06. Namanya
"Sakit apa lo?" Via menghempaskan tubuhnya di samping Vira yang terbaring lemah. Badan Vira sampai ikut terpental sebab saudari kembarnya.
"Normal, 'kan, mata lo? Demam gue." Via menyingkirkan kompresan dan meletakkan punggung tangan di dahi Vira. Benar saja, suhunya tidak normal.
"Wah, kasian. Padahal besok di sekolah gue bakalan ada acara besar dan anggota Rohis sekolah lo diundang untuk kerja sama. Eh, lo anak Rohis, kan?" cerocos Via. Vira mengangguk lemah.
"Sayang banget nggak bisa ikutan," celetuk Vira, memaksakan senyum di bibir keringnya.
"Eh, ntar gue mau cari orangnya."
"Orang apa?"
"Orang yang lo suka. Dia Rohis juga, sih, pasti. Soalnya lo juga tiba-tiba masuk Rohis, pasti karena ada dia." Meski pelan, Vira sempat mencubit lengan Via.
Kemarin Vira menceritakan sosok yang menginspirasinya untuk berubah. Menurut sang gadis, lelaki itu adalah sosok yang mendekati sempurna. Cerdas, pembawaannya tenang, kharismatik, sopan, dan tentu saja tampan. Vira juga menyebutkan bahwa lelaki itu adalah motivasinya. Ia adalah pemenang, ialah kebenaran.
Melihat sinyal-sinyal Vira yang makin salah tingkah, Via tertawa, puas mengerjai adiknya.
"Pengen tau gue siapa yang bikin lo klepek-klepek kayak gini. Siapa namanya?"
"Faiz."
"Oke, Faiz. Ntar gue cari."
"Jangan! Ntar lo ikutan naksir," sergah Vira.
"Sesama temen bisa nikung, tapi sesama saudara nggak bisa. Calm down, gue janji nih." Via mengulurkan kelingkingnya.
"Apaan, gilak? Bercanda gue, lo serius banget ya ampun." Vira menepis tangan Via. Via mengerucutkan bibir.
"Ya udah, gimana ciri-cirinya?"
"Biasa dia bareng temannya, Fatih. Suka duduk di depan. Kalau nggak di depan, di pojokan, tapi lebih sering bantu-bantu. Biasanya---"
"Gue bukan mau nyari orang hilang, kali. Ribet banget penjelasan lo. Siapa lagi itu, Fatih? Dih, itu namanya gue nyari kerjaan!"
Vira memejamkan matanya sebentar. Handuk kecil yabg digunakan untuk mengompres dahinya tampak setengah kering. Napasnya berat, tetapi berembus teratur. Ia merapatkan selimut, kedinginan.
Via meraih remot AC di atas nakas. Terpampang di sana bahwa suhu kamarnya 18°C, bagaimana kembarannya tidak kedinginan? Via lekas menaikkan suhu menjadi 25°C.
"Get well soon. Sakitnya jangan lama-lama, ya," ucap Via setelah mengganti air kompresan Vira. Saat hendak berlalu, lengannya ditahan Vira.
"Good luck untuk besok."
🌷
"Sudah dicek semua?" Ketua panitia bertanya pada Via yang sedang sangat fokus.
Via berkeringat dingin. Mikroponnya macet. Sebenarnya perkara mikrofon, sound system, dan lain-lain bukan urusan Via yang notabene ketua dekorasi. Namun, yang bersangkutan tiba-tiba berhalangan sebab sanak saudaranya meninggal.
"Hm ...." Via memutar otak, mencari jawaban yang tidak mengecewakan.
"Hm?"
"Hm ... udah, selesai semua," jawab Via.
Bohong dikit nggak apa-apa, kan? batinnya cemas.
"Oh, oke. Lo di sini aja, gantiin Asla. Urusan dekorasi udah selesai. Sejam lagi tamu datang."
Belum sempat membuka mulut untuk protes, ketua panitia sudah berlalu. Via memandang nanar kabel-kabel di dekatnya, mulai menerka bagian mana yang bermasalah. Namun, apa yang bisa dilakukan oleh dirinya yang sama sekali tidak paham?
Via terus mengacak kabel, meski tidak tahu akan memberi dampak atau tidak. Ia hanya berharap mendapat sedikit mukjizat. Akhirnya ia lelah sendiri, memutuskan menyerah dan menggantungkan harapan pada dua mikrofon yang tersisa. Pengisi acara bisa saling bertukar mikrofon.
Acara berlangsung. Kata-kata sambutan sudah, pembukaan acara juga sudah. Via baru akan bernapas lega ketika tiba-tiba ketua panitia lagi-lagi menghampirinya. Melihat wajahnya saja Via merinding.
"Mikrofon satu lagi mana? Nggak efektif kalau harus tukar-tukaran. Sekarang udah masuk acara inti, loh."
"Anu ...."
"Ada masalah?"
"Ng ...."
"Nggak ada kan, ya, tadi lo bilang? Oke, lo stay di sini. Kalau ada apa-apa, jadi tanggung jawab lo. Gue tinggal dulu."
Ketua panitia itu pergi, meninggalkan Via. Napas gadis itu makin tercekat ketika melihat ketua panitia membawa mikrofon yang sejak tadi diutak-atik olehnya. Hendak dicegat pun terlambat. Benda meresahkan itu sudah ada di tangan Ustad Abdurrahman, pengisi inti acara
Via duduk gelisah di belakang panggung. Jemarinya bertaut, perutnya mulas. Untungnya, saat Ustad Abdurrahman mengucapkan salam, mikrofon itu berfungsi sempurna. Dibuka oleh salam, diiringi puji syukur, salawat, dan penghormatan, segalanya berjalan lancar.
Gadis itu baru hendak bersandar dan bernapas lega ketika Ustad Abdurrahman menyebutkan judul menarik, Remaja dan Teknologi. Setelah mengucapkan judul, mikrofon berdengung, cukup memekakkan telinga, apalagi Via yang paling dekat posisinya.
Via bergetar, panik. Asal ditarik saja kabel yang ada. Dengung makin menjadi, teman-teman yang berseragam OSIS ikut mengerubungi. Mata Via mulai berkaca-kaca. Membayangkan kekecewaan orang-orang, air matanya tumpah.
"Lo bilang semua udah beres?"
"Ini kenapa lagi, sih?" Ketua OSIS malah ikut-ikut menyudutkannya. Via menunduk, cepat mengusap air matanya sebelum terlihat.
"Saya bantu." Via mendongak, kemudian terpaku menatap wajah yang tidak asing. Wajah yang kebetulan hadir beberapa kali tepat ketika ia butuh bantuan.
"Oh, iya, silakan. Tolong, ya." Ketua panitia mempersilakan cowok jangkung itu meluruskan kabel-kabel yang entah sudah bagaimana nasibnya.
"Permisi." Via baru sadar bahwa sejak tadi dia masih mendongak sebelum disadarkan cowok itu.
"Vi, sini. Mau diperbaiki, tuh."
Via bangkit, memundurkan posisi. Ia memperhatikan cara lelaki itu yang cekatan seakan sudah bersahabat lama dengan kabel-kabel yang nyaris membuat Via putus asa. Raut seriusnya, bahunya yang lebar, dan matanya yang fokus. Makin lama dilihat, makin kencang detak jantung Via. Namun, ia menikmati getaran itu.
"Oke. Tes, satu, dua. Jadi, hubungan remaja dengan teknologi memiliki dua sisi yang berlawanan, tergantung diaplikasikan dalam hal apa saja."
Teman-teman yang berada di sekitarku melonjak, bersorak ringan. Ya, cowok itu berhasil.
"Selesai. Jangan nangis," kata cowok itu datar. Wajah Via memanas, tidak tahu kalau lelaki itu menyadari dirinya menangis. Belum sempat mengucapkan terima kasih, dia sudah berpaling.
"Eh, bentar!" cegat Via.
"Ya?" Cowok itu menaikkan sebelah alisnya.
Kenapa kelihatan jadi lebih cakep, sih? batin Via. Gadis itu tiba-tiba merasa tak lagi berpijak di tanah, sebab sudah masuk ke pusaran bola mata hazel milik lelaki jangkung di hadapannya.
"Ehm ... ada apa?"
Rasanya tadi Via akan bertanya satu hal, tetapi mendadak ia lupa. Jempol kakinya terasa dingin, gadis itu sampai sulit menelan saliva, padahal lelaki itu tidak memerhatikannya sama sekali. Atensinya tidak tetap—melirik kanan, kiri, dan belakang.
"Masih jadi penonton?"
Duh, Gusti. Soal bodoh macam apa yang gue tanyain tadi? Via merutuk dirinya sendiri.
"Iya. Masih ada urusan dengan Ustad Abdurrahman."
Alis Via bertaut. "Udah ada janji?" Cowok itu menggeleng. "Jadwalnya padat. Habis ini masih ada ramah tamah sama kepala sekolah, terus---"
"Saya tidak butuh janji untuk bertemu ayah saya."
Via bisa jadi sangat kesal jika omongannya dipotong, tapi kali ini ia berhasil dibuat melongo lagi. Buah yang jatuh memang tidak jauh dari pohonnya.
"Sudah?"
"Hah?"
"Sudah selesai, 'kan? Saya permisi."
Muka gue tadi gimana? Cengo? Duh, malu banget! Via menepuk-nepuk pipinya.
🌷
Tidak ada kendala berat lain setelah kerusakan mikrofon. Sudah sore dan langit sangat kelabu. Via berjalan cepat menuju CRV-nya diparkir. Ia sengaja membawa mobil sebab banyak perlengkapan yang dititipkan padanya.
"Abi mungkin besok sore pulang, teman Abi meninggal barusan. Tolong jagain Umi, Ais, Rayyan, dan Thahira."
Via menangkap suara Ustad Abdurrahman sekitar lima meter dari tempatnya. Gadis itu berhenti sejenak, memerhatikan dua lelaki berbeda generasi tengah berbicara di bawah pohon mahoni. Ah, gadis itu baru ingat bahwa cowok jangkung tersebut adalah anak dari ustad kondang yang diundang di acara sekolahnya.
Alih-alih lanjut jalan, Via memilih memerhatikan dua sosok itu. Atensinya seakan tak ingin berpaling. Tak dipedulikan angin dan langit yang mulai mendung.
"Jangan kemalaman, nanti Umi panik. Bawa motor atau mobil?"
"Motor, Bi."
Tampak Ustad Abdurrahman mengangguk kecil lalu menepuk pundak putranya. Setelah memberi salam, sosok berwibawa itu berjalan tegap. Via masih fokus pada pahatan wajah indah itu ketika tatapan cowok di sana balik menatapnya.
Salah tingkah, Via malah pura-pura sibuk memungut sampah. Menunduk, mengutip, dan membuang ke tempatnya. Hal itu berulang kali dilakukan sampai cowok itu menghilang entah ke mana. Demi menenangkan jantung yang sudah nyaris turun posisi ke usus, Via menepi ke kantin, membeli air mineral untuk langsung ditenggak hingga tuntas.
Mega tampak sudah terlalu berat menampung tirta. Hujan turun deras seketika, membuat gadis itu mempercepat langkah. Beberapa siswa juga tampak kocar-kacir menstarter motor.
Ketika akan masuk ke mobil, Via mengurungkan niat melihat sosok lelaki jangkung yang tadi membantu, berteduh di bawah atap parkiran yang sama. Tatapannya lurus ke depan, tidak memedulikan tempias air yang sesekali tepercik ke arahnya.
Gadis itu meraih payung di jok belakang---Bunda memang selalu mengntisipasi untuk selalu membawa benda itu ketika keluar rumah. Sepertinya cowok itu hendak menyeberang ke arah parkiran motor, tapi jaraknya agak jauh.
Via sigap memayunginya ketika lelaki itu nekat menerobos hujan. Karena tubuhnya yang menjulang tinggi dan badan Via lumayan mungil, payung itu malah menabrak kepala cowok jangkung di sebelahnya.
Ia melirik Via, memicing sedikit. Kemudian cowok itu membungkukkan punggung. Sadar akan ketidaknyamannya, Via menyerahkan payung tersebut, tetapi malah ditolak.
"Nggak bisa, hujannya terlalu deras. Jangan nekat terobos!" Via sedikit berteriak, bersaing dengan suara hujan.
"Nggak apa-apa, saya harus pulang sekarang," balasnya.
"Ntar lo sakit," kelakar Via.
"Nggak, insyaallah," bantah cowok itu lagi.
"Abi lo nggak pulang hari ini. Kalau lo sakit, yang jagain adek-adek lo siapa?" Tepat setelah kalimat terakhir meluncur dari mulut Via, cowok jangkung itu melirik Via tajam.
Kan, keceplosan. Habisnya keras kepala, sih, batin Via.
Cowok itu menghela napas panjang.
"Biasa aja lihatnya. Tadi kedengar sedikit, nggak maksud nguping," celetuk Via. Suaranya dipelankan, karena kalimat terakhir sedikit bercampur dusta.
"Ya, saya tau kamu dengar."
Via menelan ludah yang terasa sulit meluncur di kerongkongan. Tangan sang gadis jadi dingin. Jantungnya memompa cepat, dan aliran darahnya menghangat.
"Gue antar, deh. Mau? Gue bawa mobil." Via mengalihkan pembicaraan.
"Saya bisa pulang sendiri."
"Tapi lo kan naik motor!" Cowok itu lagi-lagi menatap Via tajam. Sepersekian detik kemudian gadis itu baru sadar kalau lagi-lagi ia keceplosan.
"Motor saya masih bisa jalan. Saya bawa jas hujan. Jadi, saya belum butuh bantuannya."
Via mendengkus kesal. Sifat defensifnya keluar, padahal cowok di sebelahnya termasuk orang yang baru ditemui. Akan tetapi, sesuai pendirian sang gadis, ia tidak pernah suka mengalah.
"Motor lo mana?"
"Di sekolah, saya tinggalin di sana."
"Ya udah, kalau nggak mau gue anterin, pakai payung ini aja buat jalan ke sekolah lo. Setidaknya lo nggak kuyup-kuyup banget. Nggak usah nolak, gue lagi balas budi." Via menyerahkan payung pada cowok jangkung itu. Sejenak ia menimbang-nimbang lalu sedikit ragu menerima.
"Makasih. Assalamu'alaikum." Ia berjalan pelan menerobos hujan.
"Eh, tunggu!" Cowok itu menoleh ke arah Via. "Lo siapa?"
"Hah?"
Via menepuk bibirnya sendiri.
"Maksud gue, nama lo siapa? Gue belom tau nama lo!" teriak Via.
"Fata," jawabnya dari jauh, melawan deru hujan. Ia kemudian menghilang di balik tetes air yang turun makin deras.
Tanpa sadar, sudut bibir Via tertarik, membentuk senyuman. Gelenyar hangat hadir di hatinya.
Via merasa berutung bertemu dengan sosok jangkung itu. Bertemu dengan seseorang yang bantuannya datang pada saat yang tepat, seakan ia hanya mengorbit pada di sekitar tempat Via membutuhkan pertolongan.
Lelaki yang dikagumi, walau baru beberapa kali bertemu. Ia, sang tanpa nama yang selalu membuat darah Via berdesir hangat atau senyum-senyum sendiri seperti tidak waras. Namanya Fata.
🌷🌷🌷
Yuk, vote, comment, dan share cerita ini jika kalian suka. 💖
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro