Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5 - Keluarga

5
Keluarga

***

Saat jam istirahat, Rangga nampak sedang mencari-cari Dhira. Setelah lima menit berkeliling, akhirnya ia menemukannya. Namun ketika ia akan menghampirinya, seseorang memanggil Rangga dengan memakai embel-embel kakak. Dhira yang tidak jauh dari tempat Rangga berdiri pun mendengarnya dan ikut menoleh, melihat siapa yang memanggil Rangga.

"Liz?" ucap Rangga keheranan.

"Kak Rangga! Akhirnya, aku menemukan Kakak!" seru gadis itu senang, ia terlihat lebih pendek dari Ranggaㅡhanya sebatas bahunya. Kulit putih, wajah mungil dengan rambut hitam lurus melewati bahu. Gadis yang manis.

"Hey! Kenapa kamu bisa ada di sini? Bagaimana kabarmu?" Rangga pun nampak tak kalah senang seperti gadis manis itu. Mereka terlihat, akrab.

"Sangat baik!" cengirnya. "Aku berusaha keras buat pindah ke sini. Ayah sangat susah dibujuk. Aku merindukanmu, Kak!" Gadis yang dipanggil Liz itu pun memeluk Rangga.

Dhira yang melihat hal itu, nampak agak terkejut begitu pula Rangga. Ia pun segera melepaskannya.

"Hey, kau tidak boleh melakukannya. Ini sekolah, citraku bisa buruk. Bagaimana kalau fansku berkurang?" canda Rangga.

"Ck. Kakak ini. Kan ada aku," cengirnya mengedipkan sebelah mata. Mwmbuat Rangga terkekeh. "Kak, temani aku keliling yah? Please...," rengeknya

Liz bergelayut manja pada Rangga dan sepertinya Rangga pun tak bisa menolak. Saat Rangga menoleh, Dhira sudah tidak ada di tempat semula. Ia pun memutuskan untuk menemani Liz keliling sekolahnya.

Hari ini Dhira pulang bersama Karen, karena ia sedang berhalangan jadi ia bisa langsung pulang. Ia berniat memberitahu Karen tentang kepergiannya. Jadi ia mengajak Karen untuk menginap di rumahnya malam ini. Sekaligus mengerjakan tugas kelompok Seni Budaya.

Sementara itu, Rangga menunggunya di depan mushola. Meski ia sendiri pun tidak yakin karena ia tak melihat Dhira sejak tadi. Saat melihat Latifah, ia menanyakan keberadaan Dhira. Latifah menjelaskan kalau Dhira sedang berhalangan jadi ia tidak sholat. Namun sepertinya Rangga tidak mengerti apa yang dikatakan Latifah.

"Intinya, Dhira tidak di sini sekarang. Ia pulang bersama Karen," jelas Latifah.

Rangga mengangguk paham dan berkata ia akan segera pergi.

"Rangga," panggil Latifah membuat Rangga menghentikan langkahnya. Menghadap Latifah.

"Kau ... sebaiknya kau jangan menyukai Dhira. Kalian tidak akan bisa bersama," ucap Latifah tiba-tiba.

Rangga nampak tertegun untuk sesaat. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Aku pergi dulu," ucapnya sedikit terbata. Lalu kembali berbalik dan berniat segera pergi.

"Rangga," Panggilan itu membuat Rangga kembali berhenti tanpa menoleh.

"Dengar. Hentikan semua permainanmu. Aku mohon jangan mengusik hati Dhira. Biarkan dia, kau hanya akan menyakitinya lebih jauh."

Rangga berbalik. "Terima kasih atas nasehatmu. Tapi kau tidak berhak mengatur hidupku. Kau tidak berhak mengatur hatiku." Rangga menatap Latifah tanpa ragu lalu segera pergi dari hadapannya.

****

"Assalamu'alaikum, Mi...," ucap Dhira saat sampai di hadapan uminya dan mencium punggung tangannya.

"Wa'alaikumussalam..., kenapa baru pulang?" tanya Umi. Pasalnya Dhira baru pulang pukul empat sore. Tidak seperti biasanya.

"Maaf Mi, tadi Dhira ke rumah Karen dulu. Malem ini dia mau tidur di sini, sekalian ngerjain tugas kelompok. Nggak papa kan, Mi?"

Belum sempat Umi menjawab, Karen sudah menyapanya lebih dulu. "Halo Tante, saya Karen, teman sebangkunya Dhira sekaligus teman dekatnya Dhira," sambung Karen sambil tersenyum lebar.

Umi Dhira tersenyum melihat perilakunya. Ia tahu tentang Karen, Dhira sering bercerita tentangnya.

"Oh, jadi ini yang namanya Karen ... persis seperti yang Dhira bilang," ujarnya masih dengan senyum ramah. "Tentu saja boleh. Dhira juga sendirian kok di sini."

"Loh? Dhira sering ceritain aku ya, Tante? Dia bilang apa aja, Tan? Gak bilang yang aneh-aneh kan?" tanyanya terlihat serius membuat Dhira dan uminya terkekeh pelan.

"Udah! Mau tau aja. Mending sekarang kita ke kamar aku. Let's go sister!" seru Dhira merangkul sahabatnya dan membawa Karen menaiki anak tangga menuju kamarnya sambil berceloteh riang.

Uminya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya. Jika abinya melihat, mungkin ia akan menceramahi Dhira sepanjang malam.

Mereka sampai di kamar Dhira. Kamar yang cukup luas dengan dinding dicat berwarna putih; ditempeli kaligrafi serta beberapa hiasan dinding lainnya. Benar-benar rapih.

"Hahh sepertinya aku akan betah berada di sini," desah Karen yang hanya disambut senyuman kecil dari Dhira. "Oh ya, Abi kamu belum pulang kerja yah?"

"Iya. Sebentar lagi juga pulang. Abi selalu pulang sebelum maghrib agar bisa sembahyang berjama'ah di rumah. Kalau di Bandung, Abi selalu pergi ke Mesjid," jelas Dhira. Karen mengangguk mengerti.

"Aku mau mandi dulu ya, sekalian mau bersuci. Nanti gantian kamu yang mandi, oke?"

Karen mengacungkan satu jempolnya. Lalu Dhira menuju kamar mandi setelah membawa pakaian ganti.

Saat waktu maghrib tiba, Abi mengetuk pintu kamar Dhira untuk mengajaknya sembahyang. Dhira terpaksa meninggalkan Karen sendirian dan menyuruhnya menunggu sampai 'Isya. Karena biasanya setelah sholat maghrib, mereka akan dzikir dan bertilawah bersama. Karen tersenyum dan mengangguk tanda mengerti. Dhira pun pergi ke mushola yang ada di dalam rumahnya.

Sudah lima belas menit berlalu. Karen merasa bosan menunggu sendiri, ia pun berjalan ke luar kamar, melihat-lihat rumah Dhira hingga sampai di mushola tempat mereka sembahyang. Ia melihat Dhira mencium tangan kedua orang tuanya dengan penuh hormat dan rasa sayang. Mereka berdzikir bersama dipimpin oleh ayah mereka. Karen tersenyum melihatnya. Ia melihat kedamaian dan kebahagiaan menyelimuti keluarga sahabatnya.

Ketika ia merasa cukup melihatnya dan hendak kembali ke kamarㅡandai saja ia tidak mendengar lantunan indah yang mengisi ruangan tempat keluarga Dhira beradaㅡia kembali mengintip, ia bisa melihat mereka membaca sebuah, buku? Ah, mungkin itu yang Dhira sebut Al Qur'an. Karen sering melihat Dhira membawanya. Tapi baru kali ini ia mendengarnya. Begitu indah dan damai. Menentramkan hati siapa pun yang mendengarnya. Karen tersenyum mendengar ayat demi ayat yang dilantunkan keluarga Dhira dan tanpa ia sadari air matanya jatuh begitu saja. Ia bingung, ia benar-benar menangis. Ia mengusap air yang mengalir pelan di pipinya lalu memutuskan kembali ke kamar Dhira.

Usai sholat Isya, Dhira menghampiri Karen yang berada di kamarnya. "Karen. Maaf ya kamu jadi nunggu lama," ucap Dhira.

"Iya. Nggak papa kok Ra, tenang aja!" ucap Karen mengedipkan sebelah matanya.

"Umi dan Abi nyuruh kita ke bawah untuk makan malam. Kamu juga belum makan, kan? Yuk!"

"Nggak usah Ra ... aku nggak lapㅡ" Ucapan Karen terhenti karena suara yang berasal dari perutnya terdengar mengerikan. Dhira terkekeh pelan, sementara Karen hanya nyengir kuda.

Dhira dan Karen pun sampai di meja makan dan disambut hangat oleh orang tua Dhira. Mereka benar-benar orang yang hangatㅡitulah yang Karen pikirkan.

"Nah, Nak Karen, makan yang banyak ya ... tapi jangan sampai kekenyangan, tidak baik," ucap umi Dhira lembut.

"Iya Tante, makasih."

Mereka pun mulai makan, dan terjadi obrolan-obrolan kecil di sana.

"Nah, ini lauknya dimakan juga." Umi Dhira menaruh daging ikanㅡyang sudah dia buang durinyaㅡke dalam piring nasi milik Karen, juga milik Dhira.

Karen tertegun. Berbeda dengan Dhira yang terlihat senang.

"Makasih Mi...," ucap Dhira disambut senyuman hangat dari Uminya.

"Loh? Nak Karen kenapa? Tidak suka makanannya ya?" Kali ini Abi yang berbicara. Ia merasa heran, karena Karen diam saja sambil menundukkan kepala setelah menerima daging ikan dari umi Dhira. Tapi Karen menggelengkan kepala, membantah perkataan Abi.

"Terus kenapa? Nggak enak ya? Atau alergi?" tanya Umi.

"Karen...." Dhira memegang bahu Karen dan mencoba melihat wajahnya. Lalu ia mendengar isakan kecil dari Karen.

"Aatagfirulloh ... Karen, kamu nangis? Kenapa?" tanya Dhira dengan lembut mulai cemas.

Karen mengangkat kepala, mengusap air matanya. "Karen nggak papa kok Ra, Om, Tante."ㅡKaren tersenyum menatap keluarga Dhiraㅡ"Karen cuma ngerasa iri melihat keluarga ini, kalian terlihat sangat akrab dan hangat. Tidak seperti keluarga Karen. Karen bahkan tidak pernah makan bersama seperti ini...." Semuanya terdiam mendengar penuturan Karen.

Karen yang menyadari situasi menjadi canggung pun cepat-cepat minta maaf.

"Tidak papa, kamu boleh kok sering main ke sini, ikut makan seperti ini lagi, iya kan Bi?" ucap Umi menyenggol suaminya dan langsung diberi persetujuan. Karen tersenyum bahagia dan mengucapkan terima kasih. Dhira menatap sahabatnya dan tersenyum senang. Lalu melanjutkan makan dengan tenang.

Kini Dhira dan Karen telah bersiap untuk tidur. Mereka membaringkan tubuh mereka di ranjang dan menutup sebagian tubuh mereka dengan selimut.

"Ra...," Karen memulai percakapan. "Makasih ya ... untuk hari ini."

Dhira tersenyum mengiyakan. "Aku juga makasih ya, Ren...."

"Untuk apa?" tanya Karen bingung. Ia merasa tak melakukan apa-apa untuk sahabatnya ini.

"Karena kamu mau jadi temen aku," tukas Dhira sambil tersenyum.

"Ya elah kirain apaan," decak Karen.

"Ren ... aku akan pergi minggu depan."

"Pergi? Ke mana? Kenapa kamu nggak ngajak aku? Ah, kamu curang."

"Aku akan pindah ke Bandung."

Penjelasan Dhira membuat Karen terdiam. Sepertinya dia baru mengerti sekarang.

"Apa? Kenapa? Kenapa tiba-tiba sekali? Lalu aku bagaimana?" tanya Karen cemas memiringkan badannya agar menghadap Dhira.

"Maafkan aku Ren ... aku juga tak menginginkannya. Tapi apa boleh buat, aku tidak bisa menolak permintaan orang tuaku," ucap Dhira sedih. Terlihat bahwa Karen pun merasa sedih. Ia harus kehilangan sahabatnya.

Lalu ia memeluk Dhira dari samping. "Aku pasti akan merindukanmu, Ra ... jangan lupain aku yah?"

Dhira tersenyum lembut. "Mana mungkin aku melupakan gadis cerewet sepertimu Ren. Gak ada duanya deh kamu."

Karen mencebik. "Kamu tuh muji atau ngehina sih sebenernya?" Lalu mereka pun tertawa.

"Ra...."

"Hm?"

"Boleh aku nanya?"

Dhira mengernyit heran. Aneh. Biasanya juga Karen langsung nyerocos tanpa harus minta izin Dhira. "Kenapa?" tanya Dhira.

"Soal Rangga...."

"Aku tak mau membahasnya," pangkas Dhira memiringkan badannyaㅡmemunggungi Karen. Mencoba tak peduli apa pun yang ingin disampaikan sahabatnya tentang pria itu.

"Dia pasti punya alasan Ra, kasihan dia. Kamu nggak lihat betapa dia berusaha minta maaf sama kamu?"

Dhira tak menjawab. Ia memejamkan matanya. Anggap saja dirinya sudah tidur. Ia benar-bensr sedang tidak mau membahas orang itu.

Karen menghela napas. "Ya sudah kalau begitu. Aku harap kalian kembali seperti dulu. Night."

Dhira tak mendengar lagi Karen berbicara, mungkin dia sudah tidur. Pikirnya. Mau tak mau Dhira jadi kepikiran. Ia menghela napas.

Seperti dulu? Untuk apa? Toh aku akan pergi juga. Tak 'kan mengubah apa pun. Dan tak 'kan ada yang berubah di antara aku dengannya.

***

Tbc

Revised :
25 Desember 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro