Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

81. Ancaman

Jamuan makan malam ini permintaan Agnes. Andai saudarinya yang cerewet tersebut tidak merengek terus-menerus, Drew lebih memilih keluar bersama Alby.

"Cuman karena aku mengundang Mami dan Papi, kamu ogah hadir dan bertemu sama Jian, gitu?"

Hobi merengek, cerewet, dan berlebihan. Memang khas Agnes. Dia pun mengiakan, tetapi diam-diam berencana akan hadir di pengujung acara. Namun, Agnes kembali memberikan ultimatum.

"Awas aja kamu datangnya telat, Drew. Aku enggak ngasih kamu kesempatan buat ngobrol sama Jian selama beberapa bulan."

Drew pun datang 30 menit lebih awal. Mulanya menemani Adrian mengobrol beberapa saat lalu mengambil Jian dan mengajak balita menggemaskan itu bermain. Lalu, Will datang bersama Sabrina. Istri abangnya itu sempat berbasa-basi, mencium Jian dengan semangat, lalu pamit untuk menemui Agnes di dapur.

"Aku jengkel sekali harus memenuhi undangan Agnes."

Will menerima kedatangan Jian di pangkuannya lalu memberikan komentar, "Bersikap baiklah pada Mami. Dengan merebut hatinya, kamu bisa mendapatkan lagi Eisha."

"Ayolah, kita mengenal tabiat Mami. Aku belum pernah mendapatinya berubah pikiran." Drew sepenuhnya menyentuhkan pantat di lantai kayu mengilat Agnes. Diselonjorkan kakinya seraya terus dipandangi Jian. "Lagi pula, kenapa Mami dan Papi mendadak memiliki waktu menghadiri ulang tahun cucunya?"

"Itu permulaan yang bagus, kan?"

"Menurutku hal yang buruk." Drew menyergah cepat. Lalu, dia menoleh ke belakang. "Kamu terpaksa serumah dengan perempuan yang Mami pilihkan. Sampai sekarang kalian bahkan belum saling mencintai, tapi kamu terus-menerus membela Mami."

Will menudingkan telunjuknya. Raut wajah persegi itu berubah jengkel. "Berhenti sok tahu." Dia bungkam ketika mendengar jeritan Jian yang ternyata kesal pada mainan di tangannya. Will memperhatikan ponakannya dan mengeluarkan kekehan singkat. Pada adiknya yang berwajah muram tersebut, dia melontarkan kalimat, "Terus-menerus menggerutu enggak akan menyelesaikan masalah. Ubah taktikmu saat menghadapi Mami."

"Well, kamu menjadi anak baik penurut bertahun-tahun, tapi enggak bahagia sama sekali."

Karena jarak yang dekat, begitu mudah bagi Will menjulurkan tangan demi menoyor kecil kepala adiknya. "Siapa bilang aku benar-benar enggak menginginkan Sabrina, hm?" Will memutar bola mata ketika mendapati ekspresi terkejut Drew. "Mami memang terlalu banyak menuntut dan mengatur. Sayangnya, itu enggak lagi berlaku setelah aku mengabulkan keinginannya."

"Sialan," Drew mengumpat lalu mengerling pada Jian yang kini memeluk erat Will. Abangnya itu memberikan pelolotan karena ucapannya. "Entahlah. Bagiku sulit sekali untuk pura-pura baik di hadapan Mami."

Setengah jam berikutnya, hidangan sudah tertata rapi di meja. Agnes menepuk kedua tangan dengan cengiran lebar. Masakannya lezat. Lalu, seluruh keluarga berkumpul di apartemen ini. Drew yang melihat ekspresi tersebut hanya mengedikkan bahu. Kini, dia duduk di samping Adrian. Jian duduk anteng di pangkuan Papi.

Meski terkesan pendiam, Sabrina mampu bergabung dalam obrolan yang Agnes mulai. Awalnya, kakaknya itu membahas mengenai usaha Sabrina, lalu Mami menyeletuk dan memberikan pendapat. Kemudian, Sabrina menggiring mereka pada topik yang Mami sukai; fashion dan modelling. Agnes lebih banyak melemparkan pertanyaan karena dia tidak terlalu paham. Beda dengan Sabrina yang sepertinya begitu nyambung dengan Mami.

"Minggu depan, Jessica akan kembali ke Bandung, Drew. Sesekali luangkanlah waktu bertemu dengannya." Mami lantas menatap Drew yang sama sekali tidak memperhatikan. "Perempuan itu mungkin akan senang setelah mendengar pertunangannya dengan Rissa batal."

Papi yang sejak tadi hanya berfokus pada Jian, serta-merta menyahut, "Siapa Jessica?"

"Orang tuanya bekerja di pemerintahan. Sebagian besar keluarganya memiliki perusahaan batu barang dan tambang di Kalimantan. Sayangnya, Drew tidak menaruh minat pada perempuan yang tak lama lagi mendapatkan gelar doktornya."

"Oh, wow!" Papi memandang Drew. "Aku selalu kagum pada perempuan yang mementingkan pendidikan."

Agnes menggerutu, "Papi lagi menyindirku, kan?"

"Sweatheart, aku mencintaimu tanpa syarat," pendek Papi yang berhasil memamerkan senyum lebar Agnes.

"Jadi, Mami masih mengharapkan Jessica?" Drew berkata dengan nadar.

Suasana mendadak hening usai pertanyaannya itu. Jessica. Dia mungkin bisa mempertimbangkannya. Namun, sulit memulai lagi sebuah hubungan ketika hatinya masih mengharapkan Eisha.

"Kamu enggak tertarik dengannya?" Mami bertanya. Alis rapi itu menukik. Bahunya naik sejenak lalu kembali menancapkan udang di garpu. "Aku punya beberapa pilihan, sejauh ini, Jessica yang paling unggul menurutku."

Drew mendapatkan tatapan penasaran dari Agnes maupun Will. Dia tidak ingin merusak acara Jian. Ditambah lagi, Agnes pasti akan sedih jika usahanya gagal. "Awalnya, aku memang tertarik."

Meski makan malam berakhir, Agnes melarang semua tamu untuk lekas pulang. Papi langsung menanggapi bahwa memang masih ingin menemani Jian yang kian cantik dan menggemaskan. Adrian juga menjadi teman mengobrol yang jauh lebih baik daripada kedua anaknya.

Keramaian yang mendadak ini hanya membuat Drew kewalahan. Agnes terlalu bersemangat dan berusaha sementara Mami bersikap seperti biasanya; dingin dan berjarak. Dia pun memiliki ke balkon. Tiba-tiba, dia ingin pulang saja ke tempatnya.

"Sepertinya kamu menghindar dariku, Drew."

Terdengar derap langkah kecil di belakang Drew. Suara itu enggan membuatnya bereaksi. Dia tetap memancangkan pandangan ke segala arah asalkan tidak menoleh pada pemilik suara tersebut. "Aku terpaksa agar tak merusak pesta Jian."

"Drew, kamu akan melupakan perempuan itu dalam sekejap. Hubunganmu yang bertahun-tahun membuktikan salah satu di antara kalian bisa lebih mudah berpaling pada orang lain."

Untuk sejenak, Drew menoleh demi melontarkan pertanyaan yang mengganggunya sejak dulu. "Apa alasan Mami menerima Papi? Bukan karena jatuh cinta dengannya, kan?"

Mami berdengkus. Dia tidak langsung menjawab dan membiarkan hening menjadi penengan di antara mereka. Lalu, Mami berujar, "Beberapa waktu lalu, Will menanyakan hal yang sama padaku. Aku harus mengakui jika keberadaan Papi akan menguatkan posisi Mami. Berkatnya, aku bisa mendapatkan segala impian. Untuk semua perlakuannya selama ini, mana mungkin aku tidak bisa mencintainya?"

"Karena Mami sepertinya tidak mementingkan cinta dalam sebuah hubungan."

"Aku bersikap realistis, Drew." Mami menyilangkan tangan di dada. "Dulu, aku mencintai lelaki yang sama sekali tidak bisa kuharapkan."

"Bukan berarti cinta enggak bisa membawa kebahagiaan bagi pasangan lain." Drew menggerutu. Dia menahan rasa jengkelnya. "Selama ini, Mami hanya mementingkan karier. Aku, Will, Agnes, mencoba mengerti bahwa kalian terlampau sibuk untuk memberikan perhatian yang semestinya kami dapatkan. Lalu, Mami tiba-tiba berlagak menjadi seorang Ibu yang seenaknya memilih pasangan bagi kami."

"Aku hanya ingin kalian sepertiku. Mendapatkan segalanya."

Drew tertawa sumbang. Tidak mudah melakukan percakapan dua arah pada Mami yang semaunya sendiri. Dia hendak membukan mulut, ketika suara Mami mendahuluinya.

"Jangan berpikir jika kamu menderita, Drew. Bukan aku yang lebih dulu menciptakan jarak di antara kita."

"Tapi, Mami yang mendorongku melakukannya." Drew menoleh. Amarahnya berusaha ditekan. Lalu, dia melengos untuk membuang desah kesalnya. "Aku bisa menjauhi Eisha, tapi sekali pun, jangan lagi ikut campur segala hal dalam hidupku."

"Sekarang, kamu mengancamku, Drew?"

Drew mengedikkan bahu. "Atau aku akan benar-benar tidak lagi menganggap Mami sebagai ibuku."

***

Pinrang, 24 November 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro