Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#baper - mertua

Kamu bersamaku
Menjadi bagian dari hidupku
Sepenuhnya aku adalah milikmu
Namun kamu bukanlah milikku

"Mi..., besok aku keluar kota," ucap Zidan di line telepon.

Aila tersentak, keluar kota? Mendadak sekali dan Kenapa Zidan membicarakannya melalui telepon? Kenapa tidak di rumah saja?

"Berapa hari, pap?" tanya Aila sambil mengaduk makan siangnya. Selera makannya lenyap begitu saja saat Zidan bilang akan keluar kota.

"Cuma tiga hari mih, kamu nanti nginep di rumah ibu saja, biar ada teman."

"Ya udah. Kamu udah makan pap?" tanya Aila mengalihkan pembicaraan.

"Ini lagi makan, ya udah kamu makan yang bener ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aila menutup teleponnya lalu membayar makan siangnya yang belum tersentuh sedikitpun. Hanya mendengar Zidan akan keluar kota saja badannya sudah lemas, lunglai tak bertenaga.

Malam setelah pulang dari rumah ibu, Aila membereskan barang-barang yang akan dibawa Zidan ke luar kota. Beberapa setel pakaian kerja dan baju tidur tak lupa perlengkapan mandi karena Zidan tak mau mengunakan perlengkapan yang disediakan di hotel. Semua sudah tersusun rapi dalam koper berukuran sedang.

Aila berlalu ke ruang tamu bergabung dengan Zidan yang sedang menonton pertandingan bola. Aila menyenderkan kepalanya di bahu Zidan, Mendadak ia menjadi malas melakukan apapun. Zidan jarang ke luar kota, terakhir sebelum ia melahirkan Faiz.

"Pap, kamu keluar kota dadakan gitu sih ngomongnya," ucap Aila pelan.

"Pak Yunus ngomongnya juga dadakan sayang," jelas Zidan.

"Enggak bisa di gantiin apa? Kan banyak karyawan yang lain."

"Kamu kenapa? Takut banget aku tinggal, kan kamu bisa tinggal sama ibu atau main ke rumah mamah. Aku kerja sayang bukan jalan-jalan."

"Iya aku tau kamu itu kerja, awas aja macem-macem di sana aku potong punyamu," ancam Aila.

"Gitu aja ngambek. Senyum dong jangan manyun begitu," ucap Zidan menarik kedua pipi Aila.

"Ish jangan tarik-tarik," gerutu Aila.

"Kita tarik-tarik yang lain aja yuk."

"Enggak mau."

"Dosa loh."

"Alesan kamu dosa terus."

"Beneran dosa sayang."

"Udah deh jangan mulai ceramah," ucap Aila masuk ke dalam kamar.

Zidan tertawa mengikuti Aila dari belakang. Ia butuh asupan gizi untuk tiga hari kedepan.

***

Paginya Zidan sudah berada di rumah ibu. Sebelum mengantar Aila ke kantor. Zidan menitipkan Faiz dan Aila pada ibu dan bapak.

"Bu, zidan titip Faiz sama Aila ya," ucapnya pada ibu.

"Iya nak Faiz, tenang saja anak istri kamu aman sama ibu, kamu hati-hati di sana ya," pesan ibu.

"Iya. Makasih bu."

"Pak, Zidan pamit ya," ucapnya pada bapak.

"Iya hati-hati di sana jangan mikirin Aila terus kalau lagi kerja nanti enggak konsen," ucap bapak sambil melirik Aila.

"Ih bapak ngomongnya gitu, masa gak boleh mikirin Aila, nanti mas Zidan mikirin cewek lain gimana?" rajuk aila.

"Tak ada wanita lain sayang," ucap Zidan mencium pipi Aila.

Sedangkan Aila menampakkan wajah ingin muntah.

"Bisa banget kamu, udah ayo jalan telat nih."

Ibu dan bapak tertawa melihat Aila yang salah tingkah.

"Zidan pamit bu, pak."

"Hati-hati."

***

Aila duduk menikmati makan siangnya, setelah berkirim pesan dengan Zidan barulah ia merasa tenang.

Ini memang bukan pertama kalinya Zidan keluar kota, tapi rasanya Aila kembali mengingat malam itu. Saat itu dirinya sedang hamil besar dan malam itu pula Aila melahirkan Faiz, tanpa di temani sosok Zidan. Tentu saja hal itu membuat dirinya sedih.

Meskipun Zidan kembali esoknya tapi tetap saja sebagai istri ia ingin di temani saat-saat tengah bertaruh nyawa.

"Ngelamun aja, jeng."

Suara dan tepukan mendarat di bahu Aila membuatnya kaget.

"Ngagetin aja."

"Ye, gue udah panggil dari tadi kali, kenapa sih? Galau? Kaya ABG, aja inget buntut kali."

"Ah elu, kayak lu kagak pernah galau aja," dengus Aila seraya menyeruput jus jeruknya.

"Beda kasus kali, gue mah galau wajar. Lah elu galauin apa? Bulanan kurang? Apa si Zidan kagak hot lagi.

Aila menggeplak tangan Ella dengan buku menu. Ella memang tidak bisa menjaga ucapannya yang terlalu frontal. Itu kan rahasia dapurnya dan Zidan, masa diumbar.

"Apaan sih! Atit tau," rajuk Ella.

"Huwekz! Gak usah sok imut lu, jijik gue. Mulut elu tuh di saring dulu kalau ngomong, ada yang denger kan gak enak," gerutu Aila.

Ella, sahabat Aila sejak jaman SD hingga SMP. Meskipun sempat putus komunikasi karena Ella pindah sekolah, mereka akhirnya bertemu kembali dalam satu perusahaan. Ella menjadi teman curhat Aila, tak heran Ella mengetahui masalah dapur Aila.

"Kalau bukan masalah dapur terus kenapa lu galau?"

"Zidan keluar kota," jawab Aila.

"Yaelah, belum juga sehari di tinggal keluar kota, lu udah gegana begini, santai aja kali."

"Santai... santai... Lo belum ngerasain sih," dengus Aila.

"Maksudnya apa tuh belom ngerasain, iye gue tau deh yang punya suami ganteng. Takut di cantol cewek lain. Tenang Zidan tuh cinta nya sama lu doang. Di jamin deh enggak bakal lirik kanan lirik kiri."

"Jelas dong Zidan cintanya sama gue kalau enggak dia gak bakalan nyosor sama gue."

" iyuh Lebey banget, tadi aja termewek-mewek."

"Suka-suka gue lah."

Dering dari handphone Aila mengintrupsi obrolan mereka berdua. Tanpa menunggu lama Aila mengangkat panggilan tersebut.

"Hallo assalamuailaikum," ucap Aila cepat.

"Waalaikumsalam," jawab suara lembut di ujung sana.

Aila melihat layar handphonenya. Ia pikir Zidan yang menelepon makanya ia buru-buru mengangkatnya. Ternyata bukan.

"Halo... iya mah."

"Aila, nanti mampir ke rumah mamah ya, mamah kangen sama Faiz. Kamu jarang main lo sekarang."

"Iya mah, nanti Aila pulang kerja mampir ya. Mamah gimana kabarnya?"

"Mamah sehat, ya sudah jangan lupa main ya."

"Iya mah, dah assalamualaikum."

Aila menutup telephone dan meletakan benda pipih itu di atas meja.

"Siapa? Lemes gitu," tanya Ella.

"Mamer, suruh gue mampir."

"Mamer?"

"Mamah mertua, Ella."

Elle menepuk bahu Aila, tahu urusan menantu dan mertua itu tak seindah novel-novel yang sering di bacanya. Hubungan menantu dan mertua juga tak sekejam sinetron tersanjung. Pokoknya ada pait-paitnya gitu. Ella sendiri tidak bisa membayangkan suatu saat nanti di bawa ke rumah mertua. Lebih baik ngontrak pikirnya, rumah mertua tak seindah rumah kontrakan.

"Ya udah lu mampir lah kesana," ujar Ella.

"Gue harus ijin pulang cepet sama Bu Frid dong, dih males banget gue. Urusan bisa panjang kalau sama dia."

"Enggak susah, lu bilang aja anak lu lagi demam gitu,"

"Zidan marah kalau gue pake Faiz buat alesan."

"Zidan di luar kota kagak bakal tau."

"Bener juga, kadang-kadang lu pinter La."

"Sialan lu, udah gue mau makan, laper gue."

"Lu pesen deh, gue yang bayar pake duit elu."

"Sama aja kali gue juga yang bayar."

***

Taxi yang ditumpangi Aila sampai di rumah ibu. Setelah meminta izin pada Ibu Frida, Aila langsung pulang. Beruntung ibu Frida langsung percaya jika Faiz sedang damam dan Aila harus cepat pulang.

"Assalamuailaikum, bu Aila pulang."

"Waalaikumsalam, tumben pulang cepet kamu, kenapa? Sakit?" tanya ibu, tangannya memeriksa dahi Aila.

"Enggak kok bu, Aila gak papa, tadi mamahnya mas Zidan telepon terus suruh Aila main kesana," jelas Aila.

"Bapak mana, bu?"

"Lagi ada undangan dari Pak Rt. Ya udah kamu bersih-bersih dulu biar ibu yang gantiin baju Faiz."

"Tapi Aila males bu, kan mamahnya mas Zidan kangennya sama Faiz bu, bukan sama Aila."

"Enggak boleh begitu. Kamu enggak boleh males. Ayo kamu siap-siap."

"Bu..., " rengek Aila.

"Aila, anakku. Mamahnya Zidan jelas kangen sama Faiz, Faiz cucunya. Setelah Zidan dewasa dan akhirnya menikah, mamahnya Zidan enggak mungkin nimang-nimang Zidan lagi. Sama kayak ibu, ibu enggak mungkin nimang-nimang atau gendong kamu lagi. Makanya mamahnya Zidan dan ibu mencurahkan kasih sayang buat Faiz, ngerti?"

Aila mengangguk lemah, jika urusan itu ia sudah paham dari dulu. Seorang nenek pasti akan lebih sayang pada cucu daripada sama anak. Tapi ini urusan menantu dan mertua, yang rasanya sulit dijelaskan dengan kata-kata.

"Ya udah Aila mandi dulu, bu," ucap Aila kemudian masuk kedalam kamarnya.

***

Menjelang magrib, Aila sampai di rumah mamah. Dari luar rumah Aila mendengar suara ribut-ribut antara mamah dengan adik zidan. Aila teringat dirinya dulu yang juga sering berdebat dengan ibu.

"Ini udah mau malem ya, mamah enggak mau kamu keluyuran malem-malem!"

"Mamah, aku cuma sebentar ke depan enggak keluyuran."

"Lia..."

Aila mematung di depan pintu melihat Lia adik perempuan Zidan yang lari keluar sedangkan sang mamah berteriak dari dalam.

"Assalmualaikum mah," ucap Aila.

"Waalaikumsalam, dari tadi kamu? Maaf ya ribut-ribut, itu si Lia bandel dibilangin. Ayo masuk, loh Zidan mana?"

"Ke luar kota, Mah," jawab Aila pelan.

"Oh. Ayo duduk, kamu kayak sama siapa aja. Ayo dong duduk, duh mamah kangen banget sama Faiz. Faiz kangen enggak sama nenek?"

Mamah memangku Faiz dan mengajak Faiz berbicara. Sedangkan Aila hanya menyaksikan dengan diam. Benar kan, mamah hanya kangen Faiz.

"Faiz tidur sama neneknya? Aila kamu nginep di sini ya, kan Zidan lagi ke luar kota," ucap mamah.

"I.. iya mah," jawab Aila. Tidak mungkin bilang tidak jika mertua sudah berkata demikian dengan wajah demikian.

"Zidan kok enggak bilang sama mamah dia mau keluar kota?"

"Aila enggak tahu mah, mungkin lupa. Itu juga perginya dadakan. Aila dikasih tau juga dadakan."

"Kamu enggak ingetin?"

Aila lupa, benar-benar lupa dan tidak tahu jika mamahnya Zidan akan bertanya padanya.

"Maaf ya mah, Aila lupa bilangin mas Zidan."

"Ya udah enggak papa, lain kali bilangin yah dia suka lupa sama mamah."

"Mamah kok ngomongnya gitu, mas Zidan enggak mungkin lupa sama mamah."

"Udah magrib ayo mamah solat dulu. Abis sholat kita makan bersama sambil nunggu si Lia yang lagi keluar."

Mamah masuk ke dalam kamar, meninggalkan Aila dan Zidan di ruang tamu. Aila membawa Faiz ke kamar Zidan. Lega rasanya bisa bebas dari mamahnya Zidan. Aila bukannya tidak suka dengan mamahnya Zidan, hanya rasanya kurang nyaman. Ditambah pertanyaan yang terkesan menyudutkannya. Atau dia saja yang terlalu sensitif, tespack kali sensitif.

Aila mengambil handphonenya lalu menghubungi Zidan. Ia harus meminta penjelasan Zidan. Tapi nomornya tidak aktif pasti Zidan sedang Sholat. Aila akhirnya mengirim Zidan pesan. Lima belas menit kemudian Zidan menelponnya.

"Assalamualaikum, halo sayang."

"Halo pap, kamu kemana aja? Ditelpon enggak diangkat, aku sebel sama kamu, kamu tuh ngeselin, kanapa kamu enggak bilang sama mamah sih, aku kan jadi enggak enak sama mama," ucap Aila dengan napas memburu.

"Loh kamu kenapa? Suami ngucap salam kok enggak di jawab malah marah-marah begitu, kenapa?"

"Abisnya aku tuh kesel sama kamu, kamu kenapa enggak bilang sama mama kalau kamu keluar kota."

"Lupa. Mamah tanyain aku ya?"

"Iya, tadi siang mamah telpon aku, suruh main."

"Ya udah bilang sama mamah, aku minta maaf."

"Kamu aja yang bilang, kamu yang salah."

"Ya udah nanti aku telpon mamah. Sekarang kamu lagi apa? Faiz gimana?"

"Faiz tadi main sama mamah sekarang lagi main sama aku. Kamu udah makan belum?"

"Iya bawel. Aku lagi mau makan sama pak bos nih. Kamu baik-baik sama mamah yah. Yaudah bye, Assalamualaikum."

Jadi laki nyebelin banget sih, di perhatiin malah dikatain bawel, gerutu Aila.

"Kak, mamah panggil makan tuh," teriak Lia dari luar kamar.

Enggak pake ketok pintu tuh anak,

Aila mengendong Faiz lalu keluar dari kamar. Sepertinya tidurnya tak akan nyenyak malam ini.

Holla buat mamih shisakatya yang lagi galau, special pake telor buat mamih. Nite mih, peluk cium dari jauh.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro