Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

03. Tentang Pemilik Dua Sifat

Via masih setia menarik tangan Hani dan Dinda yang sedari tadi tak henti misuh-misuh sendiri. Bagaimana tidak? Cuaca begitu terik, tetapi gadis yang menggandeng dua tangan sahabatnya itu sama sekali tidak memberi tahu ke mana mereka akan menuju. Ditambah lagi, Via menolak untuk diajak pergi menggunakan motor.

"Ish! Udah seratus kali deh, gue nanya. Mau ke mana, sih? Nah tuh, udah keseratus satu," gerutu Hani sambil sesekali mengusap peluh yang mengaliri dahi.

"Udah, sih, jangan banyak nanya."

"Nih lagi, segala bawa payung, terik gini, juga." Dinda ikut-ikut protes.

Via berhenti di depan pagar masjid. Senyumnya tercetak di wajah. Hani dan Dinda nyaris terus melanjutkan langkah kalau tidak ditarik tangannya oleh Via.

"Nih, udah sampai!" seru Via girang.

"Hah?" Dinda dan Hani melongo. Bagaimana tidak? Tanpa angin dan hujan, Via yang notabene jarang menyambangi masjid, kini malah mengajak dua sahabatnya ke tempat yang sama.

"Mau salat Jumat lo?" Hani yang duluan tersadar mencetuskan hal tak terpikirkan akal sehat.

Via melempar pelototan mata. "Belajar dari mana lo kalau cewek bisa salat Jumat?" Gadis itu memilih untuk cengengesan saja.

Sebenarnya, ada beberapa mazhab yang membolehkan wanita untuk melaksanakan salat Jumat. Namun, pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa wanita sebaiknya salat Zuhur saja di rumah. Di Indonesia sendiri, salat Jumat bagi perempuan jarang dilakukan hingga terlihat aneh jika ditemukan.

"Waduh, gue salah kostum, dong? Batik kebangsaan sekolah pula." Dinda memandangi seragamnya nanar.

Hatcih!

Tangan Via terulur untuk mengusap hidungnya, menahan sedikit cairan yang dirasa akan meleleh. Sejak pagi tadi, tenggorokannya memang sudah terasa tak enak. Pileknya kambuh dan dugaan sementara yang paling kuat adalah karena hujan kemarin.

"Lo berdua ada yang punya tisu?"

Dinda merogoh saku, menyerahkan plastik persegi panjang berwarna ungu pada Via. "Nih, pas! Tinggal satu."

Senang hati menerima, Via langsung mengaplikasikannya ke depan hidung. Langkahnya membawa masuk lebih dalam ke pelataran halaman masjid. Mau tak mau--dan masih dalam keadaan bingung--Dinda dan Hani mengikuti saja, sampai langkah mereka berhenti sekitar 30 meter dekat teras.

"Lo mau ngapain, sih? Ya ampun, udah pertanyaan ke berapa ya, ini?" keluh Hani, membuat jitakan ringan dari Dinda menghampiri kepalanya, mengundang sahabatnya untuk mengaduh lirih.

"Lagian pake dihitung segala," komentar Dinda.

"Ye, abisnya ini waktu salat Jumat. Gabut banget, nggak, sih? Ngapain? Nunggu orang?"

"He-eh, lagi nunggu orang." Via mengangguk. Dua sahabatnya ber-oh ria.

"Lah jadi kita diem, gitu, kayak patung di depan sini? Duduk, kek, di mana, gitu." Mata Dinda mengitari halaman, hak yang sama juga dilakukan oleh Via dan Hani.

"Di situ aja, deh," tunjuk Via pada bangku di bawah pohon yang terbuat dari kayu yang kelihatan sedikit lapuk, dekat dengan beberapa kendaraan yang terparkir.

"Dih, ogah! Ntar dikira orang minta sedekah," protes Dinda sambil mengedikkan bahu.

Saat hendak berpaling, Via lebih sigap meraih lengan gadis itu, membawanya ke tempat yang ditunjuk Via tadi. Hani hanya menertawakan wajah masam Dinda. Mereka duduk, menikmati angin Di bawah naungan pohon yang tidak terlalu besar. Hani sibuk mengipas diri dengan tangan yang tampak tidak memberi efek apa pun.

Orang-orang berbaju rapi dan kebanyakan masih berseragam yang berlalu lalang menatap tiga gadis itu dengan pandangan aneh. Bagaimana tidak? Dengan seragam batik khas sekolah, berkeliaran di masjid siang terik, di waktu Jumat-an pula.

"By the way, lo ngutang cerita sama kita," tegur Dinda, teringat bahwa sejak Via mengajak ke tujuan yang tak jelas, ia lebih dulu berkata akan mengatakan sesuatu ketika sampai di tempat tujuan.

"Ah, iya! Cerita, dong! Gue udah bosen nanya," ceplos Hani dengan wajah innocent-nya.

Via menarik napas panjang, menceritakan dengan khidmat, dimulai saat Dinda menawarkan tumpangan tapi batal ikut dikarenakan pamannya hanya membawa motor. Gadis dengan rambut yang selalu diikat tinggi itu nyengir, kembali meminta maaf karena merasa tak enak. Memilih tak menanggapi, Via melanjutkan cerita.

"Gue mau pesan ojol, eh, hp gue keburu mati. Mana langit udah mendung banget. Pas gue mau jalan sampe jalan raya, malah keduluan sama hujan. Ya udah, sih, gue lari aja, kebetulan sampai ke masjid ini, gue berteduh. Yang lebih ngenesnya lagi, pas mau cari angkot, gue nerobos hujan, kan, tuh? Nah itu tas gue taro di atas kepala, eh, resleting tas gue rusak! Auto tuh, buku-buku gue tercecer! Pada basah semua. Gilak, sih. Bayangin aja gue kayak orang bego mungutin buku di bawah hujan. Sial banget, nggak, tuh?"

"Baru gue tinggal sebentar, udah kena sial aja," komentar Dinda sambil geleng-geleng kepala.

"Ya, trus? Hubungannya sekarang lo ke sini tuh, buat apa, Non? Mau nostalgia?" tanya Hani mulai tak sabaran. Dinda ikut-ikut mengangguk, sejak tadi mereka pasti bertanya-tanya tentang hal yang sama.

"Cerita gue belum tamat, makanya dengerin dulu," instruksi Via, dua sahabatnya kembali memasang tampang serius, menunggu kelanjutan.

Via kembali melanjutkan cerita yang sempat terjeda. Mulai dari laki-laki misterius yang memberinya payung, melindungi diri gadis itu dari hujan yang padahal jelas sudah Via telah basah kuyup sore itu. Tentu saja, di bagian ini, mata Dinda dan Hani berbinar, wajah dua insan itu sangat antusias. Via berhenti sebentar, mnegambil napas panjang.

"Dia mayungin lo trus ngebiarin badannya ikutan basah kuyup, gitu? Gila! Gentle banget!" seru Hani.

Via meringis, senyum miring tercetak di wajahnya. "Gentle, sih, tapi nyebelin."

"Nyebelin di mananya, sih, Vi? Aneh gue liat lo lama-lama," protes Hani, masih dengan rona seorang gadis yang baru saja menyaksikan drama korea terbaper di dunia.

"Lanjut, Vi!"

Via menanggapi intruksi Dinda dengan anggukan, melanjutkan kisah. Kembali gadis itu menceritakan sosok laki-laki yang menolongnya namun tidak memandanginya sama sekali.

"Oh, itu ghadul bashar," tanggap Hani lagi-lagi.

"Ghadul--apa?"

"Ghadul bashar, Vi. Itu, loh, menjaga pandangan dari yang bukan mahramnya. Bisa gue tebak kenapa dia nggak mau sepayung sama lo," sambung Hani antusias. Sebelah alis Via terangkat. Seingatnya, alasan lelaki itu yang tak ingin memakai satu payung untuk berdua itu belum diceritakan, baik pada Dinda ataupun Hani.

"Kenapa, kenapa?" Dinda bertanya dengan semangat '45-nya, menuntut jawaban Hani.

"Pasti dia bilang karena takut kena fitnah gara-gara berduaan dengan lo." Jawaban dari Hani membuat Via spontan mengangguk. Benar begitu adanya.

"Itu bagian yang menyebalkannya?" tanya Dinda, jengah karena rasa penasaran tentang sifat menyebalkan orang yang diceritakan itu sama sekali tak dikatakan.

"Bukan, lah," sahut Via spontan.

"So?"

Via melanjutkan ceritanya. Mencari tumpangan untuk pulang, lengkap dengan insidennya yang salah fokus hingga mengira mobil yang berhenti dekat dengannya itu karena dirinya yang melambaikan tangan. Gadis itu dengan pipinya yang sudah seperti tomat masak juga lanjut menceritakan keteledorannya, yang berakhir membuatnya menjelma seperti orang bodoh.

Mengabaikan Hani dan Dinda yang terpingkal menahan tawa. Via melanjutkan bahwa memang taksi online sudah dipesan oleh laki-laki itu, tetapi dirinya tetap menurunkan gengsi dan ego untuk mendebat sosok jangkung itu, dengan menyertakan alasan bahwa dirinya adalah perempuan yang akan berisiko jika dibiarkan pulang malam. Nyatanya, argumennya ditolak mentah-mentah oleh lelaki itu.

Ah, rasanya Hani dan Dinda sudah menemukan letak menyebalkan pada seseorang yang diberiakan oleh Via sebagai gelar kepada sosok yang baru menolongnya itu.

"Nggak abis pikir dong, gue. Kirain dia mau ngalah. Secara, gitu. Lo kan cewek! Bahaya magrib-magrib masih di luar!" Hani berseru sambil memonyongkan bibir. Sosok yang tadi dikaguminya hilang sudah.

Via mengangguk cepat, merespons perkataan Hani dengan mimik wajah tak kalah menyebalkan.

"Aneh-aneh aja manusia, ya ampun. Trus lo pulang kapan? Malam? Rasanya abis magrib lo nelepon gue pakai ponsel lo, deh," gumam Dinda, mengundang jiwa penasaran Hani muncul lagi ke permukaan.

"Katanya dia nolak buat relain tuh taksi buat lo? Jadi pulang pakai apa? Angkot?"

Via menggeleng. "Pakai tuh taksi."

"Hah?"

"Ngomong yang jelas, dong, jangan plin-plan! Bingung, nih, gue!" Dinda memijat pelan pelipisnya.

"Dia ngalah, sih, akhirnya. Itu pun karena supirnya berbaik hati belain gue, jadi dia kalah suara," ujar Via santai.

"Oke, lo selamat sampai rumah, trus lo ke sini cuma mau ngembaliin tuh payung?"

Pertanyaan Hani dijawab anggukan oleh Via. "Plus, gue punya utang sama dia."

"Ya ampun, belom selesai juga, nih, cerita?" Dinda menepuk kening. Via cengengesan

Hatchih!

Masih dengan tisu yang sama, Via mengelap hidung. Matahari mulai condong ke arah barat, tapi cahayanya makin terik.

"Utang apa? Uang? Budi? Perasaan?" tanya Hani, mulai ngawur.

"Uang."

"Emang lo nggak pegang uang?"

"Ada, tapi basah," kekeh Via. Ingin sekali dua sahabatnya menimpuk kepala gadis cantik itu dengan knalpot motor. Uang basah mana bisa digunakan. Akan tetapi dua gadis itu hanya mendesah kuat sembari geleng-geleng kepala. Via memang masih sama teledornya.

Yah, dari cerita Via, memang dapat dua gadis itu simpulkan bahwa lelaki yang dikisahkan memang seperti memiliki dua sifat. Masing-masing memiliki persepsinya sendiri. Hani memprediksi garis wajah lelaki itu, Dinda mengira-ngira seberapa mengesalkannya orang itu, dan Via berharap menemuinya sesegera mungkin sebelum tisunya tidak bisa dipakai lagi dan harus mengelap hidung menggunakan seragamnya.

"Eh, iya, namanya siapa?"

🌷🌷🌷

Ceki-ceki typo, kuy! Bantu komentar kalau nemu, ya!

Vote-nya mana, hayo?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro