Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05. Kagum

Rapat final OSIS untuk acara terakhir mereka selesai. Via menghidupkan mesin matic-nya, beberapa menit kemudian sudah membelah jalanan. Dalam tas yang diselempangkan di bahu kiri, sudah ada sapu tangan biru yang dicuci dan dibubuhkan pewangi.

Ya, gadis itu hendak ke masjid yang tempo hari dikunjungi, berniat mengembalikan sapu tangan ke sosok jangkung itu. Tidak ada janji, lagi-lagi Via hanya mengikuti intuisinya yang memang sering tepat. Agar tidak terlalu cepat tiba, ia mengambil jalan memutar. Sampai di pekarangan, Via turun, mematikan mesin motornya.

Hari ini masjid tampak lebih ramai dari biasanya. Jemaah perempuan duduk sampai ke teras. Matahari sedang terik-teriknya, membuat Via menimbang-nimbang untuk masuk--berteduh--walau hanya di teras saja. Gadis itu melirik penampilannya dari atas hingga bawah. Blus abu-abu, jeans navy, dan kets putih. Masalahnya adalah, ia tidak memakai kerudung. Via melipir ke teras bagian luar.

"Masuk aja, Dek," ucap salah satu ibu-ibu yang lebih dulu menyadari keberadaan Via.

"Eh, nggak usah, Bu. Saya cuma lagi nungguin orang, kok," balas Via, berusaha memelankan suaranya.

"Nunggu siapa, Dek?"

Pertanyaan itu membuat Via kelabakan. Bisa saja gadis itu menjawab teman, kerabat, atau siapalah, tapi ia jadi gugup sendiri entah karena apa. Via memandang sekeliling.

Siapa sih, nama cowok itu? Andi? Budi? Nggak mungkin kalau gue bilang ke si ibu, 'Nungguin pemilik sapu tangan ini.'

"Em ... nunggu ...." Via menggantungkan kalimatnya, mencari padanan kata untuk menjawab. Si ibu masih memandang anak gadis berwajah oriental di sampingnya.

Via mengintip sedikit ke dalam masjid, sutrah pembatas antara jemaah laki-laki dan perempuan disingkap. Matanya memicing melihat sosok yang berdiri di mimbar, sedikit tidak asing. Semenit kemudian, Via bersorak dalam hati menyadari orang itu adalah lelaki yang dicarinya.

"Itu, Bu, nungguin yang lagi ceramah," jawab Via.

Kali ini, ibu itu menatap Via dengan tatapan aneh, melirik penampilan gadis itu sambil mengernyit. Via kikuk sendiri.

"Em ... temannya," ujar Via cepat, sedikit berbohong. Jika dibiarkan lebih lama, ia akan makin risih dengan tatapan si ibu.

"Oh ... ya udah, masuk aja. Kelarnya masih lama."

"Eng ... nggak deh, Bu, makasih. Pakaian saya kurang sopan untuk masuk."

"Nggak apa-apa. Muslim, kan? Yang di dalem orangnya ramah-ramah, kok. Banyak yang sebaya adek ini juga.

Tanpa menunggu jawaban dan persetujuan Via, ibu itu menggandeng lengannya masuk ke dalam. Via menelan ludah menyadari banyak pasang mata langsung menyorotinya. Terlebih lagi, keadaan di dalam sangat padat, hendak duduk di mana?

"Ibu balik ke belakang dulu, ya."

Tadi dibawa masuk, sekarang ditinggal. Via mencari sudut, tapi di sana penuh. Agak sulit berjalan melangkahi pandangan orang-orang.

"Duduk di sini aja, Kak." Seorang gadis berjilbab agak lebar menggeser posisi duduknya, mmepersilakan Via mengisi kekosongan itu. Sempit, tapi Via tidak protes.

Netranya meneliti satu persatu jemaah perempuan di sekitarnya. Rata-rata berada di rentang usia remaja muda, seperti dirinya. Memakai kerudung lebar, bahkan Via ragu mereka memakai kerudung atau mukena—Via memang sedikit apatis. Setelah menyadari tidak berada di tempat yang benar, ia menghela napas panjang.

Yang lain pakai jilbab kayak selimut saking lebarnya. Lah, gue kerudung aja nggak bawa, batinnya.

"Kakaknya nggak usah risih. Enjoy aja, kita semua sama, kok." Gadis dengan wajah imut di sebelah Via seperti mengerti betul apa yang dipikirkannya. Ia ramah.

"Aisya. Biasa dipanggil Ais." Gadis itu mengulurkan tangan, langsung disambut oleh Via.

"Alvia. Panggil Via aja."

"Kakak baru pertama kali ke sini? Wajah Kakak asing soalnya."

"Iya, kebetulan lewat--ada urusan sedikit, sih. By the way, yang ceramah itu orang mana? Setiap minggu ngisi ceramah?" sambar Via, raut wajahnya tampak lebih bersemangat. Aisya tertawa pelan.

"Itu kakaknya Ais. Orang sekitar sini juga, kok. SMA 3, Kakak tau?" 

Tentu saja Via tahu, Vira juga bersekolah di sana. Agak jauh dari masjid ini, tapi masih dalam satu kecamatan.

"Kelas dua belas."

"Woah, sebaya gue, dong!"

"Iyakah? Ais pikir Kakak masih kelas 1 SMA. Wajahnya awet," komentar Aisya, sedikit berbisik.

Via tergelak. Baru kali ini ada orang yang bisa langsung akrab dengannya. Sayang, tempatnya tidak tepat. Saat tertawa, Via langsung mendapat tatapan mengintimidasi dari orang-orang di sebelahnya, membuat gadis itu ciut.

"Sebenarnya setiap hari Minggu ada pengajian, Kak. Kebetulan yang ngisi ceramah itu ayahnya Ais, tapi karena berhalangan jadinya digantiin sama Kakak. Kebetulannya lagi, dia remaja masjid, jadinya dipercaya buat gantiin Ayah."

Via melongo. Remaja masjid? Pantas saja sering ada di sini—setidaknya ini kali ketiga Via ke masjid dan cowok jangkung itu selalu ada. Perbincangan berlanjut dan makin hangat. Baik Aisya maupun Via sama-sama tidak mendengarkan ceramah dari cowok di depan sana, fokus mereka berubah.

Tak terasa, ceramah selesai sudah. Cowok jangkung itu telah turun dari mimbar. Via langsung bangkit, takut kehilangan sosok itu lagi--mencarinya akan sulit. Aisya ikut bangkit.

"Mau ke mana, Kak?"

"Ketemu kakak lo."

"Setau Ais, habis ini kakak masih harus ngurus beberapa tugas yang terbengkalai, Kak. Ada rapat remaja masjid juga."

"Sampai jam berapa?"

"Biasanya sampai bakda asar. Mau ditunggu, Kak? Kita nunggu bareng."

Aku melirik arloji. Masih pukul 14.00 WIB. "Masih lama, loh. Lo nggak mau pulang dulu?"

"Ais pulangnya bareng Kakak."

"Gue anterin aja, mau? Sayang banget kalau harus nunggu sampai selesai asar." Tawaran tersebut terlontar begitu saja dari Via. Terselip sedikit modus di sana. Lumayan, siapa tahu Via mendapatkan alamat cowok jangkung itu.

Aisya tetap menggeleng. "Kata Umi, harus pulang sama kakak." Aisya nyengir.

"Takut diculik? Hilang?"

"Mungkin." Aisya tersenyum lagi.

Aisya mengajak Via berbicara banyak hal sembari menunggu sang kakak. Dari gayanya bercakap, Via dapat memastikan Aisya adalah gadis yang berwawasan luas, ramah, dan apa adanya. Pembawaan yang tenang dan gaya bicara yang khas membuat Via betah berlama-lama.

Hingga azan asar berkumandang, dua gadis itu beranjak masuk untuk melaksanakan salat.

🌷

"Nah, itu kakak. Kak Via mau ketemu, 'kan? Ayok."

Via belum selesai memakai sepatu, tangannya ditarik pelan oleh Aisya. Hingga beberapa meter mendekat, jantung Via terasa berdetak lebih cepat. Mungkin gugup.

Via memperhatikan cowok jangkung yang duduk tenang di atas motor, pandangannya lurus ke depan, dan mulutnya bergumam, seperti mengikuti alunan musik. Saat langkahnya makin dekat, gadis itu baru menyadari bahwa lelaki tersebut sedang mengulang hafalan dengan suara lirih--nyaris tidak terdengar.

"Dia hafal berapa juz?" tanya Via spontan. Gadis itu memang senang ceplas-ceplos.

"Tiga puluh."

"Satu juz, maksudnya? Juz tiga puluh?"

"Tiga puluh juz, Kak. Dari Al-Fatihah sampai An-Nas." Aisya tergelak lagi.

Via makin tersengat. Sejak kedatangannya tadi, tak habis-habis kekaguman itu singgah di hatinya. Semua orang tahu menghafal Al-Qur'an bukan perkara mudah. Bahkan Kak Fahri saja baru berhasil menghafal setengah isinya saja.

Tanpa Via sadari, dia sudah berada di belakang cowok jangkung itu. Ia agak menggeser posisinya agar tidak menghalangi asap knalpot motor hitam tersebut. Aisya menepuk pundak sang kakak.

Lagi dan lagi, irama jantung Via berdentum lebih cepat. Darahnya berdesir. Matanya tersihir oleh keakraban kakak beradik tersebut. Mirip Kak Fahri, perhatian.

"Kak?" Via tergagap ketika Aisya melambaikan tangan di hadapannya. Cepat-cepat gadis itu memalingkan wajah, membuka tas, dan meraih sapu tangan biru dari sana. Satu-satunya alasan ia berada di masjid saat ini.

"Makasih." Lelaki itu menerima sapu tangannya.

"Sama-sama." Via menatap matanya sekilas, ia tetap menunduk. Canggung.

"Pulang sendiri, Kak?"

"Hah? Oh, apa? Pulang sendiri? Iya." Dalam hati, Via merutuk dirinya sendiri. Bisa-bisanya gelagapan di situasi yang canggung seperti ini.

"Ais duluan, ya? Hati-hati di jalan, Kak. Assalamu'alaikum."

🌷

Selama perbincangan dengan Aisya, Via jadi tahu bahwa laki-laki itu adalah orang yang baik. Rajin puasa dan mengunjungi masjid. Garis wajahnya tegas, tapi air mukanya teduh. Menurut Via, cukup tampan untuk seseorang yang baru ditemui.

Namanya ....

Tunggu dulu.

Via menepuk dahi sampai kepalanya sedikit terjengkang ke belakang. Bisa-bisanya ia lupa bertanya nama cowok itu, padahal tadi berbicara panjang dengan adiknya. Mungkin Aisya sempat menyebut nama sang kakak, tapi Via tidak terlalu memperhatikan. Ia sibuk mengagumi.

Via menghela napas panjang. Atensinya mengarah pada jendela yang dibuka tirainya, menampilkan gugusan bintang yang tersusun acak, tapi indah dipandang. Hatinya sejuk. Via mengakui kekagumannya dalam diam. Mengagumi prinsip lelaki itu, cara bicaranya yang tegas, dan tampangnya—tentu saja.

"Ada kebetulan lagi nggak, ya, yang bisa bikin gue ketemu dia? Atau harus sering-sering ke masjid itu?"

Via menyentil dahinya sendiri, merasa bodoh dengan ucapannya. Untuk apa berharap bertemu? Utangnya telah lunas dan tidak ada alasan yang membuatnya harus bertatap muka dengan lelaki itu. Ya, seharusnya begitu.

"Via!"

"Allahumma laka sumtu!" Via mengelus dada, terkejut dengan kehadiran Vira yang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

"Gue tadi belanja. Nah, buat lo. Cobain."

Via menerima paper bag pemberian Vira. Gadis itu mengeluarkan isinya. Gaun panjang kekinian berwarna pirus. Di bawahnya terselip kain segi empat berwarna lebih gelap. Via mengernyit. Gamis dengan jilbab bukanlah gayanya.

"Cobain cepat, gue tunggu."

Via menurut, ia mengganti bajunya di kamar mandi. Dua menit kemudian keluar dengan bagian bawah gaun yang agak basah terkena air di lantai.

"Lucu banget nggak sih, gue pake ini? Aneh? Nampak gendut?" Via mematut dirinya di hadapan cermin. Vira menggeleng.

"Bagus, nggak aneh, nggak gendut. Tuh, cobain kerudungnya."

Via melipat ujung kerudung membentuk segitiga. Awalnya, dia berpikir akan mudah memakai kain itu di kepalanya, tetapi tidak seperti yang dibayangkan. Sepuluh menit tak kunjung selesai.

"Susah, ah! Ribet," protesnya. Vira tertawa, bangkit dari posisinya yang duduk di kasur Via dan langsung membenarkan kerudung kembarannya. Tidak sampai dua menit, jilbabnya sudah rampung.

"Nah, kita mirip banget sekarang!"

Via memandang wajahnya dan wajah Vira di pantulan cermin. Memang mirip, walau ia satu senti lebih pendek dari Vira. Ada gelenyar aneh di dadanya, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Makin dalam Via memandang cermin, rasa hangat makin menjalar.

"Udah, lepas. Mau dipake sampai kapan?"

"Lo, ah. Ngerusak suasana."

"Jijik banget gue lihat lo melamun di depan cermin. Ngelamunin apa, sih?"

"Entah, gue juga nggak tau."

Via melepas satu persatu jarum pentul yang menancap di jilbabnya. Gadis itu melipat baju tersebut, meletakkannya di sebelah paper bag yang satunya. Iseng, Via membukanya dan mendapatkan satu kemeja perpaduan abu-abu gelap dan lilac.

"Untuk Ayah atau Kak Fahri?"

"Bukan dua-duanya," jawab Vira.

"Trus? Untuk siapa?"

"Untuk ...."

Ah, Via tahu makna ekspresi Vira. Via menyikut lengan kembarannya, mengerling dan mesem-mesem menggoda Vira. "Siapa, hm?"

"Apa sih lo, ih, kayak ulat keket!" Vira ikut mesem-mesem.

"Dih, salting," ejek Via.

"Ya ... untuk seseorang."

"Untuk dia, ya? Yang lo bilang udah ngubah lo secara nggak langsung?"

Vira bergumam tak jelas, netranya sesekali melihat kemeja di atas kasur kemudian senyum-senyum sendiri. Via mencibir.

"Orang jatuh cinta gitu, tuh, tolol seketika," celetuk Via.

Vira mengerucutkan bibirnya. "Dih, sok tau. Nggak ada tolol-tololnya ekspresi gue. Masih cantik—lihat cermin, tuh!"

"Gue ngertilah ekspresi wajah lo meskipun lo nggak cerita. Wajah bego-bego gitu juga dari SD tetap sama timing-nya, pas lagi suka sama orang," sambung Via.

"Dah ah, ngantuk gue. Mau tidur. Lo jangan begadang!" Vira menyambar paper bag, memasukkan kemeja yang sempat dikeluarkan Via kembali ke tempatnya lalu keluar kamar sambil lari-lari kecil.

"Lo belum cerita!" teriak Via sebelum adik kembarnya hilang dari pandangan.

"Utang dulu, besok aja!"

"Stres."

🌷🌷🌷

Ketemu typo? Lapor ke Yoru 📢
Vote komennya ayok! Siapa tau bisa up lebih cepat. 🙈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro