1. [Rin]
Yoshio mengerjap saat terasa guncangan membuat tubuhnya agak kehilangan keseimbangan. Perempuan itu dengan malas membuka matanya, menatap jengkel pada Iwaizumi yang berdiri menghalangi pintu mobil. Samar cahaya mentari menyelinap dari belakang tubuh pria itu.
“Apa?” tanya Yoshio jengkel, merapatkan diri ke jok mobil dengan menekankan punggungnya kuat-kuat ke sudut.
Iwaizumi mengembuskan napas. “Ayo turun, kita sudah sampai.” Pria itu melepaskan sabuk pengaman yang melilit Yoshio, lalu menarik bahu si perempuan agar keluar dari mobil sewaan yang rombongan mereka tumpangi dari Kyoto hingga tempat ini.
Hasukawa Yuu muncul dari sisi lain mobil setelah membanting pintu bagasi menutup, di tangannya dua kopor Yoshio terapit. “Bagus, kau berhasil membujuknya keluar,” puji Hasukawa saat melihat Yoshio menguap di kungkungan lengan Iwaizumi.
“Oh, ayolah,” gerutu Yoshio dengan mata setengah terpejam, “bukannya kita berangkat terlalu awal? Yang lainnya bahkan mungkin masih ngorok di ranjangnya. Mungkin Mafu-nii masih berenang-renang di alam mimpinya.” Bibir perempuan itu maju beberapa senti, jengkel setengah mati, sementara ia tersaruk-saruk mengikuti langkah Iwaizumi menyeberangi pekarangan berumput rumah utama Dazai.
Hasukawa menggesekkan kedua telapak tangannya satu sama lain. Tersenyum licik ia melangkah lebih dulu daripada Iwaizumi dan Yoshio. “Ini ‘kan arisan keluarga,” ia berujar jahil, menaiki undakan teras lalu tersenyum menggoda selepas memposisikan diri untuk mengetuk pintu, “harus ada banyak masakan. Dan Tuan Hasukawa yang tampan inilah masternya.”
Bunyi kayu merambat cukup teredam setelah Hasukawa memukulkan pelan ujung buku tangannya.
Pintu terbuka tak lama kemudian oleh sesosok pemuda yang lebih tinggi daripada Yoshio walau tidak setinggi Hasukawa.
Iwaizumi tersenyum sopan. Menutupi perasaan bingung bahwa sosok di ambang pintu itu, kakak—entah lelaki entah perempuan—kedua Yoshio yang nampak segar. Tumben, pikirnya.
“Kalian ...,” Mafu menggumam, matanya masih setengah terpejam. Hasukawa memberikan sapaaan semanis permen apel yang pernah membuat Iwaizumi pening karena Yoshio merengek sepanjang malam di akhir perayaan Hana Matsuri tahun lalu. Seketika mata Mafu yang hanya kelihatan segaris membeliak. Menatap tak percaya kehadiran rombongan Yoshio di hadapannya.
“MAMAQ E, IMOU UDAH PULANG!”
***
Iwaizumi tak pernah merasa betah di antara orang-orang dengan nama belakang “Dazai”. Bukannya ia tak suka dengan mereka, hanya saja penyandang nama itu memiliki kebiasaan unik yang kadang berubah setiap kali ia berkunjung. Jika dihitung-hitung, sebenarnya, baru dua kali ini Iwaizumi berkunjung ke rumah utama Dazai. Kunjungan terakhirnya setelah dua minggu pernikahannya dengan Yoshio meninggalkan kesan nggonduk di diri Iwaizumi. Itu karena ia dibuli habis-habisan oleh ibu-ibu kompleks yang kebetulan mengenal Oikawa Tooru.
Kembali ke keunikan keluarga Dazai. Iwaizumi sering dibuat memijit pelipis sepagian ini. Mulai dari temu kangen menghebohkan antar anak dan ibunya yang dipertontonkan Dazai Filly dan Yoshio Rinnosuke di pintu depan, sumpah membuat Iwaizumi malu setengah mati.
“Hei, Nak.”
Iwaizumi menoleh sekenanya. Bernapas lega saat mendapati sang Tuan Besar kediaman ini. Tentu saja ayah Yoshio: Dazai Osamu. Pria berambut cokelat brunette itu nyengir konyol. Kurang lebih cengiran yang sama milik Yoshio. Dibalas canggung oleh Iwaizumi yang secara refleks menegakkan posisi duduknya.
“Anggap saja rumah sendiri,” lanjut Dazai. Tali jubah cokelat berbahan sutera, yang entah mengapa terlihat bertekstur seperti handuk bagi Iwaizumi, berayun saat pria itu melompat duduk menyilangkan kaki ke sofa single depan Iwaizumi, “kau bebas di sini.”
Tersenyum canggung, Iwaizumi mengangguk. “Tentu.”
“Oh ya,” Dazai meraih vas bunga di meja yang membatasi dirinya dengan menantunya itu, sedikit mencondongkan tubuh ke depan pria itu tersenyum menggoda, “bagaimana kabar putriku? Kalian memperlakukannya dengan ‘baik’, ‘kan?”
Uft ... pertanyaan seperti kunjungan pertama itu. Pertanyaan sederhana. Tapi bukan ‘itu’ maksudnya. Ini menjurus ke hal ... ‘lain’.
Iwaizumi mati kutu. Ia serasa diinterogasi di hadapan senyum konyol milik pria usia awal tiga-puluhan tahun itu. Tak ada jawaban yang mampu ia ucapkan. Dan tatapan berbinar Dazai malah membuat semuanya makin buruk.
“Osamu! Jangan membuat dia gugup begitu!” nyonya rumah, Filly, muncul dengan panci penggorengan di tangan. Siap menggetok suaminya jika saja pria bertubuh jangkung itu mulai bertingkah yang aneh-aneh.
Dazai mencebikkan bibir. “Aku ‘kan memastikan anak-anakku hidup bahagia,” ia beralibi kemudian menyandar lesu ke sandaran sofa.
Filly inginnya meraup bibir yang mengerucut lunglai itu. Namun tentu saja ia jaga imej di hadapan menantunya.
“Kenapa nggak di dapur?” tanya Dazai polos, meraba bawah meja untuk mencari buku kesayangannya: tutorial bunuh diri lengkap yang kemarin disembunyikan Filly.
Tentu saja karena pria perban itu selalu saja menghabiskan waktu dengan mempraktekkan trik-trik konyol di buku daripada menikmati wajah cantik Filly yang masih awet muda. Eak.
“Hasukawa yang urus makanan,” sahut Filly lalu beranjak duduk ke penyangga lengan sofa yang diduduki Dazai.
(Iwaizumi yang sejenak terabaikan mengernyit, walau merasa menjadi obat nyamuk, ia merasakan aura romantis di antara pasangan di hadapannya ini. Cinta tak lekang oleh waktu, pikirnya.)
“Siapa?” tanya Dazai sembari memposisikan diri agar matanya mampu menyorot langsung ke manik indah istrinya. “... Juru masak?”
Filly mengangguk cepat. “Itu lho ... suaminya Rin,” jelasnya.
Sejenak Dazai lupa anaknya yang satu itu punya suami sejumlah Pandawa. Ia datang ke pernikahan perdananya saja, saat perempuan mungil yang ia adopsi dari sobatnya semasa Era Kegelapan itu menikahi seorang pebasket muda berkulit gelap yang lain daripada kulit orang Jepang kebanyakan. Aomine Daiki, itu namanya. Selebihnya, ... Dazai hanya mendapat kabar dari telepon dan chat yang dikirimkan Yoshio pada Filly.
“Oh,” sahut Dazai, “dia toh ... Aku bingung kenapa Rin nggak setia sama satu suaminya ‘aja,” gumamnya lalu menyandar ke Filly, “kayak kamu ke aku. Setia,” kata terakhir diucapkan setengah berbisik, menambah kesan dramatis.
Iwaizumi perlahan bangkit. Merasa perlu menyingkir dan memberikan ruang bagi pasangan itu memadu kasih. Samar obrolan manis mereka masih terdengar bahkan setelah Iwaizumi membelok ke lorong.
Ia merasa useless dan jones di rumah besar ini.
Yoshio diseret Mafu entah ke mana. Sementara Hasukawa, jelas saja, mulai mengacau di dapur kediaman Dazai ini, tentunya dibantu beberapa pelayan rumah.
Iwaizumi sendiri.
Ketika melewati taman tengah, Iwaizumi bisa melihat Yoshio-nya tengah belajar merajut pada ibu dari ibunya: Kuroo Yuiki. Perempuan muda itu nampak mengeluh betapa sulitnya merajut sembari berteriak-teriak jengkel. Setengah menyentakkan benda di pegangannya yang tak Iwaizumi ketahui namanya.
‘Tunggu,’ pikir Iwaizumi seraya menahan langkah, ‘sejak kapan Yuiki-san ada di sini? Itu artinya Kuroo juga ada di sini.’
Berbekal keyakinan itu membuat Iwaizumi bergegas menyusuri lorong. Mencoba mencari keberadaan pemain voli veteran dari klub Nekoma berambut hitam acak-acakan itu.
“Hei, Rin,” panggil Yuiki menatap Yoshio yang menyandar lesu ke kursi taman. “Sepertinya aku melihat suamimu barusan,” lanjut Yuiki setelah mendapat respons dari yang bersangkutan.
Tanpa menegakkan tubuhnya, Yoshio menyahut: “Yang mana?” dengan nada suara santainya.
(Jangan tanya ke mana Mafu pergi karena keduanya tak tahu. Mungkin memeriksa pesanan kue yang akan dijadikan hidangan dalam perayaan sore nanti, atau hanya sekadar menghabiskan stok bensin di mobil Dazai yang belakangan mulai keluar dari garasi.)
“Yang pendek, berambut hitam,” gumam Yuiki, hanya ingin memancing teriakan Yoshio sekali lagi.
Yoshio menegakkan tubuhnya, meletakkan peralatan rajut di tangannya lalu kembali menyandar ke kursi. “Iwa-chan?” tanyanya memastikan.
“Memangnya yang mana lagi,” sindir Yuiki sweatdrop. “Ayo bereskan peralatannya,” titah wanita itu, “sebentar lagi kakakmu akan datang. Yang lainnya juga,” ia bangkit lebih dulu, gesit memasukkan benang dan segala macamnya ke tas tangan cukup besar yang sejak tadi tergeletak di kaki meja. “Mungkin sebaiknya kauperiksa Hasukawa, nanti dia malah membuat hidangan arisan jadi hidangan restoran bintang lima,” perintahnya setengah bercanda.
Hasukawa sedang mencuci tangan saat Yoshio menerobos masuk ke dapur dengan langkah riang yang ringan. Pria itu memberikan senyuman manisnya. Seluruh camilan yang ia buat telah tersusun di meja, tentunya dalam wadah yang imut dan elegan. Rapi dan tertata, ala Hasukawa sekali.
“Kerja bagus dengan barang sisa di lemari pendingin,” komentar Yoshio lalu menarik kursi dan duduk di depan meja tempat Hasukawa memajang hasil karyanya.
Hasukawa tersenyum sembari mendengus geli. “Ya, di sini semuanya lengkap.” Ia melepas celemek dan duduk di seberang Yoshio. “Kita harus sering-sering ke mari,” guraunya.
Yoshio terkekeh. “Ya,” sahutnya pendek.
Keduanya terdiam dalam kenyamanan masing-masing. Keheningan yang nyaman menghangatkan ruangan berbau rempah itu. “Ke mana si Iwak?” tanya Hasukawa akhirnya, menopang dagu ke punggung tangannya. Mata cokelatnya memandang uap yang menjalar-jalar dari kue di dalam stoples.
Hanya angkatan bahu ringan yang Hasukawa dapat sebagai jawaban. “Mungkin cari Kuroo-san,” sahut Yoshio, “aku juga tak tahu.”
Lagi-lagi keduanya hening.
Pandangan Hasukawa berkeliaran di antara stoples-stoples. Memeriksa sekali lagi hasil racikan tangannya yang tersusun rapi di dalam stoples kaca tersebut. Ia bangkit berdiri. Tangannya yang panjang meraih salah satu stoples, mengambil biskuit kering yang agak kacau bentuknya dibandingkan yang lain. Ia tersenyum saat Yoshio melemparkan pandangan tanya padanya.
“Ayo?” ajaknya sembari mendekatkan biskuit itu ke bibirnya, sebuah isyarat.
Hening.
Rasanya sungguh aneh saat Yoshio hanya menatapnya dengan alis naik sebelah. Seolah ‘tolong-jangan-bertingkah-konyol’ tertulis jelas di wajah manis yang mengernyit itu.
Syukurlah, bel pintu menyelamatkan Hasukawa dari kecanggungan. Dan tanda, bahwa ini adalah awal dari penderitaan para pria.
Bukan perayaan besar, bahkan bisa dibilang hanya agenda yang mungkin saja tidak akan terselenggara tanpa Filly yang berkeliling rumah-rumah, memaksa beberapa kerabatnya hadir dalam acara senja itu. Dean diam-diam tersenyum mengingat keseriusan wanita itu saat ia bersama Haruhi menapaki undakan rumah kediaman Dazai. Begitu memasuki rumah setelah disambut oleh Filly sendiri, ruang tamu dengan sofa-sofa putih tersusun rapi menyambut. Nampak luas karena cat dinding yang berwarna putih bersih, beberapa pigura foto terlihat menempel di dinding. Menunjukkan kebersamaan keluarga Dazai sebelum dua dari empat anak keluarga itu menikah dan tinggal cukup jauh di sini: Riku di Tokyo dan Yoshio di Tohoku.
“Wah, Kak Rin!” sapa Dean secara refleks saat menemukan keberadaan perempuan itu di salah satu sofa. Duduk tenang diapit dua pria yang baru kali ini Dean temui.
Yoshio tersenyum, setengah nyengir. Mempersilakan Dean dan Haruhi untuk duduk ke sofa yang tersedia dengan basa-basi yang mirip dengan yang Filly tunjukkan sebelum pasangan muda itu masuk.
“Siapa?” Hasukawa yang bertanya, berbisik-bisik. Namun suaranya yang memang dasarnya tidak bisa pelan hanya membuat suaranya makin keras saja.
Begitu pula Haruhi di samping Dean, berbisik pelan lelaki periang itu menanyakan hal yang kurang lebih sama: “Siapa yang ada di samping Yoshio-san itu?”
“Teramitsu Dean dan suaminya,” sahut Yoshio tersenyum, ia menjeda ucapannya untuk berpikir, “Teramitsu Haruhi kalau tidak salah, ya?”
Dean mengangguk membenarkan. “Itu suami Kak Rin.”
“Hasukawa dan Iwa-chan,” jawab Yoshio cepat, menunjuk lelaki yang mengapitnya bergantian. Tiga lelaki yang saling diperkenalkan saling berjabat tangan untuk menambah keakraban. Mungkin juga hanya formalitas. Yoshio kemudian beringsut agak maju, “Ke mana Tata?” tanyanya penuh rasa ingin tahu.
Dean menyembunyikan senyum. Mungkin anaknya itu ngelayap entah ke mana di persimpangan depan sana, ia tahu bocah itu tak pernah suka segala acara semacam ini: berkumpul untuk basa-basi dan menggosipkan orang di ujung gang atau sekadar bertemu kangen antar keluarga. Lebih enak main, katanya, menghabiskan waktu bersama kail pancing atau menyantap sebanyak mungkin kudapan dari kedai ujung jalan.
“Mapeng menahannya di depan.” Filly menyahut cepat sebelum Dean membuka mulut. Ia meletakkan piring berisi pai kecil-kecil berbagai rasa ke meja di antara dua pasangan itu, kemudian ikut duduk ke sofa terdekat.
“Bapaq e ke mana?” tanya Yoshio menyadari Filly hanya sendiri. Biasanya, pria berbungkus perban di hampir sebagian tubuhnya itu selalu membuntuti kemana pun Filly pergi. Sungguh ... Yoshio sendiri tak mengerti motif dibalik itu. Apakah Dazai memang terlalu sayang bahkan untuk berpisah dengan sang istri tercinta atau hanya karena ingin mengusili istrinya itu. Tidak ada yang memahami pola pikirnya kecuali dia sendiri.
“Mana tahu,” sahut Filly tak acuh, “setelah mandi dia langsung bergegas pergi. Nggak tahu ke mana,” sekilas kejengkelan tersirat di suara wanita itu. “Oya, Riku belum sampai, ya?” tanya Filly, retoris.
Yoshio tahu itu tak perlu dijawab, namun demikian ia tetap mengangguk seadanya. “Mungkin sudah kasih kabar ke Nii-chan?”
Ketika obrolan mulai mengalir, dari pintu, pasangan Yukino dan Arthur Pendragon muncul. Dengan aura-aura kebahagiaan dan sekantung makanan ringan. “Aku lewat di depan Sakanoshita dan berpikir: ‘ah, lebih baik kubawakan beberapa makanan untuk yang lain,’ dan jadilah kubeli,” Yukino beralibi sembari cipika-cipiki dengan Filly.
“Seharusnya tidak usah repot-repot,” Yoshio bangkit dari duduknya, menjabat tangan Yukino sebagai bentuk penghormatan lalu tersenyum jahil, “tapi kalau sudah terbeli ya sudahlah,” katanya.
Hasukawa mencibir. “Dasar,” siriknya, hampir mengucapkan kata ‘munafik’ yang terhenti karena pelototan Iwaizumi.
Setelah Yukino dan Arthur duduk ke kursinya, Yuiki masuk ke ruang makan. “Tetsurou pergi bersama Osamu, mencari bir,” ujarnya tanpa perlu mendengar pertanyaan Filly.
“Harusnya aku saja yang beli,” rutuk Hasukawa, “bersama Rin-chan, tentu saja~,” tambahnya cepat.
Tawa berderai. Entah yang mana yang lucu.
‘Yeah, dan meninggalkanku sendiri, bagus sekali,’ Iwaizumi mencibir dalam hati. Dengan dongkol menjangkau gelasnya di ujung meja lalu mengadu tepi gelas dengan bibirnya, tidak menyesap isinya: hanya menyembunyikan geretakan giginya.
“Memangnya Hasu bisa pilih minuman?” tanya Yoshio meremehkan, menatap dengan kilatan iseng di matanya ke arah Hasukawa. Dibalas cibiran tak terima lelaki itu yang langsung menyergah dongkol: “Enak saja, begini-begini Tuan Hasukawa yang tampan ini ... Sangat ahli dalam hal memilih.”
Ketika hampir perang terjadi di antara Hasukawa dan Yoshio, pintu sekali lagi menampakkan pasangan yang tinggal persis dua rumah jauhnya dari kediaman Dazai, keluarga Sakamaki dan putera kesekian keluarga itu: Sakamaki Yuki dan Subaru.
Sekali lagi, Hasukawa berbisik-bisik bertanya ketika pasangan itu berbasa-basi pada penghuni ruang keluarga.
Tak lama kemudian, Dazai dan Kuroo kembali. Disambut oleh Yuiki yang langsung menyuruh keduanya bergegas.
“Wah,” Kuroo bertanya dengan nada jahil saat merangsek maju untuk memeluk Yuiki, “apa istriku ini begitu merindukanku sampai memintaku bergegas begini?” godanya.
Dazai menepukkan kedua tangannya. “Hora, hora, jangan bermesraan di depan cucu-cucu kalian, malu. Ingat umur.”
Mafu dan Yoshio kompak menyoraki, sementara Filly mendaratkan toyoran penuh cinta pada kepala brunette Dazai.
Tamu makin banyak datang seiring senja bertambah pekat. Mungkin saja sudah hampir petang ketika akhirnya seluruh tamu undangan duduk manis di areal ruang tamu kediaman utama Dazai. Dari mulai pasangan dengan rumah yang hanya berbataskan dinding pagar, berselisih dua bangunan dari kediaman utama, hingga ke pasangan yang tinggal di seberang samudera sekalipun.
Iwaizumi mengasumsikan kebosanan menjalar ke bagian tubuhnya, bahkan ia bisa merasakan kedua kakinya mulai kebas akan basa-basi dan hiruk pikuk di ruangan tersebut. Pantatnya yang agak panas karena kebanyakan duduk membuatnya menyingkir ke kursi jauh di sudut. Menopang dagu sembari menatap para wanita yang bergosip soal apa saja yang dapat dibicarakan. Atau Hasukawa dan Kuroo yang mengajari anak Dazai, yang masih dipertanyakan gendernya, tentang trik jitu menaklukkan wanita.
Sekali lagi, Iwaizumi merasa sendirian. Gelas di tangannya digoyangkan pelan, membuat teh di sana sedikit bergelombang. Ia melirik saat mendengar Filly mengumumkan akan memulai arisannya. Nyaris menyembur jengkel saat sudah tiga puluh menit keramaian basa-basi itu terjadi dan arisannya baru akan ‘dimulai’.
“Baiklah, terserah.” Hanya itu yang Iwaizumi pikirkan ketika akhirnya mendengar kehebohan karena tuan rumah ada acara berikutnya mulai diundi dengan kocokan.
Filly yang mengacaknya, kemudian dengan hati-hati mengeluarkan satu gulungan kertas dari beberapa. “Baiklah, mari lihat,” ujarnya setengah bersenandung. Beberapa merapat ke meja. Ingin tahu hasilnya. Dengan lembut Filly membuka lipatan kertas, tersenyum misterius lalu membacakan keras-keras isinya.
“Arisan selanjutnya adalah jatah milik ...,” ia sengaja menjeda untuk memberi efek dramatisasi yang gagal, terbukti dari Dazai yang menyorak jengkel dari sofa depan televisi meminta Filly agar cepat saja membacakannya. Dibalas cibiran sewot Filly, “Diam kau, Osamu! Biarkan wanita menyelesaikan masalahnya!” Lalu ia kembali pada kertas di tangannya, “nah ... Yang mendapat jatah berikutnya adalah ...,”
“Aku berharap bukan di rumah Kak Yoshio,” pinta Haruhi setengah bergurau.
Subaru, yang menjadi sandaran duduk Yuki, mencibir. “Halah, bilang ‘aja kau nggak modal buat nyari kendaraan ke sana,” ejeknya lalu menyeringai menyebalkan.
Dibalas jengkel oleh Haruhi yang seketika bdmd. Lelaki muda itu akhirnya memilih meratapi gacha ampas yang didapatnya dari game di ponsel Dean.
“Kayak situ modal aja,” cibir Yuki.
“Ho’oh, sih,” nyinyir Hasukawa lalu buru-buru menghindar saat Subaru melemparkan kulit kacang ke arahnya.
“Tenang, anak-anak, atau nanti Emaq sunatin satu per satu,” ancam Filly.
Masato angkat bicara, “Semuanya, Maq? Hasukawa saja. Dia yang cari masalah,” ia menawar selayaknya bernegosiasi dengan penjual mangga muda di Pasar Minggu yang bermulut besa lagi cerewet, kemudian melanjutkan, “yang lain cuma diam.”
“Hasukawa sabar, kok,” sahut Hasukawa sok tegar. Iwaizumi mencibir dari sudut.
“Sudah, sudah,” lerai Filly lagi, “Haruhi, kamu tenang saja karena tidak perlu modal banyak-banyak. Hanya tinggal modal ruang tamu bersih dan makanan seadanya saja,” ujarnya memberi kode.
“He?” pasangan HaruDean menyahut kompak.
“Yang dapat arisan itu kalian,” Iwaizumi menerjemahkan kalimat Filly dengan malas, menyesap teh dari gelasnya hingga tetes terakhir lalu bangkit, “selamat,” ujarnya sembari melangkah ke kamar yang akan ia tempati bersama Yoshio selama di sini.
“Benar sekali~,” Filly menimpali, “selamat, ya, kalian! Persiapkan dengan sebaiknya, yaq.”
“Uhu! Siap!” sahut Haruhi semangat, “semua harus datang, ya!”
“Udah ... Kelar arisannya,” komentar Subaru. Ia menatap Yuki yang masih bersandar padanya. “Pulang yuk?” ajaknya.
Mafu dan Tata menyorak bersamaan.
“Enak saja mau langsung pulang. Kita ngobrol-ngobrol dulu sebentar.”
Dan Yoshio tahu, saat kalimat itu dikatakan, obrolan senja itu baru akan berakhir tengah malam nanti, atau bahkan lebih. Maka ia meraih gelasnya, mengambil beberapa potong kue kukus lalu melangkah mengikuti jejak Iwaizumi barusan.
*The End.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro