02. Santai Aja Dulu, Enggak, sih?
***
Sebenarnya tidak banyak perbedaan antara kelasnya yang lama dan yang sekarang. Hanya saja, Syabira harus beradaptasi dengan keadaan kelasnya yang baru, terutama dengan teman-teman barunya.
Berdiri di ambang pintu, pandangan gadis itu menyapu keadaan kelas. Mulai dari papan tulis di depan kelas, papan tulis berisi bank data dan keadaan kelas, layar infocus yang tergulung di atas papan tulis, dan satu unit air conditioner di dinding atas. Semua fasilitas kelas tersebut hampir sama dengan kelas lamanya.
Syabira menghentikan aktivitas mengamati sekitar saat pandangannya bersirobok dengan milik seorang siswa yang duduk di barisan tengah. Sebelah tangannya bersandar di kursi, netranya tetap tak mau diputus pada si gadis. Syabira berdecih samar kemudian mengalihkan tatapannya dari sosok itu.
Gadis itu menghela napas singkat, tak terbayangkan jika sampai kelas dua belas ia akan sekelas dengan cowok paling menyebalkan itu. Hanya beberapa menit berinteraksi saja sudah membuat Syabira mendadak migrain.
Pokoknya, jangan berinteraksi sama cowok tengil itu. Titik!
"Hai, transferan dari kelas 3, ya?"
Syabira menoleh pada sosok di samping kirinya. Ada kalimat yang membuatnya mengernyit dalam. Gadis berambut panjang dan berkacamata itu mengulurkan tangan kanannya.
"Gue Kayla, ketua kelas di sini. Bener, kan, dari kelas 3 atau ... pindahan?"
"Hah? Transferan? Pindahan? Bukannya kita sama-sama kelas 11, ya? Gue ... dari kelas MIPA 3."
"Santai aja dulu nggak, sih?" sahut suara lain mendekat ke arah dua gadis itu. "Belum juga masuk, udah di interograsi aja."
Syabira berbalik, kurang dari satu meter Janari berdiri tepat di hadapannya. Tak banyak ekspresi yang ditunjukkan pemuda itu setelah mengucapkan kalimat yang tidak dapat Syabira cerna. Ada beberapa pertanyaan di kepalanya perihal ucapan Kayla tadi. Sepertinya, banyak yang harus Syabira pahami tentang kelas barunya, termasuk istilah-istilahnya.
"Apa, sih, Jan. Orang cuma nanya doang."
"Eh, tolong yang lengkap nyebut nama gue, ya! Jan ... Jan, dikiran nanti nama gue Ojan."
"Iya ... Iya! Janari Manggala Bumi. Puas lo?"
"Mau sampai kapan di situ? Lo nggak lagi cosplay jadi tukang penagih utang, kan?" ledeknya pada gadis itu kemudian berlalu keluar kelas.
Sialan! Ucapannya, gayanya yang petantang-petenteng, benar-benar membuat Syabira geram. Otaknya belum juga mengulurkan benang kusut tentang transferan, kelas 3, dan pindahan. Sekarang malah dikatai meniru penagih hutang. Memangnya hanya penagih hutang yang berdiri di ambang pintu? Rasanya ingin sekali Syabira memukul belakang kepala cowok itu sewaktu lewat di depannya tadi.
Permasalahan baru, setelah mengabaikan Janari dan masuk ke kelas, Syabira kali ini kebingungan perihal tempat duduk. Netranya menyapu seisi kelas, semua meja dan bangku sudah ditempati dengan tas pemiliknya, kecuali meja di depan barisan tengah. Lebih tepatnya, tempat di mana Janari tadi duduk.
Sampai ... suara perempuan dewasa menginterupsi lamunan Syabira, berganti dengan ekspresi terkejut. Bukan terkejut dengan kehadiran wali kelasnya yang baru, tapi dengan sosok yang berada di belakang bu Ranita.
"Selamat pagi, anak-anak," sapanya dengan semangat.
Senyum bu Ranita terkembang sempurna saat sapaan itu berbalas, ia menyimpan buku absen di mejanya, tangannya bergerak memberi kode pada Syabira agar berdiri di samping mejanya. Gadis itu bergerak beberapa langkah, berdiri sejajar dengan siswa yang tadi berjalan di belakang bu Ranita tadi.
Atensi Syabira teralihkan pada sosok pemuda yang mengetuk pintu kemudian masuk setelah dipersilakan. Kerutan di dahi Syabira tercetak jelas saat netranya menelisik Janari yang berjalan santai ke bangkunya, menimbulkan tatapan sinis dari gadis itu. Ingat, Syabira masih kesal dengan pemuda itu.
"Oke, sudah masuk semua?"
Pandangan Syabira turut menyapu ruang kelas seperti yang dilakukan bu Ranita. Benar saja, semua peserta didik sudah berada di tempatnya masing-masing. Ada dua bangku yang kosong. Satu di depan meja Janari dan satu lagi di sebelah kanan, berkelang satu barisan dari anak laki-laki itu.
"Baik, Ibu membawa dua teman di kelas kita. Satu dari kelas XI MIPA 3. Dan satu lagi murid pindahan dari SMA lain."
"Yang cowok pindahan dari SMA mana, Bu?" celetuk salah satu siswi.
Syabira menarik senyum datar, tentu saja mereka langsung bisa menebak mana siswa pindahan dari sekolah lain dan mana siswa pindahan dari MIPA 3. Mengingat seragam dan atribut sekolah yang melekat di bajunya adalah SMA Cendana Bakti. Sementara siswa di sampingnya ini masih mengenakan atribut sekolah lain.
"Silakan, Nak. Perkenalkan diri kalian berdua." Bu Ranita mempersilakan.
Syabira celingukan sejenak, bukankah dia sudah lama tercatat sebagai siswi di SMA Cendana Bakti? Mereka juga pasti sudah tahu dari kelas mana Syabira berasal. Harusnya yang memperkenalkan diri siswa pindahan saja, tidak termasuk Syabira juga.
Syabira menoleh, siswa tersebut mengulurkan tangannya memberi kode pada gadis itu.
"Ladies first," katanya dengan tersenyum ramah.
"Lo aja duluan, mereka udah kenal gue." Syabira balik mempersilakan.
Lagi-lagi siswa itu tersenyum. Manis, sih, tapi tidak serta-merta membuat Syabira salah tingkah atau sejenisnya. Secara kasat mata, Syabira sudah bisa menebak. Sosok siswa pindahan tersebut sebentar lagi pasti akan jadi topik hangat perbincangan para gadis di sekolah. Apalagi dengan visual yang mendukung, seperti badan yang tinggi, senyum manis, tutur bahasanya yang lembut, serta paling penting adalah wangi. Mungkin dia menghabiskan satu botol parfum pagi ini. Bagaimana tidak, Syabira yang berdiri setengah meter jaraknya saja, sangat jelas aroma perpaduan citrus dan mint masuk ke indera penciumannya.
"Halo semua, perkenalkan saya Tristan Aditya. Teman-teman bisa panggil saya Tristan. Saya pindahan dari SMA 120 Jakarta Utara. Senang bisa bertemu teman-teman semua."
Sebenarnya perkenalan dari Tristan cukup singkat, dia hanya menyebut nama dan asal sekolah. Namun, justru itu menimbulkan riuh pertanyaan dari para gadis. Syabira yang menyaksikan hal tersebut tidak merasa heran. Tidak di kelas lamanya, tidak di sini, para gadis tetap saja caper ke cowok ganteng.
"Tristan ... 08 berapa?"
"Tristan masuk ekskul seni aja, yuk."
"Tristan hobi lo apa?"
Tristan ... Tristan ... Tristan dan masih banyak lagi pertanyaan yang terlontar. Syabira menghela napas singkat, menggaruk pelipisnya. Tidak habis pikir dengan modus para gadis.
Syabira membuang pandangannya ke sembarang arah, kenapa harus tertuju ke meja barisan tengah. Terjadilah pandangan mereka bertemu. Sosok menyebalkan itu melipat tangan di depan dada, punggungnya bersandar di badan kursi.
Kening Syabira berkerut, Janari mengangkat tangan kanannya secara tiba-tiba. Netranya masih bersirobok dengan milik Syabira, tetapi bibirnya memanggil sang guru.
Mau apa dia? Izin ke toilet?
"Bu, yang transferan dari kelas 3 belum memperkenalkan diri," ujar Janari, setelahnya tangannya turun dan kembali di depan dada.
Oh, sekarang Syabira mengerti dengan ucapan si ketua kelas tadi tentang murid transferan, itu karena ada siswa pindahan dari SMA lain ke kelas ini, sedangkan Syabira hanya pindah kelas.
Suara sorak datang dari para siswi, mereka tidak terima acara perkenalan dengan Tristan harus berakhir. Namun, suara pembelaan yang ingin mengenal sosok Syabira pun datang dari anak-anak putra.
"Iya, nih, Bu. Kami juga mau tahu siapa nama yang satunya itu."
"Cewek-cewek kalau dikasih panggung, sampai besok pagi juga nggak kelar itu nanya-nanyanya, Bu."
"Tahu, tuh! Heran, pada ganjen semua."
Bu Ranita beranjak dari duduknya, menenangkan keadaan kelas yang semakin ribut. Dia berjalan beberapa langkah. Berdiri di antara Syabira dan Tristan. Senyumnya terulas lembut, memberi kode dengan tepukan di bahu kiri Syabira. Mempersilakan Syabira untuk mengenalkan diri.
"Silakan kamu perkenalan, ya. Cowok-cowok penasaran sama kamu, tuh. Jangan-jangan ada yang naksir," goda bu Ranita membuat ruang kelas seketika dipenuhi sorakan.
"Saya juga harus, Bu? Tapi, kan, saya bukan siswa pindahan sekolah lain," jawab Syabira mengundang komentar siswa yang duduk di barisan tengah itu.
"Nggak semua kenal lo. Emang lo siapa? Selebgram? Atau selebtok joget-joget?"
Sialan, selebtok joget-joget enggak, tuh!
Janari Manggala Bumi, benar-benar anak itu. Dia sadar tidak, komentar itu mematik kembali rasa emosi di dalam dada si gadis. Benar apa yang dia katakan, Syabira bukan artis, seleb atau sejenisnya yang membuatnya dikenal banyak orang.
Namun, tetap saja. Syabira yang kadung kesal dengan sosok Janari, tentu tidak terima dengan ucapan cowok itu. Syabira mencoba mengabaikan, meskipun gemuruh di dadanya terdengar ribut.
"Perkenalkan, gue transferan dari kelas XI MIPA 3," ucap Syabira menekan kata transferan. "Kalian boleh panggil gue, Syabira atau bira."
"Kalo Syabi? Sabi, lah, ya."
"Atau sayang? Sayang, mau, Sayang?"
"Hati-hati sama Nabil, Sya. Playboy cap gayung dia mah."
Syabira tersenyum datar mendengar sahut-sahutan yang bisa dibilang serupa godaan. Syabira sudah bisa menerka jika itu adalah teman-teman terdekat Janari. Siapa yang tidak mengenal mereka, seantero sekolah pasti mengenal siapa itu Janari Manggala Bumi, Akhtar Rayhan, Nabil Emery, dan Arshaka Saguna. Sederet nama yang dijuluki dengan sebutan "empat pilar Cendana Bakti" di kalangan siswa.
Namun, bagi Syabira baik Janari atau ketiga temannya semua bertingkah sama. Sama-sama menyebalkan, kecuali Rayhan. Sosok cowok itu lebih sedikit normal dibandingkan yang lain.
Entah buku macam apa yang cowok itu baca, dari awal Syabira berdiri di depan kelas sampai ia memperkenalkan diri, sosok itu masih setia menelisik bukunya. Sesekali Syabira memperhatikan siswa itu, tetapi tidak mendapat balasan. Justru beberapa kali tidak sengaja beradu pandang dengan milik Janari, membuat Syabira kembali mendengkus kasar.
Syabira bergegas menuju barisan kanan, dia harus duduk di sana. Bagaimanapun, Syabira tidak ingin dekat-dekat dengan sosok menyebalkan yang duduk di barisan tengah. Walaupun, sebenarnya ia ingin. Alasannya karena barisan tengah lebih enak memperhatikan guru menjelaskan di depan kelas.
"Please, kali ini gue mohon. Biarin gue duduk di sini, ya?" Syabira memelas pada Tristan. Kedua telapak tangannya ditangkupkan di depan dada.
Langkah Syabira tidak kalah cepat, hanya saja kaki Tristan yang terlalu lebar. Alhasil, Tristan lebih dulu menjatuhkan tasnya pada meja itu.
"Oke, nggak apa-apa. Kamu boleh di sini, kok." Tristan mundur beberapa langkah ke belakang, menarik senyum tulus kemudian berbalik menuju meja kosong satu lagi.
Baru juga menjatuhkan bobotnya di kursi, seruan di depan kelas membuat Syabira mengalihkan atensi ke bu Ranita. Namun, setidaknya Syabira merasa lega karena rencana mengurangi atau bahkan tidak terlibat interaksi dengan sosok Janari bisa ia lakukan.
"Baiklah anak-anak, seperti biasa setiap awal semester baru kita akan ada tugas kelompok." Bu Ranita berjalan ke tengah kelas. "Pembagian kelompok dan materi tugas sudah Ibu kirim di grup kelas silakan dicek nanti di grup kelas."
Gila, baru juga hari pertama. Udah ada projek tugas aja. Santai aja dulu enggak, sih?
Tidak sabaran dan penasaran mungkin adalah nama tengah Syabira. Jelas sekali bu Ranita memberi titah nanti untuk mengecek grup kelas. Namun, gadis itu sudah mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, memeriksa ponselnya diam-diam di bawah meja.
Ada notifikasi undangan grup kelasnya yang baru, Syabira masuk ke ruang obrolan grup itu. Di bawahnya ada file pdf dengan judul kelompok tugas akhir. Gadis dengan penasaran penuh itu membuka file, perasaannya seketika tidak enak.
Apa pun tugasnya, siapa pun teman satu kelompoknya. Syabira berdoa dalam hati tidak sekelompok dengan Janari dan teman-temannya itu.
"Anjrit! Kok, malah sekelompok, sih?"
Syabira menutup mulutnya, keterkejutannya menghasilkan suara cukup gaduh. Pandangan teman-temannya berpusat padanya. Gadis itu menunduk setelah meminta maaf, ia merutuki nasibnya setelah ini.
Tanjung Enim, 20 Januari 2025
Rinbee
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro