6 - Pengakuan
6
Pengakuan
***
Confession by Jungshin Cn Blue
🍁🍁🍁
Seolah tak mengenal kata lelah, Rangga masih berusaha untuk bisa berbicara dengan Dhira. Ia ingin menjelaskan semuanya. Bagaimanapun caranya.
"Ra, kita harus bicara." Rangga menghampiri Dhira. Ia masih berusaha keras agar Dhira mau mendengarkannya. Namun seperti biasa, Dhira selalu menghindar.
Tanpa mengacuhkan Rangga, Dhira melenggang pergi ke luar kelas. Rangga segera menyusulnya dan menahan tangannya. Dhira kaget, biasanya Rangga tidak akan melakukannya dengan sengaja.
"Lepaskan tanganku, Ga!" Dhira mencoba melepasnya, namun genggaman Rangga begitu kuat.
"Aku tidak akan melepasnya sampai kamu mau mendengarkanku," ujar Rangga tegas dan tak main-main.
Saat itulah Rangga baru menyadari kalau Dhira sudah tak memakai gelang pemberiannya lagi. Ia nampak kaget, ada tatapan terluka di matanya. Berikut rasa yang ganjil di dadanya.
"Aku sudah katakan, kalau itu tidak masalah bagiku! Jadi, lepaskan. Aku mohon, Ga!" pinta Dhira. Ia benar-benar sudah tak mempermasalahkan hal itu lagi, dan ia tidak ingin peduli lagi tentang apa pun itu.
"Kak Rangga!"
Liz memanggilnya, tanpa sadar Rangga melepaskan genggaman tangannya. Dhira menggunakan kesempatan itu untuk lari. Rangga terkejut karena Dhira berlari dari hadapannya.
"Ra! Tunggu dulu Ra!" teriak Rangga berusaha mengejar namun Liz menahannya.
"Siapa dia? Apa dia seorang muslim? Harusnya Kakak tidak boleh memegang tangannya seperti itu."
Rangga sedikit terkejut dan bertanya kenapa Liz bisa tahu hal seperti itu.
"Tentu saja. Apa Kakak tidak pernah menonton sinetron? Heh, mereka itu benar-benar naif."
"Hey, kau tidak boleh seperti itu pada orang yang lebih dewasa," tegur Rangga nampak tidak suka. Karena yang ia tahu, Dhira tidak seperti itu. Liz pun berkata kalau ia mengerti, tanpa sungguh-sungguh.
Dhira berada di perpustakaan, bermaksud mengalihkan pikirannya. Namun ia kembali teringat saat Rangga menggenggam erat tangannya, lalu melepaskannya saat ada orang lain yang memanggilnya. Dhira menghela napas panjang. Ia tidak mengerti, mengapa semuanya jadi seperti ini. Apa sesuatu terjadi pada hatinya? Kenapa perasaan asing itu semakin menjadi? Ia telah memutuskan untuk menghilangkan perasaan anehnya itu. Tapi nyatanya, Tuhan tidak mengizinkannya.
Hari demi hari berlalu dan semakin memperjelas perasaanya. Semakin ia menahannya, maka semakin besar pula keinginan untuk memilikinya. Semakin ia menghapus perasaannya, semakin besar pula perasaannya tumbuh.
Rangga masih saja mencoba untuk berbicara pada Dhira walau masih saja diabaikannya. Dan sekarang Rangga sering bersama Liz, entah kenapa Dhira merasa tidak menyukai hal itu. Ia tidak suka jika Rangga bersama wanita lain. Ia tidak suka jika Rangga tertawa karena orang lain.
Selama itu pula Rangga selalu memperhatikan Dhira. Dan ia sudab tidak tahan lagi melihat Dhira terus menjauhinya. Saat pulang sekolah, Rangga menarik tangan Dhira dan membawanya ke belakang sekolah. Tidak memperdulikan tatapan orang-orang yang menatap mereka dengan tatapan penasaran.
Rangga melepaskan tangan Dhira dengan kasar saat mereka tiba di belakang sekolah. Dhira sedikit meringis kesakitan. Ia mencoba tak menanggapinya dan melangkah pergi. Tapi lagi-lagi Rangga menahannya dan mendorong Dhira.
"Rangga!" bentak Dhira tak habis pikir dengannya.
"Aku hanya ingin berbicara denganmu!" Rangga balik membentaknya. Kesabarannya sudah di ambang batas.
"Tapi tidak seperti ini caranya. Ini bisa jadi fitnah!" Dhira tak kalah berteriak.
"Lalu aku harus bagaimana? Katakan! Saat aku mendekatimu, kau selalu menghindar. Saat aku mengganggumu, kau mengacuhkanku. Saat aku ingin berbicara denganmu, kau mengabaikanku. Lalu aku harus bagaimana?!" Rangga meluapkan emosinya. Ia benar-benar bingung apa yang harus ia lakukan agar gadis di depannya ini mau mendengarkannya.
"Bukankah aku sudah bilang berulang kali kalau itu tidak masalah. Aku tidak peduli tentang semua itu," ucap Dhira ketus. Memnuang muka; mencoba 'tuk tak peduli.
"Saat itu aku terpaksa mengatakannya," Rangga mengaku.
"Bahkan jika kau mengatakan yang sejujurnya, tetap tidak apa-apa. Jadi jangan khawatir," tukas Dhira. Lalu ia mencoba pergi lagi, namun Rangga menahannya, lagi.
"Kau bohong. Lalu kenapa kau selalu menjauhiku? mengabaikanku? Bahkan kau tak ingin bicara denganku! Kenapa?" Rangga tak ingin menyerah.
"Aku hanya tidak ingin berbicara denganmu dan berada di dekatmu. Aku tidak ingin kau menggangguku lagi. Karena aku merasa tidak nyaman. Apa itu salah?"
"Oke. Kau memang benar, mungkin caraku memang salah. Tapi itu yang bisa aku lakukan agar kau mau mendengarkanku. Dan satu lagi, kenapa kau tidak memakai gelang itu?"
Dhira terlihat sedikit terkejut, tapi ia berusaha menyembunyikannya.
"Aku tidak menyukainya." Dhira mengalihkan pandangannya. Ada sorot terluka di matanya. Tapi Rangga juga terluka. Ia juga sangat kecewa. Pun dengan Dhira.
"Tapi kau sudah berjanji untuk tidak pernah melepaskannya," ujar Rangga melemah.
"Seingatku, aku tidak pernah membuat janji konyol seperti itu."
"Tapi tetap saja! Kau tidak seharusnya melepaskannya!" Rangga meninggikan suaranya.
Dhira kembali menatap Rangga tajam. "Kenapa? Apa itu masalah bagimu? Apa itu mengganggumu?!" balas Dhira tak kalah berteriak.
"Tentu saja!"
"Kenapa?"
"Karena ... karena, itu pemberian dariku," nada bicara Rangga kembali melemah.
"Lalu? Kenapa aku harus memakainya jika itu darimu? Kau sungguh aneh!"
Rangga terdiam.
"Kau tak bisa menjawabnya kan?" Dhira pun memutuskan untuk pergi.
"Aku menyukaimu," ucap Rangga dalam satu tarikan napas. Ia tak bisa menahannya lagi.
Dhira terpaku.
Dhira tak menduga hal ini akan terjadi. Ia gugup dan hendak pergi lagi namun kata-kata Rangga menahannya.
"Aku menyukaimu. Dhira Maulidina Saputra," ulang Rangga. "Sejak pertama, alasan kenapa aku sangat suka mengganggumu karena aku pikir aku menyukaimu, tapi aku tidak yakin dengan perasaanku sendiri. Jadi aku putuskan untuk terus mengganggumu dan mengikutimu agar aku bisa memperjelas perasaanku. Aku senang saat kau marah padaku. Aku bahagia saat aku bisa membuatmu kesal karenaku. Aku merasa tenang saat melihatmu tersenyum. Aku bahagia saat dekat denganmu dan aku sedih saat kau pergi dariku. Dan sekarang, aku yakin kalau aku memang menyukaimu, Ra...," jeda sebentar. Rangga menarik nafas. "Aku tahu aku pengecut. Aku terlalu takut untuk mengakui itu di depan teman-temanku. Karena itu aku berbohong, sungguh. Kau tidak seperti apa yang aku katakan waktu itu, kau adalah wanita terbaik yang pernah aku temui Ra ... selain ibuku."
Dhira menangis dalam diam. Entah bagaimana menggambarkan perasaan Dhira, setelah mendengar pernyataan laki-laki yangㅡnyatanyaㅡjuga ia cintai. Untuk pertama kali baginya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya; ada sesuatu yang bergejolak dalam hatinya. Namun ia berusaha menahannya. Rasa bahagia yang amat sangat dan rasa sakit yang teramat pedih. Ia ingin sekali berbalik dan mengatakan hal yang sama. Tapi ia tidak boleh seperti ini. Dan ini sangatlah menyakitkan baginya.
"Kenapa kau diam saja, Ra? Kau juga menyukaiku, kan?" lirih Rangga.
Dhira tertegun. Seolah baru saja ada yang meghantam dadanya keras-keras.
Bagaimana bisa....
Dhira berusaha mengendalikan perasaannya. Menahan isak tangis yang terasa sakit di tenggorokan.
"Tidak. Kenapa kau begitu percaya diri?" Dhira berusaha menjawab dengan tegas tanpa terdengar menangis.
"Pembohong," tukas Rangga. "Aku mendengar percakapanmu dengan Latifah."
Dhira terbelalak kaget, jadi ... dia mendengarnya?
"Jika kau tidak berbohong, tatap mataku dan katakan kalau kau tidak menyukaiku!"
Dhira tak bisa menahannya lagi, ia berlari menjauhi Rangga. Rangga pun berusaha mengejarnya. Di samping itu, Liz ternyata melihat dan mendengar segalanya.
Rangga berhasil mengejar Dhira dan menarik tangannya hingga ia berbalik.
Rangga begitu terkejut melihat Dhira tengah menangis. "Ra..., kamu...."
"Aku mohon biarkan aku pergi, Ga...," lirih Dhira. Namun Rangga enggan melepasnya sebelum ia mendengar jawaban Dhira.
Rangga menatap sorot mata Dhira yang memancarkan kepedihan. Ia seolah ingin mencari sesuatu dari matanya.
"Tolong hentikan semua ini. Aku mohon...," pinta Dhira sungguh-sungguh. Dan hati Rangga serasa tersayat-sayat kala itu.
Kali ini Rangga luluh, ia melepaskan tangan Dhira. Dhira pun melangkah pergi dengan langkah pelan. Rangga menatapnya dengan sedih. Hatinya sakit dan terasa remuk melihat gadis yang disukainya menangis seperti itu. Dan itu karenanya.
Rangga mengalihkan pandangannya ke atas dan tanpa sengaja ia menangkap sosok seorang perempuan seperti akan menjatuhkan pot bunga yang besar, tepat di atas kepala Dhira. Dan itu benar-benar terjadi. Dengan sigap Rangga berlari secepat ia bisa dan menangkap Dhira untuk menghindar dan menjatuhkannya bersama dirinya. Pot itu pun pecah di atas tanah. Kepala Rangga terbentur sangat keras pada dinding tembok hingga mengeluarkan darah dan membuatnya tak sadarkan diri. Sedangkan Dhira merasa terkejut dengan kejadian barusan. Semuanya terlalu cepat. Ia selamat, tapi Rangga terluka karenanya. Ia begitu khawatir melihat Rangga pingsan, apalagi melihat darah yang keluar di dahinya. Dengan sisa air mata di wajahnya ia berteriak minta tolong dan untunglah masih ada guru yang berada di sekolah. Mereka pun membawa Rangga ke rumah sakit sesegera mungkin.
***
Cukup lama Rangga ditangani, dan dokter berkata tidak ada luka dalam yang serius. Dhira menghela napas lega. Sedikitnya rasa cemas yang ia rasakan mulai berkurang. Ia memutuskan untuk diam di sana dan menemani Rangga beberapa saat. Setelah cukup lama, dan waktu semakin malam, orang tuanya pun sudah menyuruhnya untuk pulang, Dhira pun memutuskan untuk segera pergi.
Tidak lama setelah Dhira keluar bersama abinya, Rangga sadar dan orang yang pertama ia tanyakan pada ayahnya adalah Dhira.
"Dia baru saja keluar untuk pulang," ucap ayahnya.
Rangga hendak bangun namun kepakanya yang terasa sakit menghambatnya. Ia meringis.
"Kamu mau ke mana? Jangan banyak bergerak dulu, biar ayah panggilkan dokter."
"Rangga mau ketemu Dhra, Yah...."
Ayahnya hanya diam menatap Rangga.
"Ayah, Rangga mohon."
Ayahnya menghela napas. "Baiklah, sebentar. Semoga ia belum jauh," ucapnya pada akhirnya. Lalu ia keluar untuk menemui Dhira. Ia bisa melihatnya berjalan di lorong ujung rumah sakit, lantas ia menyusul dan memanggilnya.
"Rangga ingin bertemu denganmu," ucap Pak Grada, ayah Rangga.
Dhira terdiam. "Apa dia sudah sadar?" tanyanya kemudian.
Pak Grada mengangguk. "Temuilah dia, sebentar saja."
Dhira menoleh pada abinya, meminta persetujuan. Setelah mendapat anggukan dari abunya, ia pun kembali bersama Pak Grada ke ruang rawat Rangga. Dhira masuk sementara Pak Grada menunggu di luar untuk memberikan mereka privasi.
Begitu ia masuk, ia melihat Rangga yang tengah duduk di ranjang sambil bersandar ke tembok. Lalu tersenyum lebar saat menatap Dhira.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Dhira ragu.
"Baik," jawab Rangga singkat.
"Apa sangat sakit? Terima kasih sudah menolongku," ucap Dhira tulus tanpa memandangnya.
"Sepertinya aku harus sakit dulu agar kamu memperhatikanku," canda Rangga membuat Dhira menatapnya.
"Aku bercanda. Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Ini tidak sakit sama sekali, justru aku sangat senang." Rangga tersenyum. "Lalu bagaimana denganmu? Apa ada yang terluka?"
Dhira terdiam, dalam keadaan seperti ini pun Rangga masih mengkhawatirkannya. Dhira menggeleng pelan. "Syukurlah kalau kamu tidak apa-apa. Aku baik-baik saja," jeda sebentar. "Kenapa kamu melakukannya? Kamu melukai dirimu sendiri karenaku. Aku tidak ingin berhutang budi padamu."
Rangga tersenyum kecut. "Kamu bertanya karena kamu benar-benar tidak tahu? Kamu cukup membalas perasaanku, Ra. Itu saja," pinta Rangga.
"Ini sudah larut, aku harus segera pulang. Ayahku sudah menunggu."
Dhira berusaha menghindar dan berbalik pergi. Namun Rangga memintanya untuk tinggal sedikit lebih lama. Karena ia belum selesai bicara. Kali ini Dhira mengalah dan berbalik menghadapnya.
"Kamu belum menjawabnya. Apa kamu juga menyukaiku?"
Dhira terdiam.
"Apakah begitu sulit bagimu untuk mengatakan ya? Atau menganggukan kepala?" tanya Rangga nanar.
Dhira mengangkat wajahnya menatap Rangga. "Sangat sulit bagiku, Ga...."
Rangga sedikit terkejut karena Dhira tak menyangkalnya. "Itu artinya ... Lalu kenapa? Aku menyukaimu, kamu pun begitu. Lalu apa lagi? Kenapa kamu membuatnya menjadi sangat rumit?"
Dhira berusaha menahan air matanya. Menarik napas perlahan. Lalu berkata, "Karena tidak semudah itu bagiku. Bahkan jika aku menyukaimu, aku tetap tidak bisa. Kita tidak bisa bersama. Kita tidak bisa terikat oleh perasaan cinta. Karena kau dan aku, berbeda. Kita, berada di jalan yang berbeda."
Pada akhirnya air mata Dhira tumpah. Semua ini terlalu menyesakkan baginya. Rangga terdiam, mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Dhira.
"Aku minta maaf. Dan juga terima kasih," ucap Dhira pada akhirnya. Lantas berlari ke luar ruangan dengan berurai air mata. Rangga masih terdiam di ranjangnya. Memikirkan semua perkataan Dhira.
Sesulit itukah, Ra? Apa aku benar-benar tak bisa menggapaimu?
***
Tbc
Revised:
Tasikmalay, 29 Desember 2017
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro