2 - Rasa Bersalah
2
Rasa Bersalah
***
Rangga menunggu dengan gelisah. Ia terus berjalan mondar-mandir; beberapa kali mengusap kepalanya gusar. Sore itu, ia mendapat kabar kalau ibunya mengalami kecelakaan, korban tabrak lari. Dan di sinilah ia sekarang, di rumah sakit menunggu ibunya yang tak kunjung siuman.
"Rangga, kamu makan dulu, gih. Biar ayah yang jaga Ibu," ujar ayahnya yang merasa khawatir melihat anak semata wayangnya.
"Aku nggak lapar, Yah," sahut Rangga malas, ia sama sekali tidak napsu makan. Yang ia inginkan hanyalah ibunya siuman. Ia nampak begitu cemas dan ketakutan. Takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada wanita yang paling berharga dalam hidupnya. Baginya, wanita yang kini tengah terbaring tanpa daya di dalam ruangan itu adalah segalanya. Ia tak bisa membayangkan jika ia harus hidup tanpanya.
"Nak Rangga?"
Sebuah suara yang terdengar familiar menginterupsi Rangga, ia pun menoleh. "Mang Hajar?" tanya Rangga memastikan. Dan memang benar, itu adalah Mang Hajar, penjaga kebersihan di sekolahnya.
"Sedang apa di sini? Ada keluarga yang sakit?" tanya Mang Hajar.
"Iya Mang, ibu saya," jawab Rangga. "Amang sendiri sedang apa di sini?"
"Oh, ini anak amang juga lagi dirawat. Ibunya kenapa?" tanya Mang Hajar lagi.
"Ibunya kena musibah, Pak." Kali ini ayahnya yang menyahut. Mang Hajar mengangguk-anggukan kepala dan mendo'akan kesembuhan utuk ibunya.
"Oh iya, pantas saja Neng Dhira tadi sendirian. Kasihan dia, sudah malam begini."
Mendengar penuturan Mang Hajar, Rangga tersentak. Dhira? Astaga!
Seolah tersadar, ia segera membuka ponsel dan ternyata ada pesan dari Pak Adi yang memberitahunya untuk menyelesaikan mengecat dinding besok jika mereka belum selesai. Pesan itu dikirim pukul empat sore.
Sial. Kenapa aku bisa melupakannya!?
Rangga pun mencoba menghubungi Dhira, namun nomornya tidak aktif. Rangga menggeram frustrasi. Ia yakin gadis itu masih ada di sekolah, mengerjakan semuanya sendirian. Ia tahu betul orang seperti apa gadis itu.
"Ayah, aku pergi dulu sebentar. Aku melupakan sesuatu," pamit Rangga pada ayahnya. Setelah diberi anggukan, ia pun langsung pergi dan melesat dengan motornya.
Sekitar lima belas menit, ia sampai di sekolah. Dugaannya benar, Dhira masih di sana dan hendak pulang. Rangga nampak sangat terkejut karena Dhira telah menyelesaikan semuanya. Dhira melihat Rangga yang terpaku, ia menatapnya tak acuh lalu melewatinya begitu saja.
"Ra!" Rangga memanggilnya, namun Dhira tak menggubris. Ia nampak kelelahan. Bagaimana tidak? Dia mengerjakan semuanya sendirian dan itu bukanlah pekerjaan yang ringan.
"Aku minta maaf," ucap Rangga tulus. Ia nampak merasa bersalah.
Seharusnya, sejak awal aku tidak melakukan ini. Rangga membatin.
Dhira berhenti, namun enggan berbalik. Rangga beralih ke hadapannya takut-takut. Apalagi ketika mendapati tatapan sinis dari teman sekelasnya itu.
"Ra, aku benar-benar minta maaf. Tadi akuㅡ"
"Minggir," tukas Dhira pelan dan tegas. Menatap Rangga tajam.
Rangga tekesiap. Ini pertama kalinya ia melihat Dhira seperti saat iniㅡterlihat begitu membencinya. Rangga tak membantah, ia pun memberikan jalan pada Dhira. Namun saat melewatinya, Dhira oleng dan hampir jatuh pingsan jika saja Rangga tak menahan tubuhnya.
"Ra, kamu baik-baik aja, kan?" tanya Rangga cemas. Dutataonya wajah Dhira yang tampak pucat.
Dhira berusaha bangun dan menepis tangan Rangga. "Jangan sentuh aku," ucapnya dengan tatapan sinis dan terlihat jijik. "Pergi!" usirnya tegas.
Rangga terdiam. Ia tidak mengerti, tapi melihatnya seperti ini, hatinya terasa tak nyaman, ada rasa aneh di dada. Seolah ada yang memelintir hatinya, sakit.
Sebegitu bencinya kah kau padaku, Ra?
Melihat Rangga yang masih terdiam, Dhira pun memutuskan untuk segera pulang, berjalan meninggalkan Rangga yang termangu. Jarak ke rumahnya tidak terlalu jauh, ia terbiasa berjalan kaki saat pulang. Hanya melewati beberapa gang. Tapi saat malam hari, gang itu akan ramai, banyak pria yang mabuk-mabukan.
Rangga mengikuti Dhira dengan motornya. Menjalankannya sepelan mungkin. Lalu ia melihat para pria pemabuk itu hendak menghampiri Dhira, ia pun melajukan motor agar sejajar dengan Dhira hingga pria-pria itu pun tidak jadi mengganggunyaㅡkarena melihat Rangga.
"Naiklah, aku akan mengantarmu pulang sebagai permintaan maafku. Di sini berbahaya," ucap Rangga ketika berhasil menyejajarkan motornya.
"Jangan ikuti aku. Aku bisa jalan sendiri," tolak Dhira ketus. Padahal raut ketakutan itu begitu jelas di wajahnya. Dhira kembali berjalan dan Rangga masih mengikutinya. Ia tidak mau terjadi apa-apa pada gadis itu.
"Sudah kubilang jangan ikuti aku! Apa kau tuli?" bentaknya kesal pada Rangga.
"Aku akan mengantarmu sampai rumah," ucap Rangga keukeuh. Ia tidak akan membiarkan gadis itu pulang sendirian.
"Terserah!" tukas Dhira lalu kembali berjalan. Jalannya pelan dan agak sempoyongan, terlihat akan jatuh beberapa kali. Rangga menatapnya cemas, tapi ia tak bisa memaksanya.
Akhirnya mereka sampai di depan rumah Dhira. Setelah Dhira masuk ke halaman rumahnya, tiba-tiba ia ambruk. Rangga begitu terkejut dan berniat menolongnya, namun ia berpikir dua kali saat akan masuk gerbang. Ia akan membuat Dhira dalam masalah jika masuk dan membantunya. Ia pun mengurungkan niat dan menekan bel, berharap ada yang keluarㅡsiapa pun.
Seorang pembantu keluar dan segera memanggil tuan rumahnyaㅡsedikit histerisㅡsaat melihat Dhira tergeletak di tanah. Tidak lama dua orang paruh baya keluar, menghampiri Dhira yang tergeletak di atas tanah. Lalu membawa anak gadis mereka masuk. Kini Rangga bisa bernapas lega karena sudah melihatnya sampai dengan selamat. Walau ialah yang telah membuatnya sampai seperti itu.
"Maafkan aku, Ra...."
Ponsel di saku Rangga berbunyi tanda panggilan masuk, lantas ia mengambil ponselnya. "Ya?" sapanya setah menjawab panggilan tersebut.
Mendapat kabar bahwa ibunya kembali kritis, ia pun segera kembali ke rumah sakit. Secepat yang ia bisa.
Tuhan, selamatkan ibuku. Pintanya sungguh-sungguh dalam hati.
***
Dhira masuk sekolah di hari berikutnya, karena ia harus istirahat untuk memulihkan tenaganya. Di depan sekolah ia berpapasan dengan Rangga, namun ia tak berniat untuk berbicara atau sekadar menyapanyaㅡhanya melewatinya begitu saja. Rangga pun tidak terlalu menggubris. Tidak seperti biasanyaㅡia akan mengikuti dan mengganggu Dhira, tapi kali ini tidak.
"Dhiraa! Aku seneng banget kamu masuk hari ini. Aku kesepian tahu." Karen langsung menghampiri Dhira begitu Dhira tiba di kelas.
"Gimana keadaan kamu Ra? Udah baikan?" tanya Latifah yang juga menyambut kedatangannya.
Dhira hanya tersenyum mengiyakan. Lantas duduk di bangkunya. Tidak lama, Rangga masuk dan langsung duduk di bangkunya. Semua orang memperhatikannya. Berbisik-bisik entah apa.
"Kasihan si Rangga," gumam Karen dengan tatapan prihatin.
"Emangnya kenapa dia? Bikin ulah lagi?" tebak Dhira ketus.
"Ish, kamu ini Ra!" sergah Karen lalu mulai bercerita, "Dua hari yang lalu, ibunya kecelakaan. Dan kemarin baru saja meninggal. Pasti dia sangat sedih. Dia juga baru masuk sepertimu, Ra."
Penjelasan Karen membuat Dhira terkejut. "Innalillahi wa inna ilahi raji'un.. Kapan tepatnya?"
"Pas ... sore hari," jawab Karen mengingat-ingat.
Dhira ingat ketika sore itu Rangga pergi begitu saja meninggalkannya, mengharuskan ia mengerjakan semuanya sendirian. Dan ia sudah berburuk sangka pada Rangga. Padahal Rangga menyempatkan menemuinya malam itu, tapi Dhira bahkan tak mendengar penjelasannya. Rasa bersalah menyeruak begitu saja di dadanya. Ia menatap Rangga prihatin, kehilangan seseorang yang berharga, pasti adalah hal sulit.
Saat jam istirahat, Dhira berniat untuk meminta maaf padanya. Karena ia pikir, ia sudah keterlaluan. Dhira mencari Rangga dan menemukannya di ruang latihan sedang memainkan gitar listriknya sendirian. Ia lantas membuka pintu, namun tidak masuk. Rangga yang menyadari kehadiran Dhira pun menaruh gitarnya sejenak.
"Ada perlu apa? Mau memakiku lagi?" Rangga bertanya sinis. Ia mengira Dhira tidak mengetahui soal ibunya dan hendak memakinya seperti kemarin.
Dhira menarik napas sejenak. "Aku ingin meminta maaf. Aku juga turut berduka cita atas apa yang menimpa ibumu. Aku tidak tahu kalauㅡ"
"Sudahlah jangan bahas itu lagi." Rangga memotong ucapannya.
"Aku tahu aku keterlaluan. Maka dari itu aku minta maaf," ucap Dhira lagi sungguh-sungguh.
Rangga beranjak lalu menghampiri Dhira. "Aku tahu. Kalau begitu kita impas," ucapnya dingin lalu pergi meninggalkan Dhira.
Dhira menatap Rangga yang berjalan menjauhi dirinya. Ia merasa ada yang berbeda dari Ranggaㅡentah apa, namun apa pun itu ia tak ingin ikut campur. Dhira kemudian pergi untuk sholat dhuha, dan entah kenapa Rangga terus menghantui pikirannya.
"Ya Allah, ada apa ini? Apa aku begitu merasa bersalah hingga aku tak bisa menghilangkannya dari pikiranku?"
Rangga melihat Dhira yang sedang khusyuk berdo'a pada Tuhannya lewat jendela mushola. Ia mulai merasa hatinya hampa. Saat ia akan pergi, ia mendengar lantunan indah dari dalam sanaㅡtempat yang biasa Dhira sebut mushola. Rangga kembali melihat ke dalam lewat kaca jendela, ia bisa melihat Dhira sedang membaca al-qur'an. Suaranya sangat indah dan damai. Rangga bisa merasakan itu, tanpa terasa air matanya jatuh. Rangga bingung, kenapa ia menangis? Padahal ia tak memerintahkan matanya untuk menangis. Ia bahkan tak tahu apa yang sedang dibaca oleh perempuan berjilbab itu.
Kini Rangga berada di atap sekolah, berbaring di atas bangku; menatap langit biru sendirian. Ia memikirkan semua yang terjadi dalam hidupnya. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya. Ya, sebelum ia bertemu Dhira. Perempuan yang menggoyahkan hatinya.
"Tuhan ... Tuhan seperti apa yang ia sembah? Kenapa ia begitu taat pada-Nya? Dhira ... dunia seperti apa yang dijalaninya?"
Rangga tidak masuk sampai jam pelajaran berakhir. Dhira sedikit mengkhawatirkannya namun ia mencoba 'tuk tak peduli. Itu bukanlah urusannya.
Sejak saat itu Rangga menjadi agak pendiam, ia tidak lagi mengganggu Dhira seperti biasanya. Ia jarang masuk dan bolos pelajaran, bahkan ia juga jarang latihan band. Saat jam istirahat, beberapa anak pria masuk menemui Rangga.
"Hey, Ga! Lihat ini! Bulan depan ada festival rock. Pemenangnya dapat 10 juta terus bakal dijadiin artis dibawah naungan RK Entertainment. Join yuk! Kita gak boleh kalah Ga, ini impian lo dari dulu kan?"
Rangga melihat brosur yang dibawa temannya. Ia menatapnya seperti berpikir, entah apa. Sementara Dhira, ia tak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikannya.
"Hayo ... ketahuan! Lagi merhatiin Rangga ya," goda Karen.
"Apaan sih!" sergah Dhira agak gelagapan dan menghindar dari Karen.
Hari ini semua murid kelas 12 - 3 berada di lab komputer. Dhira memiliki ide untuk membantu Rangga. Ia membuka email dan bermaksud mengirimnya pada Rangga. Ia menarik napas sejenak lalu mulai mengetikkan sesuatu di badan email.
"Salam. Ga, aku ingin meminta maaf lagi padamu. Jangan salah paham, aku tidak ada maksud apa-apa mengirim pesan ini padamu. Kau sangat kacau akhir-akhir ini, dan itu menggangguku. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa aku harus melakukan sesuatu. Walau aku tak bisa membantumu, setidaknya aku bisa memberimu sedikit nasihat. Ga, aku tahu ini sulit bagimu. Tapi ini bukan akhir, kau masih punya perjalanan untuk kau tempuh. Kau masih punya mimpi, kan? Aku dengar kau ingin menjadi penyanyi Rock terkenal, yah walau aku merasa itu bukan hal yang bagus. Kau bisa menyumbangkan suaramu untuk hal yang lebih berguna. Kita sudah 18 tahun, artinya kita sudah beranjak dewasa dan itu berarti kita akan lebih sedikit untuk tersenyum. Bukan masalah waktu, tapi keadaanlah yang akan membuat kita dewasa. Kehilangan sesuatu yang berharga bukan berarti kita kehilangan segalanya. Masih ada orang yang peduli padamu. Perjalananmu masih panjang. Kau masih harus menemukan jalanmu. Kau harus tahu, Ga. Ibumu tidak akan bahagia melihatmu seperti ini."
Rangga membaca e-mail yang dikirim Dgira. Ia menoleh, menatap Dhira sejenak lalu kembali melihat pesannya. Ia menatap kalimat terakhir dari Dhira.
Jalanku? batinnya. Lalu ia tercenung. Nampak merenungi setiap kalimat yang ditulis oleh perempuan yang selalu menarik perhatiannya.
Saat semuanya sudah bubar, Rangga menahan Dhira. Dhira segera melepaskan genggaman tangannya. Rangga minta maaf, ia berkata hanya ingin berterima kasih pada Dhira. Sebenarnya, Dhira agak malu setelah mengirim pesan itu. Tapi ia berusaha bersikap normal. Ia berkata kalau itu bukan apa-apa. Itu ia lakukan untuk menebus rasa bersalahnya.
"Kenapa kau repot-repot mengirim e-mail untukku?" tanya Rangga merasa belum puas dengan alasan rasa bersalah dari Dhira.
Dhura menghela napas sejenak. "Karena kau selalu menggangguku, kau terlihat aneh saat tak melakukan apa-apa. Kau seperti orang sakit," ujarnya asal.
Perkataan Dhira membuat Rangga tersenyum. Dhira bingung apa itu lucu baginya?
"Ahh aku tahu, kau pasti merindukanku, kan? Jujur saja kau pasti kesepian karena aku tidak mengganggumu, iya kan?" goda Rangga dengan percaya dirinya.
"Apa?"ㅡDhira terbelalakㅡ"yang benar saja. Bukan itu maksudku ... ah sudahlah, aku harus cepat-cepat ke mushola."
Dhira segera berjalan menjauhi Rangga dengan sedikit tergesa. Ia bergumam kalau Rangga yang tidur sepertinya telah bangun. Ia bertanya-tanya apa ia salah melakukan ini? Sementara Rangga tersenyum menatap tingkah Dhira.
"Mungkin kau benar. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus melanjutkan hidup. Dan perjalananku masih panjang. Aku akan mulai mencari jalan itu Ra ... melewati dirimu," gumam Rangga.
***
Seperti yang Dhira katakan, sepertinya Rangga yang tidur kini telah bangun, ia kembali menjadi Rangga menyebalkan yang selalu mengganggu Dhira dan berbuat onar. Ia juga sering latihan untuk mengikuti festival rock. Dhira tidak mengerti, tapi ia senang melihatnya kembali seperti dulu.
Dhira menonton pertandingan basket dari koridor atas tempat biasa ia berdiri. Ia bisa melihat Rangga bermain dengan sangat baik di lapangan. Setelah mencetak gol, Rangga menatap Dhira dan melempar sebuah senyuman yang sangat manis padanya sambil melambaikan tangan. Senyuman yang mampu meluluhkan hati wanita. Dhira agak terkejut, dan hal itu membuatnya salah tingkah. Masalahnya, semua orang melihatnya. Bukannya membalas, ia malah membalikkan tubuh. Memainkan jarinya karena gugup. Tiba-tiba seseorang memanggilnya, Dhira mendongak dengan sedikit terkejut. Latifah menatap temannya, menggelengkan kepala seolah ia tahu apa yang tengah Dhira pikirkan.
"Kau tahu itu tidak boleh terjadi. Hapus perasaanmu Ra ... sebelum terlambat," ucap Latifah lalu pergi.
Dhira terdiam. Perasaan? Ia kembali melihat ke arah Rangga.
"Cieee ... yang udah deket lagi sama Rangga, cepet banget marahannya," goda Karen yang tiba-tiba datang.
Dhira tak menggubris celotehan Karen, ia menatap lurus ke depan tanpa mengatakan apa pun.
Usai sholat dzuhur, Dhira terdiam di mushola. Ia memikirkan apa yang dikatakan oleh Latifah tadi pagi.
"Perasaan ..." Dhira memegang dadanya. Lalu ia menertawakan dirinya sendiri. "Jangan bodoh, Ra..."
Ia keluar setelah merasa tenang. Ia begitu terkejut karena Rangga berada di luar, menunggunya. Ini memang bukan pertama kalinya, tapi hari ini Dhira lebih lama di mushola dan ia masih saja menunggunya.
"Aku sudah bilang jangan menungguku lagi. Aku tidak ingin pulang bersamamu," tukas Dhira.
"Tidak apa-apa. Setidaknya aku bisa bersamamu sampai gerbang depan. Dan memastikan kau pulang dengan aman."
Dhira hanya bisa menghela napas panjang. Lalu membiarkannya. Mereka berjalan bersama menuju gerbang sekolah.
"Apa yang kau lakukan di tempat itu begitu lama? Apa kau tidak bosan?" Rangga mulai bertanya.
"Tidak. Itu adalah rumah Tuhanku. Aku tidak pernah bosan mengadu pada-Nya."
"Rumah? Mengadu? Tuhanmu punya rumah? Apa kau berbicara dengan-Nya?"
Dhira kembali menghela napas panjang dan berkata kalau Rangga tidak akan mengerti. Rangga menggerutu kalau Dhira selalu berkata seperti itu dan ia meminta Dhira untuk menjelaskannya agar ia bisa mengerti. Dhira pun menatap Rangga.
"Keyakinan kita berbeda, itulah mengapa aku selalu mengatakan kalau kau tidak akan mengerti. Kalau kau ingin aku menjelaskannya, aku bisa saja. Tapi aku tidak yakin apakah penjelasanku nantinya akan berguna untukmu. Aku rasa tidak. Kecuali kau tertarik pada agamaku," papar Dhira lalu pergi mendahului Rangga yang mematung.
***
Tbc
See you in next part! ^_^
keep reading and voting yaa! jangan lupa komentarnyaa! ;)
Revised:
22 November, 2017
Subang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro