Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01. Hijrah?

"Lo dengar gue, nggak, sih?" Vira mengguncang bahu Via, saudari kembarnya.

"Dengar," jawab Via setengah berdusta.

"Jadi, menurut lo, gue mesti gimana?"

Via menelan saliva. Sebenarnya, dari tadi ia tidak begitu mendengarkan celotehan Vira. Otaknya sedang berada di persimpangan karena kemarin baru saja diputuskan oleh Kak Afkar, seniornya yang telah menjadi alumni setahun lalu. Dua tahun, masih sebentar sekali, bukan? Alasannya? Karena lelaki itu mulai sibuk dengan kegiatan kampus dan merasa mereka sudah tak lagi sejalan. Entah apa maksudnya, Via juga tak mengerti.

"Eh, sorry. Tadi lo nanya apa?" tanya Via balik memasang tampang innocent.

Vira memutar bola mata malas. "Alvia Rumaisha Harun, tadi tuh gue nanya, gimana menurut lo kalau gue hijrah?"

Via mematung. Antara percaya dan tidak dengan pernyataan Vira barusan. Kata itu selalu terdengar indah, tapi tak pernah singgah di otak gadis itu walau sedetik pun.

"Eh? Hijrah?"

"Astaga! Jangan bilang lo nggak tau apa arti hijrah? Jadul banget, sih. Heran," celetuk Vira lalu menghempaskan badan ke atas kasur.

"Ya, gue tau hijrah itu apa. Yang gue nggak paham, kenapa lo tiba-tiba ngomong gitu? Kayak udah paham bener soal agama," seloroh Via sambil mengerucutkan bibirnya.

Setelah mendengkus, Vira memutuskan bangkit dari posisi rebahannya. Ia memperbaiki letak duduk dan menatap iris hazel saudari kembarnya.

"Sama kayak hidup, kita butuh waktu untuk mengerti banyak hal. Pelajarannya nggak bisa diterima dalam satu waktu, tapi dengan melalui perjalanan panjang. Pelan-pelan." Vira berujar, membuat kening Via berkedut dalam, sesaat kemudian membentuk sabit di wajahnya.

"Ntar dulu. Sakit, lo, Vir? Kok sok bijak, sih? Nggak asik," ceplos Via lalu mengarahkan punggung tangannya menuju dahi sang adik yang langsung ditepis empunya kening.

"Apaan, sih? Emangnya orang yang berubah selalu sakit, ya?" gerutu Vira, dibalas cengengesan oleh Via.

"Lagian mendadak banget, sih."

Vira memasang senyum. "Gini, ada yang ngerubah gue," bisiknya sambil menerawang langit-langit, spontan membuat alis Via menyatu. Senyum menggoda tercetak di wajah sang kakak.

Seperti cerita cinta yang begitu klise, Via sudah bisa menebak alur kisah sang adik.

"Cowok?"

"Iya. Dia ... dia ...," gumam Vira.

"Dia?"

"Ah, jangan tanya lagi!" Vira tiba-tiba menangkup wajahnya yang sudah semerah tomat.

"Lo jatuh cinta, ya? Iya, 'kan? Pasti iya. Ngaku," sosor Via sambil mencolek bahu Vira. Matanya mengerling, membuat pipi Vira bersemu.

"Dek, makan malam, yuk. Udah ditunggu Ayah, Bunda dan Kak Fahri tuh di bawah." Kak Farah yang entah sejak kapan masuk ke kamar Via berseru, memutus obrolan dua saudari yang tengah seru-serunya membahas perihal cinta.

Tanpa banyak bicara, dua kembar itu turun, mengikuti langkah Kak Farah menuju ruang makan.

🌷

Namanya Alvia Rumaisha Harun. Alvira Rania Harun adalah saudari kembar yang lebih muda lima menit darinya. Menjadi kembar identik membuat mereka mudah akrab, juga mempunyai ikatan batin yang begitu kuat. Dua gadis ini juga memutuskan untuk tidak bersekolah di satu tempat yang sama seperti orang kebanyakan. Ingin mencari pengalaman berbeda, dalih mereka, hingga tak banyak yang tau bahwa baik Alvia maupun Alvira memiliki kembaran.

Tak jarang bahkan sepupu dan sanak saudara salah memanggil nama keduanya. Tak heran, memang tak banyak perbedaan pada diri dua orang itu. Via memiliki tahi lalat di sudut kanan bibirnya dan memiliki gingsul juga di bagian yang sama. Lain dengan Vira yang memiliki lesung pipi di sebelah kanan juga setitik hitam di pipi kirinya.

🌷

"Ayah, Bunda ...," lirih Vira, matanya ragu mendongak. Bukan hanya Ayah dan Bunda, tapi seluruh pandangan tertuju pada dirinya, tak terkecuali Via. Aksi menyantap makanan terhenti seketika.

"Kenapa, Dek?" Bunda memutuskan mengawali untuk bertanya, melihat tak ada yang membuka suara.

"Um ... eh, nggak jadi, deh." Tampak jelas bahwa gadis itu tengah begitu gugup.

"Yakin, nggak jadi?" Kak Fahri menaikkan sebelah alisnya.

"Ehm ... ya," jawab Vira ragu.

"Dia mau hijrah," sambar Via cepat yang langsung dihadiahi pelototan tajam dari Vira. Mau bagaimana lagi? Ia begitu gemas dengan adiknya yang kelihatan malu-malu. Via membalas dengan kekehan lalu mengedikkan bahu.

Suruh siapa, mau ngomong aja lama banget, batin Via.

"Oh ya? Gimana, Dek? Tadi beneran yang dibilang Via?" tanya Bunda antusias, bahkan matanya sudah berbinar cerah.

"Wah, bagus, dong. Mau mulai dari mana?" timpal Ayah, sama bersemangatnya seperti Bunda.

Via melongo, tak menyangka mendapat feedback yang baik atas celetukannya tadi. Apa mereka tidak terkejut? Ah, Via lupa. Keluarga mereka memang cukup agamis, hingga hal berbau 'hijrah' dari Via dan Vira menjadi perihal yang paling ditunggu-tunggu.

Vira menarik napas pendek. "Mulai dari hijab, mungkin?"

"Oke, besok ikut Kakak!" titah Kak Farah.

"Ke mana?" tanya Vira. Kak Farah dan Bunda malah tampak saling melempar kode lewat tatapan mata.

"Hijrah, dong!" Kompak sekali dua wanita beda generasi itu menyahut.

"Aku nggak diajak? Masa cuma Vira?" gerutu Via tak terima, menjadi nyamuk di meja ini sama sekali tak menyenangkan.

"Nyusul, Vi," cetus Kak Fahri sambil mengerling.

Nyusul?

"Iya, Vi, nunggu apa lagi? Keburu maut, loh," imbuh Bunda.

Via bergidik ngeri mendengar kata 'maut'. Bagaimanalah? Tak ada yang siap dengannya bahkan orang baik sekalipun.

"Dia nunggu hidayah, tuh, Bun," ceplos Vira, mengerling nakal menggoda sang kakak. Langsung saja mata melotot Via menghujam kedip goda Vira.

Mencari hidayah tak semudah mendapatkannya secara tak sengaja, bukan? Setidaknya, hal itulah yang kini dipikirkan Via. Jika Vira bisa beruntung bertemu perantara kebaikan dan langsung digerakkan hatinya untuk berubah, apa kabar dengan Via?

Tertawa menanggapi guyon Vira, Kak Farah, Bunda, dan Ayah tampak begitu menikmati bercakap dengan putrinya yang sebentar lagi akan menyusul mengenakan hijab seperti kakak dan Bundanya. Meski tak begitu menanggapi gurau adik kembarnya, Via juga tak bisa menyangkal bahwa hatinya sedikit tersentil kali ini.

"Jangan melamun, nanti kesambet," bisik Kak Fahri ke telinga Via, membuat gadis itu terlonjak. Ah, ternyata kakak lelakinya cukup peka dengan pikirannya. Setidaknya, hanya Kak Fahri yang menyadari bahwa dirinya tengah melamun.

🌷

"Vir! Cepetan dikit! Udah hampir telat!" teriak Via di depan kamar Vira yang tertutup rapat. Jam sudah menunjukkan pukul 06.10. Sudah 15 menit menunggu, tak heran ia malah mengkal dengan Vira yang tak selesai-selesai berdandan.

"Lo turun duluan! Dikit lagi rampung, nih," titah Vira, ikut membalas dengan teriakan, hanya agak sedikit dipelankan suaranya.

Via manut, ia menuruni tangga, menyapa Mbok yang tengah menyapu rumah, lalu beralih menyalami bunda dan Kak Farah yang tengah berbincang hangat di meja makan. Menolak ikut sarapan, gadis itu kemudian melangkahkan kaki jenjangnya ke halaman yang sudah dihuni oleh mobil, tanpa basa-basi langsung menduduki jok kedua. Gadis dengan rambut lurus sepinggang itu kemudian terlonjak menyadari Kak Fahri berada di belakang setir.

"Kakak jadi supir hari ini?"

"Iya, ayah ada jadwal meeting, jadi buru-buru."

"Oh ...," tanggap Via, menarik seatbelt lalu menguncinya.

"Vira mana?"

"Dandan. Lama banget," keluh Via, tangannya terulur untuk membenarkan letak bandana jingga di kepalanya.

Via mengambil ponsel dari saku, memainkan game ludo sembari menunggu kedatangan Vira.

"Kalian nggak bakalan mirip lagi, yah," ujar Kak Fahri, lebih mirip gumaman namun terdengar jelas di telinga Via. Gadis itu menurunkan gawainya.

Ah, iya. Berbeda. Tak ada yang mengetahui bahwa di dalam hatinya, Via sedikit menolak perbedaan yang ditimbulkan dari keputusan Vira. Entahlah, menurutnya, ada sedikit rumpang dalam jiwa. Namun, bagaimanalah? Prinsip dan pilihan adalah satu hal yang tidak dapat dipaksakan.

"Assalamualaikum! Gimana, gimana?" sambar Vira tiba-tiba, mempertanyakan penampilan, lantas mengambil posisi di sebelah kembarannya. Via memicingkan mata, memerhatikan lekat sosok anggun yang bersemayam di sampingnya saat ini. Enggan mengakui, namun Vira memang terlihat lebih cantik dalam balutan jilbabnya.

Kak Fahri mulai menjalankan mobil.

"Woi! Liatnya gitu amat, Neng?" Vira mengibaskan tangannya, membuat mata Via yang tadinya tanpa kedip kini mengerjap. "Gimana menurut lo, penampilan gue? Keren, nggak?" tanya Vira untuk yang kedua kalinya, menagih jawaban.

"Ng ...." Via gelagapan, tak tahu harus menanggapi bagaimana.

"Cantik, kelihatan lebih anggun," jawab Kak Fahri tanpa mengalihkan pandangan dari jalan di depannya.

"He'eh, keren. Gue sampai pangling," timpal Via, mengajukan dua jempol.

"Nyusul, dong. Biar sama-sama keren," celetuk Vira.

Via hanya bisa menanggapi dengan senyum terpaksa. "Ntar, gue nunggu hidayah dulu."

🌷

"Yuk, masuk," ucap Via, mempersilakan Dinda dan Hani memasuki rumahnya.

Setelah mendengar cerita Via tentang perubahan Vira, dua sahabat itu memutuskan untuk mengunjungi Vira, membabi buta ingin memastikan sekaligus melihat kedua insan identik itu yang akan tampak begitu berbeda.

Dinda dan Hani, dua sahabat Via sejak awal menapak bangku SMA. Hani yang berasal dari keluarga religius itulah yang paling ingin memastikan hijrah adiknya Via. Dinda hanya sedikit penasaran saja, tak sampai seheboh Hani.

"Eh, sebentar. Gue nggak jadi masuk, ya, Vi. Nyokap mendadak ngajakin belanja mingguan," ucap Dinda setengah hati.

"Yah, bakalan lewat, nih. Padahal Kak Fahri ada di ruang tamu, tuh," tunjuk Via melalui ekor mata. Dari teras, keberadaan Kak Fahri di ruang tamu sangat kelihatan karena pintu depan memang sedang dibuka.

Melenguh pelan, Dinda menghentakkan kakinya sambil menggerutu. Menurut pengakuannya, ia memang menyukai sulung keluarga sahabatnya ini sejak pertama kali berjumpa.

"Kesempatan buat gue, nih," pancing Hani seolah hendak merebut lelaki berkharisma yang tengah membaca buku tebal di sana.

"Awas aja, ntar ruas jari lo tinggal dua," ancam Dinda sambil memicingkan mata.

"Ouch!" Hani meringis, pura-pura merasakan sakit, sedangkan Dinda melengos melihat kelakuan sahabatnya yang suka sekali bermain ekspresi.

"Berantem aja terus sampai Nobita punya kantong ajaibnya sendiri," sindir Via, jengah dengan adegan adu mulut Dinda dan Hani.

"Ya sudah, kalian masuk, gih. Gue jalan duluan. Bye," pamit Dinda.

Hani mengangguk, kemudian mengikuti langkah Via memasuki rumah besar di hadapannya.

"Assalamualaikum," salam Hani saat menginjakkan kakinya.

"Wa'alaikumussalam," jawab Kak Fahri tanpa mengalihkan pandangan dari buku tebal yang sedang dibaca. Sempat melirik hard cover, tumpukan lembar tebal itu berjudul Fiqh Kontemporer.

Via mengajak Hani menaiki tangga menuju kamarnya yang bersebelahan dengan bilik Vira. Gadis dengan surai indah yang sudah agak berantakan itu membuka pintu kamar kembarannya, sekadar memastikan sang adik sudah pulang atau belum, karena tujuan Hani ke rumahnya adalah untuk menjadikan Vira narasumber abal-abalnya.

"Mana, mana? Geser dikit, dong!" Hani mendorong sedikit tubuh Via, memaksakan dirinya yang sedikit gempal berada di bawah bingkai pintu--bersamaan dengan Via--hendak menyela masuk. "Kok nggak ada? Ah, lo nggak bilang-bilang, sih," gerutu Hani.

"Ye, yang maksa masuk siapa?" cibir Via sambil melirik Hani jenaka. Gadis itu berjilbab itu hanya cengengesan, menggeser posisinya agar Via bisa mudah menutup pintu kamar bernuansa merah jambu itu.

Sembari menunggu Vira, Hani dan Via berbincang banyak hal yang tak terlalu penting. Seputaran gebetan, pelajaran, juga sesekali protes karena Vira tak kunjung tiba sedangkan azan asar akan berkumandang beberapa menit lagi.

"Assalamualaikum," sapa Vira ketika memasuki kamar Via-Via memang sengaja menyuruh Vira untuk langsung menyambangi kamarnya setelah pulang sekolah lewat pesan.

"Wa'alaikumsalam! Ah ya ampun! Sini, sini, Vir! Beneran ya ternyata!" ucap Hani berteriak sedikit heboh, menarik tangan Vira tanpa aba-aba mendekati ranjang.

Via hanya tertawa melihat raut wajah Vira yang kebingungan serta antusias Hani yang kelewat tinggi itu.

"Ajib banget, sumpah. Makin cantik," celetuk Hani sambil meneliti Vira dari ujung jilbab hingga ujung kaus kaki.

"Makasih, by the way."

"Vi, kapan nyusul kayak begini?"

Sontak Via terdiam. Entah sudah berapa kali batinnya juga mempertanyakan hal yang sama, namun mendengar orang lain ikut berpartisipasi bertanya lebih malah membuatnya sedikit risih. Sadar akan perubahan ekspresi sang kembaran, Vira memalingkan topik.

"Lo ngapain?" tanya Vira pada Hani yang sudah mulai reda kekagumannya.

"Nunggu lo untuk menyaksikan keajaiban dunia. Saudari kembar yang tak sama, demi apa emang beda banget, sih."

"Lebay banget." Vira mengedikkan bahu

"Kalau nggak lebay, hidup tuh nggak asik, Vir," bantah Hani, tak terima dituduh.

"Tumben pulang telat? Ngapain aja lo?" tanya Via pada akhirnya. Ia tahu persis bahwa Vira sejak dulu tidak memutuskan untuk mengikuti kegiatan apapun baik ekskul atau OSIS.

"Ntar gue cerita." Vira mengerling, disambut anggukan Via.

"Cerita ke gue juga, dong," pinta Hani, membuat wajah tampak memelas.

"Emang lo siapa?" Vira berpura-pura sinis.

"Wah, gitu ya sekarang sama gue. Udah menganaktirikan gue, ya." Hani menggembungkan pipi, menyipitkan mata. Siapa pun yang melihat pasti akan gemas.

Vira langsung saja mencubit kuat pipi tembam itu tak sabaran, membuat sang empu meringis menahan sensasi panas seperti cabai di pipinya.

"Sakit, woi! Pelan aja, napa? Kasihan, 'kan, pipi limited edition gue ini." Hani mengusap pipinya yang tampak memerah. Vira membentuk jarinya menjadi simbol peace, masih tertawa melihat respon sahabat sang kakak. "Eh, gue kayaknya udah harus pulang, deh. Sebentar lagi asar. Diteror bokap ntar." Hani membereskan tas miliknya.

"Perlu diantar sampai depan pintu?" tawar Via, Hani menggeleng.

"Nggak usah, Vi. Gue hafal jalan keluarnya."

"Oke, hati-hati."

Hani mengangguk, berjalan dengan langkah ringan menuju akses masuk kamar bernuansa abu-abu terang itu lalu kemudian hilang ditelan pintu yang menutup.

"Cerita!" Via menuntut janji Vira. Yang ditagih membenahkan posisi duduk agar sempurna berhadapan dengan kakaknya.

"Mulai dari mana?"

"Alasan lo pulang telat hari ini."

"Lo tau nggak, gue dapet hidayah dari mana?" tanya Vira sembari menatap dalam manik Via yang kemudian ditanggapi dengan gelengan.

"Dari seseorang, yang entah sejak kapan gue perhatiin. Pandangannya adalah dakwah, orang yang secara nggak langsung ngarahin gue caranya menghamba. Orang yang--"

"Hold on! Dari cara lo ngomong ... lo jatuh cinta?" sela Via di tengah-tengah omongan Vira.

"Bisa jadi, sih." Vira menerawang langit-langit.

"Sebaya?" selidik Via.

"Sekelas," tanggap Vira cepat.

"Owh, okay. Trus, kenapa pulang telat? Apa hubungannya sama kemungkinan lo jatuh cinta?"

"Sst ... gue stalk, dong. Gue ikutin kegiatannya. Oh iya, dia anak rohis. Ketua," bisik Vira, berusaha agar suaranya tak keras walaupun hanya mereka berdua penghuni ruangan itu saat ini.

Via memutar bola matanya. "Kenapa mesti stalk, sih? Ikut gabung aja sama klubnya."

"Tanggung, lima bulan lagi kan pergantian pengurus. Mana bisa gabung di tengah-tengah," sanggah Vira. Via menggaruk kepala yang tak gatal. Benar juga.

Tok-tok-tok!

"Masuk!"

Kepala Kak Farah menyembul dari balik daun pintu.

"Udah pada salat Asar?"

"Lagi dapet, Kak." Via menyahut lebih dulu.

"Kamu?" Atensi Kak Farah beralih pada Vira.

"Eh? Memangnya sudah azan?"

"Sejak sepuluh menit yang lalu."

Vira lantas segera melepaskan jilbab, dalam menit yang sama menyasar kamar mandi, dua menit berselang wajahnya sudah tampak basah oleh wudu. Tanpa merasa perlu meminta izin, Vira menyambar mukena katun yang terlipat rapi di atas nakas. Menggelar sajadah, mengangkat tangannya untuk bertakbir kemudian tenggelam dalam khusyuk gerakannya.

Via tertegun. Ia bukan tak mengenal sosok Vira selama ini. Adik kembarnya itu sering kali mengabaikan salat, melebihi dirinya ketika malas, sampai kadang Bunda angkat tangan dan terpaksa menyuruh Ayah untuk menyerunya. Lihatlah sekarang. Gadis itu menyegerakan salatnya, tampak tenang dalam tiap detiknya menghamba.

Kak Farah yang mendapati Via melamun berjalan mendekat, memutuskan untuk duduk di sebelahnya.

"Hijrah itu indah, kan?"

Tanpa dikomando, kepala Via seperti tersihir untuk mengangguk. Entahlah. Ia tak pernah merasa damai ketika melihat orang lain melaksanakan kewajiban seroang hamba. Namun, melihat perubahan Vira, dirinya tersentil.

"Karena hijrah, dia berubah menjadi lebih baik. Karena itu pula, dia menemukan jalan hidup yang benar. Juga karena itu, ia berbeda."

🌷🌷🌷

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro