7 - Kebenaran dan Salam Perpisahan
7
Kebenaran dan Salam Perpisahan
"Kita tak bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa. Dan saat hati kita jatuh pada orang yang salah, maka yang ada hanya luka."
***
Dhira duduk di kursi ayunanㅡdi halaman rumahnyaㅡseperti biasa sambil membayangkan semua kenangan dirinya bersama Rangga selama beberapa pekan ini. Semua perasaan itu, nyata. Karena jika itu semua ilusi, rasanya tidak akan semenyakitkan ini. Ia mulai menangis.
"Kenapa aku harus mencintainya? Dari sejuta pria kenapa harus dia? Kenapa aku harus jatuh cinta di saat aku akan pergi? Ya Allah..., jika ia bukan takdirku, aku mohon ... hilangkan perasaan ini. Perasaan ini sungguh menyiksaku. Karena aku mencintai seseorang yang tak seharusnya aku cintai."
Kemudian uminya datang dan duduk di samping Dhira. Ia bertanya ada apa dan mengapa putrinya menangis.
"Umi...." Dhira tak bisa menahannya. Ia menangis sesegukan di pelukan uminya. Tangisan yang memilukan.
"Umi..., kenapa kita semua harus berbeda?" tanya Dhira di sela-sela tangisannya. Meski Umi tidak tahu apa yang terjadi pada anak gadisnya. Ia berusaha menenangkannya dan berkata kalau perbedaan itu yang akan menyatukan semuanya. "Kita berbeda untuk saling menghargai, saling melengkapi, dan saling mencintai," ucap uminya. Dan Dhira terus menangis di pelukan Uminya.
Setelah kejadian itu, Dhira sakit. Mag nya kambuh, sudah beberapa hari ia tidak bisa masuk sekolah. Kepergiannya ke Bandung pun menjadi tertunda. Dokter yang merawatnya mengatakan kalau Dhira terlalu stres dan membuat asam lambungnya naik, hingga kondisi badannya tidak sehat. Yah, karena yang sakit adalah jiwanya, hatinya, bukan raganya. Menyimpan perasaan pada seseorang, menahannya, membuatnya hilang, bukanlah hal yang mudah. Karena hal itu bertentangan dengan hatinya, maka raganya pun memberontak.
Karen dan Latifah datang menjenguknya. Ingin melihat kondisi sahabat mereka.
"Hey, Ra ... aku datang sama Latifah, bagaimana keadaanmu? Apa lebih baik? Aku kangen tau Ra...," sapa Karen terlihat sedih.
Tidak ada senyuman di wajah Dhira, ia malah membalikan tubuhnya; membelakangi kedua temannya.
"Ra ... aku minta maaf." Kali ini Latifah yang berbicara.
"Kamu tidak perlu minta maaf, Fah...." Dhira akhirnya bersuara, terdengar sangat lemah. Lalu hening sejenak.
"Apa kalian pernah jatuh cinta?" tanya Dhira tiba-tiba, masih dengan posisi membelakangi mereka. Ia tak ingin kedua temannya melihat wajahnya yang sekarang.
"Hah?" Hanya itu yang keluar dari mulut Karen. Sementara Latifah tak mengatakan apa-apa.
"Mereka bilang, jatuh cinta itu sangat indah, seperti melihat kembang api, atau seperti berada di tempat yang dipenuhi bunga-bunga. Tapi aku tidak merasakannya. Justru rasa sakit yang aku rasakan."
"Dhira...."
"Aku menyukainya. Aku menyukai Rangga...." Dhira mulai menangis. "Aku akui aku menyukainya. Tapi aku tahu itu salah. Aku tahu ini tidak seharusnya terjadi. Dan aku telah melanggar prinsipku sendiri. Aku melakukan seperti apa yang kamu suruh, Fah. Tapi aku tetap tidak bisa. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri.
"Saat ia mengatakan ia juga menyukaiku, aku sangat senang, tapi aku sedih di saat yang bersamaan. Karena perasaan ini percuma. Aku ingin sekali berbalik dan mengatakan kalau aku pun menyukainya. Tapi aku menahannya, karena aku tahu itu tidak boleh terjadi. Aku tak bisa jatuh cinta padanya. Pada seseorang yang tidak boleh aku cintai...." Dhira mengungkapkan semuanya sambil terisak.
Tanpa sepengetahuan Dhira, sebenarnya Karen dan Latifah datang bersama Rangga. Pria itu adalah orang yang paling mengkhawatirkan kondisi Dhira lebih dari siapa pun. Tapi ia tak ingin masuk, karena takut Dhira tak menyukainya dan menyuruhnya pergi. Ia memutuskan untuk diam di dekat pintu kamarnya, melihatnya dari sedikit celah pintu yang tidak dibiarkan tertutup rapat. Dan Rangga mendengar semua pembicaran mereka, termasuk pengakuan Dhira tentang perasaanya. Ia masih tidak mengerti. Tapi matanya memanas, tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Ia menutup mata untuk menenangkan dirinya. Jika tidak, mungkin ia akan berlari menerjang pintu di hadapannya dan membawa Dhira kabur bersamanya. Tak bisa menahan diri lebih lama lagi, ia pun memutuskan untuk pergi.
"Loh, Nak Rangga tidak ikut masuk?" Pertanyaan umi Dhira sukses membuat langkah Rangga berhenti dan tersenyum ramah pada umi Dhira.
"Tidak Tante, saya takut mengganggu. Saya lupa ada janji, jadi saya pamit pulang duluan. Permisi," pamit Rangga sopan lalu beranjak pergi dari rumah Dhira.
***
Dhira sudah kembali masuk sekolah dan baru saja selesai mengurusi kepindahannya. Rangga melihatnya keluar dari kantor, tapi ia tidak tahu apa yang sedang Dhira lakukan di sana. Lalu ia melihat Liz. Ia pun memutuskan untuk menemuinya. Ia tahu orang yang menjatuhkan pot untuk mencelakai Dhira adalah Liz. Ia belum sempat menanyakannya karena ia juga belum lama masuk sekolah dan setelah masuk ia mendapat kabar kalau Dhira juga sakit, jadilah ia tidak sempat bertemu dengan Liz.
"Liz, katakan yang sejujurnya. Kenapa kau melakukan hal itu padanya?"
"Apa Kakak bertanya karena Kakak benar-benar tidak tahu?" Liz balik bertanya. Kata-kata itu mengingatkan kata-katanya pada Dhira.
"Karena aku menyukaimu. Dan kau malah menyukai perempuan itu."
"Jadi, kau akan melukai siapapun yang aku cintai, begitu?" tanya Rangga tak percaya. Dan Liz menangguk mengakui tuduhan Rangga.
"Kau sudah tidak waras!" desis Rangga.
"Kakak yang sudah tidak waras! Dia itu berbeda dengan kita, Kak. Sadar! Kakak tidak bisa bersamanya."
Rangga menahan amarah. "Kenapa semua orang mengatakan kalau kami tak bisa bersama? Kenapa semua orang bilang kalau kami berbeda? Apa jatuh cinta sebuah kesalahan?"ㅡRangga mengusap wajahnya kasarㅡ"Sudahlah!" tukasnya kemudian meninggalkan Liz yang nampak kesal.
Rangga mencari-cari Dhira hingga akhirnya ia menemukannya berada di perpustakaan.
"Ra...."
Dhira menoleh, lalu bangkit dari duduknya menghadap Rangga.
"Ra, aku tunggu di kelas yah," ucap Karen yang saat itu sedang bersama Dhira lalu pergi setelah menepuk pundak sahabatnya.
"Ada apa?" tanya Dhira pada Rangga setelah Karen pergi.
"Kita bicara diluar saja," ucap Rangga yang kemudian menggenggam tangan Dhira dan membawanya ke luar perpustakaan.
Mereka sudah berada di luar dan Rangga masih menggenggam tangan Dhira. Dhira melihat ke arah tangannya yang masih di genggam oleh Rangga. Rangga yang menyadari hal itu segera melepasnya dan meminta maaf. Tapi Dhira bahkan tidak marah sama sekali. Ia tahu Rangga tidak sengaja melakukannya.
"Ada perlu apa? Bagaimana keadaanmu? Apa kepalamu sudah baikan?"
Rangga tertegun, merasa heran, karena tidak biasanya Dhira perhatian dan lembut seperti itu padanya. Tapi tidak dipungkiri kalau ia senang. Dengan senyuman lebar Rangga menjawab, "Aku baik-baik saja karena orang yang aku sukai mengkhawatirkanku." Dhira membalasnya dengan senyum tipis.
"Bagaimana denganmu? Kamu sakit apa? Ternyata kamu bisa sakit juga yah," celoteh Rangga pura-pura tidak tahu apa-apa.
"Aku baik-baik saja. Aku hanya kelelahan. Aku terlalu malas untuk pergi ke sekolah," jawab Dhira sedikit bercanda.
"Wow! Seorang Dhira ternyata punya rasa malas juga."
"Rangga...."
"Oh ya, ya, ya. Sorry,"ㅡRangga mengangkat sebelah tangannyaㅡ"Ehm, besok adalah hari festival rock, kamu ikut ya? Rasanya aku gugup setengah mati. Aku akan bicarakan tentang ini pada Bu Catrin, jadi kamu tidak usah khawatir."
"Tapi, Ga...."
"Aku tidak mau mendengar alasan apa pun. Besok pukul 8. Harus! Aku tidak akan pergi jika kamu tidak ikut. Aku akan menunggumu."
"Ooy! Rangga! Ngapain lu disana? Ayo cepet latihan!" seru teman band-nya.
"Oke! Tunggu bentar!" balas Rangga kemudian kembali menatap Dhira. "Aku akan pergi sekarang. Bye! Jangan lupa besok ya!"
Rangga tak memberikan Dhira kesempatan untuk bicara, ia pun berlalu dari hadapan Dhira, tapi kemudian dia kembali lagi.
"Jika aku memenangkan festival ini, kamu harus menerimaku. Ingat itu."
Rangga yang berpura-pura tak mengerti apa-apa tersenyum bahagia pada Dhira. Yang ia tahu sekarang bahwa orang yang dicintainya juga mencintainya. Itu saja, sudah cukup baginya. Ia pun pergi dengan perasaan bahagia. Tapi tidak dengan Dhira. Ia ingin menangis saat itu juga.
***
Bel pulang telah berbunyi. Semua orang langsung membubarkan diri mereka. Terkecuali Dhira. Setelah sholat dhuhur, ia menemui Mang Hajar, ia ingin memberikan salam perpisahan pada beliau. Dan ia menemukannya sedang bersih-bersih di lantai bawah.
"Assalamu'alaikum, Mang...."
"Wa'alaikumsalam, eh ada Neng Dhira. Ada apa Neng? Belum pulang?"
"Dhira ganggu nggak, Mang?"
"Enggak, tenang aja, nggak ganggu kok. Ada perlu apa sama Amang?"
"Gini Mang, besok Dhira mau pindah. Dhira mau pulang ke Bandung. Kemungkinan besar Dhira nggak akan ke sini lagi. Makanya Dhira nemuin Amang sebelum pergi."
"Pulang? Kan sekolahnya sebentar lagi? Kenapa harus pindah? Kalau Neng Dhira pindah, nanti Amang nggak ada temennya atuh."
"Iya Mang, ini keputusan Umi sama Abi, Dhira nggak bisa nolak. Kan masih ada Latifah Mang, Dhira mau ngucapin banyak terima kasih sama Mang Hajar, selama ini Amang selalu bantuin Dhira, nemenin Dhira, makasih banyak ya Mang...."
"Ah, si Eneng mah, udah sepantasnya atuh sesama muslim itu saling membantu."
Dhira tersenyum. "Ini, ada sedikit kenang-kenangan untuk Amang. Dhira mohon jangan ditolak ya Mang...." Dhira menyerahkan sebuah jinjingan pada Mang Hajar. Saat Mang Hajar membukanya, isinya adalah sebuah baju koko lengkap beserta sarung dan pecinya.
"Maasyaa Allah..., terima kasih Neng, semoga Allah menggantinya dengan yang lebih baik. Insya Allah ini akan sangat bermanfaat."
"Alhamdulillah. Aamiin.... Kalau gitu Dhira pamit dulu ya Mang, Dhira mau ketemu Pak Adi sebentar. Jaga kesehatan ya Mang. Jangan sedih karena Dhira nggak ada yah," candanya yang kemudian mereka saling tersenyum.
Dhira pamit sambil mencium tangan Mang Hajar yang mungkin untuk terakhir kalinya. Mang Hajar sangat terharu oleh perbuatan Dhira. Baginya ia sudah seperti anaknya sendiri.
"Salam juga buat keluarga Amang ya, Assalamu'alaikum...,"
"Nak Dhira juga, wa'alaikumsalam warohmatulloh...."
***
"Kamu bener-bener yakin mau pindah?" tanya Pak Adi yang kini sedang berjalan di koridor bersama Dhira.
"Iya Pak. Ini adalah keputusan yang tidak bisa saya tolak. Saya cuma mau pamitan sama Pak Adi aja. Pak Adi jangan galak-galak terus sama anak-anak, kasihan tahu Pak. Oh, kecuali si Rangga. Bapak harus sering-sering hukum dia, biar kapok." Dhira memasang wajah pura-pura kesal.
Pak Adi menatapnya. "Kamu yakin mau ninggalin Rangga?"
Dhira sedikit tertegun dengan pertanyaan itu. "Maksud Bapak...?"
"Dia itu bener-bener suka sama kamu. Bapak juga mau minta maaf sama kamu," ujar Pak Adi.
"Untuk apa, Pak?" tanya Dhira bingung.
"Masalah kalian yang mencoret-coret dinding itu, sebenarnya Rangga yang memintanya."
Dhira sedikit terkejut, dia mencoba mencerna kata-kata Pak Adi.
"Dia memohon untuk bisa dihukum sama kamu, katanya ada yang ingin dia bicarakan berdua sama kamu. Awalnya Bapak menolak, tapi dia terus menerus meminta dan sebagai gantinya dia mau melakukan apa pun yang Bapak minta. Yah, anak itu memang nakal. Dia mencoret-coret dinding hanya untuk bisa dihukum bersama denganmu,"ㅡPak Adi berdecakㅡ"Kalau kamu ninggalin Rangga, dia pasti akan sedih. Kamu udah ngasih tahu Rangga?"
Dhira berhenti. Kepalanya menunduk. Pak Adi agak bingung, apa ia salah bicara.
"Dhira, ada apa?"
Sampai seperti itu kah Rangga? Dia selalu melakukan banyak hal untuk dirinya. Tapi dirinya bahkan tak bisa membalas perasaan pria itu. Dhira berusaha mati-matian untuk menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia lalu mengangkat kepalanya dan tersenyum pada Pak Adi.
"Tidak ada apa-apa. Terima kasih ya, Pak. Tolong jaga Rangga. Dhira pamit," ucap Dhira.
Setelah itu ia pergi meninggalkan Pak Adi, teman-teman beserta sekolahnya.
***
Tbc.
Revised:
Tasikmaya, 01 Januari 2018.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro