas di kamar Via.

"Kalau aku pakai jilbab gini, aneh, ya?"

"Nggak aneh. Bagus, kok."

Via mematut lagi dirinya di depan cermin. Dulunya, Via termasuk orang yang tidak peduli akan peringatan untuk menutup aurat dengan sempurna. Dirinya bahkan menghindari topik tersebut. Keluarganya pun cukup terbuka akan hal tersebut, membebaskan mereka untuk menentukan pilihan masing-masing.

Entah ada dorongan dari mana Via mencoba memakai jilbab dan gamis malam ini. Mungkin dari Vira, atau faktor lain seperti termotivasi oleh ... Fata.

"Udah siap, nih, ceritanya?"

Via mengedikkan bahu. Tidak tahu.

"Pengen, tapi aku nggak mau ngelakuin ini demi sesuatu atau karena seseorang, dan aku ngerasa belum sekarang waktunya."

Kening Kak Fahri berkedut. "Kenapa?"

"Ya ... karena hijrah itu harus karena Allah, nggak, sih? Maksudku, kalau hijrah demi seseorang atau sesuatu, apa boleh? Memangnya hijrah boleh main-main?"

Kak Fahri menegakkan punggung, duduk tegap. Manik matanya menatap Via di pantulan cermin.

"Hijrah ya, karena Allah, tapi perantaranya bisa melalui apa aja. Bisa melalui seseorang atau sesuatu. Jadi, nggak ada salahnya hijrah karena termotivasi oleh seseorang, asalkan tujuannya satu. Rida Allah."

Via menghela napas, memutuskan untuk duduk di sebelah Kak Fahri. "Aku cuma belum siap, Kak. Aku nggak siap untuk dinilai sebagai orang baik. Aku nggak siap mengubah pandangan orang tentangku, mengubah ciriku."

"Nggak apa-apa kalau kamu merasa belum siap. Itu hak kamu, kok. Allah memberi hidayah pada siapa yang dikehendaki. Sebaik-baik hijrah adalah karena Allah, dan hal baik akan menjadi lebih baik jika disegerakan."

Via menunduk, memainkan kuku jarinya. Mempertimbangkan penjelasan Kak Fahri. Gadis itu hanya tidak ingin salah melangkah, karena perbuatan dan tujuan selalu dipengaruhi niat. Maka dari itu, Via tidak mau meremehkan hal sekecil niat.

"Memangnya ada cerita apa sampai kamu nyobain hijab diam-diam dan melamun sendiri, hm? Mau cerita?"

Kak Fahri adalah pemegang rahasia paling handal di keluarga. Oleh sebab itu, Via percaya untuk menceritakan segala hal pada kakak laki-lakinya tersebut. Malam ini, tentang Fata pun dibeberkannya.

🌷

"Hai, Ais!" Via menyapa Aisya yang sedang duduk bersama temannya di teras masjid. Setelah meminta izin untuk menghampiri Via, gadis berwajah imut itu meninggalkan majelis, menyelempangkangkan tas punggungnya di bahu kiri.

"Kak Via! Kabarnya gimana? Sehat?"

"Sehat, alhamdulillah. Eh, gue ganggu sebentar, boleh, nggak? Pengen ngobrol."

Aisya terkikik. "Ganggu lama-lama juga boleh. Mau ngobrol di mana?"

Via menunjuk arah bawah pohon di pojok halaman, Aisya menurut. Via sebelumnya membeli es tebu sebelum menyambangi masjid, menyodorkan satu untuk Aisya.

"Kenapa kita harus pakai hijab?"

"Karena hijab itu wajib."

"Kenapa hijab itu wajib?"

"Karena Allah suruh."

Eh? Via melongo sejenak. Jawabannya terlalu padat. Berbeda dengan jawaban orang-orang pada umumnya.

"Jawab yang lebih spesifik, dong. Kakak cowok gue bilang kalau jilbab itu sebagai identitas muslimah, jadi wajib dipakai. Kakak perempuan gue bilang, jilbab adalah salah satu cara untuk menghindari zina, pelecehan, dan pandangan jahat. Kembaran gue malah bilang untuk memantaskan diri, memperbaiki hati, menjadi lebih baik."

Ya, sebelumnya Via memang pernah bertanya hal itu pada saudara-saudaranya dan mendapatkan jawaban yang variatif. Gadis itu malah sudah mempersiapkan pertanyaan kritis seputar alasan tersebut jika Aisya menjawab hal yang sama.

"Ais pernah tanya hal itu sama Umi, Kak. Ais juga sering dengar alasan yang sama, tapi kalau dipikir-pikir, alasan yang kayak begitu agak rancu, nggak, sih? Maksudnya, dari beberapa alasan yang ada, kayak lebih mengarahkan kita pada statement kalau perempuan adalah makhluk yang rendah?

"Kenapa harus pakaian perempuan yang mengatur pandangan laki-laki? Kenapa harus pakaian perempuan yang membuatnya terhindar dari pelecehan? Kenapa harus perempuan yang meredam nafsu laki-laki, sedangkan mereka hanya diam tanpa harus menjaga apa pun? Padahal dalam Al-Qur'an, gender kita punya kedudukan yang sama untuk menerima perintah menundukkan pandangan. Nggak cuma laki-laki, dan bukan hanya untuk perempuan."

Via mengangguk antusias, dalam hati mengagumi cara berpikir Aisya yang bisa cepat nyambung dengan pikirannya. Padahal, gadis berwajah imut itu baru menginjak kelas 1 SMA.

"Umi bilang, kalau hanya itu alasannya, banyak orang bisa menyangkal argumen kita, sesederhana kenapa teroris berpakaian tertutup, seperti kita? Banyak orang yang berhijab tapi akhlaknya nggak bener, dan banyak juga perempuan berhijab yang dilecehkan---"

"Setuju banget. Bahkan gue pernah baca survei tuh, kalau laki-laki juga banyak loh, menjadikan wanita yang berpakaian tertutup--hijab, sampai yang bercadar--sebagai bahan fantasi mereka, alih-alih yang berpakaian ketat, pendek, dan menerawang. Fetish orang berbeda-beda," potong Via. Entah mengapa, berbicara pada Aisya membuatnya lebih bersemangat.

"Iya, kan? Berarti alasan itu kurang valid. Ais nggak bilang alasan itu salah, karena memang sebagian merasa lebih aman dengan pakaian tertutup--hijab, cadar."

Via mengangguk, ikut menyetujui gagasan Aisya. Mereka berdua mengambil jeda sejenak untuk menikmati rimbunmya pohon, semilir angin sepoi, dan terik matahari. Aisya menyeruput es tebunya.

"Terus, untuk alasan yang selanjutnya, memantaskan diri, kan, ya? Memperbaiki hati, menjadi lebih baik. Kalau Kakak gimana tanggapinnya? Kayaknya Kak Via juga punya statement sendiri." Aisya terkekeh.

"Memantaskan diri untuk siapa? Tuhan? Tuhan itu nggak butuh kebaikan kita, kan? Atau memantaskan diri untuk terlihat lebih baik di hadapan manusia? Rasanya jilbab nggak serendah itu, kecuali niat manusianya yang salah. Gue nggak ngerti kenapa orang-orang pakai alasan memantaskan diri saat berbuat baik, seakan manusia bisa menentukan sepantas apa diri mereka untuk meraih satu hal tertentu."

"Hm ... kalau memantaskan diri sebagai seorang hamba, gimana, Kak?" Aisya menginterupsi. Pembicaraan makin seru.

"Itu dua hal yang berbeda. Hamba memang harus mendekat pada pencipta-Nya, sih."

"Dengan melakukan kewajiban, tanpa perlu beralasan. Gitu, kan, ya?"

"Iya! Setuju banget! Jadi, orang nggak perlu gembar-gembor mengemukakan alasan, karena hanya bersifat opini dan akan selalu ada argumen baru, lebih faktual untuk dibantah."

"Itulah kenapa, Ais jawab dengan hal yang paling sederhana. Karena Allah perintahkan, dan karena Dia adalah Tuhan, kita wajib taat. Sesimpel itu."

Via manggut-manggut. Daya tarik Aisya memang luar biasa, Via sama sekali tidak menyangka akan menemukan orang yang tepat untuk diajak berdiskusi. Aisya tidak eksklusif seperti yang dibayangkan Via, tidak pula fanatik buta. Bahkan gadis itu senantiasa balik bertanya, mempersilakan Via untuk membalas perkataannya, atau sekadar mengeluarkan argumen.

"Kalau alasan 'karena hijab adalah identitas seorang muslimah'? Menurut Ais gimana?"

"Kalau ini Ais pernah tanya sama Kakak--"

"Fata?"

"Eh?"

"Kenapa?"

"Oh, nggak apa-apa. Udah kenalan, nih, ceritanya?" Aisya menyikut Via.

Suasana makin gerah dan bisa-bisanya jantung Via menggila saat Aisya menyinggung soal Fata. Gadis itu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, berniat untuk menetralisir degup kencang di dada.

Via, lo ke sini buat bahas soal hijab, bukan bicarain Fata. Fokus, fokus! batin Via.

"Kak? Kenapa? Sehatkah?"

"Hah? Eh, sehat, kok."

Alis Aisya bertaut, keningnya mengernyit. "Atau di sini terlalu panas, ya? Apa kita pindah ke dalam aja? Mukanya Kak Via merah."

"Ah, enggak, kok. Ini cuma karena terlalu semangat aja, mungkin. Eh, yaudah, lanjut."

"Ais tanya ke Kakak, soalnya hari itu Umi sama Abi lagi di luar kota. Yang bikin Ais nanya ini juga karena memang Al-Qur'an bilang, surat Al-Ahzab, ayat 59, '.... Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Hal itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu ....'

"Jawabannya?"

"Kakak bilang, kalau identitas muslimah hanya ditentukan dari pakaiannya, maka pakaian terbaik adalah takwa. Lantas, masih ada yang belum menggunakan hijab, tapi mereka salat. Tidak pakai tutup kepala, tapi mereka puasa, bersedekah, dan menunaikan hak-hak sesama muslim. Mereka adalah muslimah, kita adalah muslimah. Hanya saja, ada satu perintah Tuhan yang tidak ditaati. Islam tidak seekslusif itu, Kak. Gitu jawaban dari Kakak."

Aisya memberikan senyuman indahnya lalu bangkit sebentar, membuang gelas plastik ke tempat sampah.

"Ayat Al-Qur'annya salah, dong?"

"Enggak, dong. Al-Qur'an dan isinya adalah kebenaran. Kita nggak bisa menilai kebenaran sesuatu jika hanya memandang dari satu sisi atau dipahami secara tekstual aja. Al-Qur'an nggak bersifat parsial--itu kata Abi."

Via diam sebentar. Otaknya sibuk mencerna antara pendapat yang dikemukakan Aisya dengan ayat yang juga disampaikan Aisya. Fokus pada satu titik hingga lupa bahwa tadi sempat salah tingkah sebab mendengar nama Fata.

"Dulu, di Arab, jilbab adalah tanda bahwa seorang wanita merdeka, suci, dan terhormat, Kak, bukan budak. Itulah kenapa Allah bilang, 'Hal itu agar mereka mudah dikenali dan tidak diganggu'. Karena orang-orang cenderung melecehkan budak sahaya. Nah, ayat ini turun untuk mengangkat derajat wanita, memerdekakan setiap perempuan, dengan hijab, sebagai identitas bahwa perempuan merdeka, suci, dan terhormat dalam ajaran kita."

Via sampai tidak mampu berkata-kata. Ia sudah menyiapkan banyak pertanyaan, tapi ia malah mendapat penjelasan di luar dugaan. Aisya juga menjelaskan dengan baik, tahu kapan harus berhenti dan melanjutkan.

"Eh, tapi itu bukan berarti Ais mempermainkan syariat, ya, Kak."

Via mengangguk, ia paham maksud Aisya. Lagi pula, penjelasan itu lebih masuk akal bagi Via.

"Kalau lo--selain karena hijab memang sebuah kewajiban--pakai hijab karena apa?"

Aisya mendongak, menatap dedaunan yang saling singgung sebab angin sepoi. "Karena Ais sayang Ayah, kakak, adek, dan suami sama anak laki-laki Ais nanti."

"Maksudnya?"

"Wanita bisa membawa empat laki-laki ke neraka kalau nggak nutup aurat, Kak. Ayahnya, saudara lelakinya, suaminya, dan anak laki-lakinya. Ais nggak mau mereka menanggung dosanya Ais."

Via baru mengetahui hal itu. Memang beberapa kali, Bundanya pernah berkata, "Kalau sayang Ayah, pakai jilbabnya, dong." Via mengira hal itu adalah candaan karena baik Bunda maupun Ayah tidak pernah meminta secara terang-terangan kepada anak perempuannya untuk mengenakan jilbab.

Dersik memainkan anak rambut Via. Batinnya bergolak, raut wajahnya menjadi serius.

Apa gue tega ngebiarin Ayah dan Kak Fahri masuk neraka karena nggak nutup aurat?

"Jadi ... kapan Kakak mau mulai?" Pertanyaan Aisya mengalihkan perhatian Via. 

"Mulai apa?"

"Hijrah."

🌷🌷🌷

Eit, coba lihat bintang di pojok kiri bawah. Dapet? Nah, tekan, ya! Jangan disia-siain fiturnya. 🙈😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro