Berita baik ternyata tidak membuat Sha girang lebih lama. Malam ketika Drew di Bandung, dia terus menunggu keputusan seraya terus menatap layar ponsel. Dia memberitahu pada lelaki yang saat ini berada di kampung, jika tak perlu mengabarinya apa pun saat Ayah tetap pada pendiriannya. Namun, dia tetap berharap begitu besar.
Paginya, Drew langsung menelepon dan memberitahu mengenai kabar bahagia tersebut. Sha tak sadar meneteskan air mata, tetapi merahasiakannya dari Drew. Sesuai janji, mereka sebaiknya tak bertemu dulu. Drew masih harus menghadapi Mami sementara Sha berjuang agar tak lagi mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan di kantor.
Celaka, kabar mengenai pertunangan Drew yang batal begitu saja meluas dan menjadi pembicaraan di kantor. Tak disebutkan alasan Drew dan Rissa putus, tetapi diduga kuat karena kehadiran pihak ketiga. Sha kembali menjadi topik hangat di kantor. Dan, kejadian beberapa waktu lalu itu terulang lagi; orang-orang berbisik-bisik dibarengi tatapan mencemooh sewaktu Sha lewat di koridor kantor.
Mbak Indri bahkan menanyainya apakah sanggup bekerja berada dalam tekanan seperti sekarang ini. Tidak ingin dianggap lemah dan tak profesional, Sha meyakinkan atasannya tersebut. Namun, dia hanya bertahan dua hari semenjak berita itu menjadi topik yang kerap dibahas tiap waktu.
Sha mengalami demam. Mungkin, dia masih sanggup ke kantor. Suhu tubuhnya tak begitu tinggi. Akan tetapi, sakit hati dan stress yang menyebabkannya ambruk dan terus-menerus berada di kamar. Ponselnya sengaja tak diaktifkan. Chat Gio dan Puspa saling menyusul menanyai kondisinya. Dua temannya itu bahkan ingin berkunjung, tetapi Sha berkeras agar mereka tak perlu datang menjenguk.
Untuk saat ini, Sha benar-benar ingin butuh ketenangan. Sesuatu yang sulit didapatkan. Pertama kalinya, dia ingin pulang. Setidaknya, Ibu akan memeluk dan menenangkan Sha. Sayang, dia tak mungkin melepon Ibu secara tiba-tiba jika tidak ingin membuat beliau cemas. Ya, ibunya langsung tahu begitu Sha sakit hanya dari suaranya.
Ini hari ketiga Sha masih di apartemen. Tak disangka-sangka, Mbak Indri mengirimkan sebuah chat agar Sha boleh beristirahat hingga benar-benar pulih. Dia mengucapkan terima kasih dan kembali mematikan ponsel. Lagi, dia hanya membaca chat dari Gio maupun Puspa. Harusnya, dia mengizinkan dua temannya itu berkunjung. Hanya dua orang itu yang Sha miliki ketika orang-orang memusuhi. Kendalanya, Sha tak bisa memperlihatkan dirinya yang terpuruk.
Ketika akan beranjak menuju kamar, Sha menghentikan langkahnya karena suara bel. Dia berbalik dan kembali ke sofa mungilnya. Dia menunggu agar tamu di luar segera pergi. Sesuai dugaannya, sepuluh menit kemudian, bel tidak lagi berbunyi. Untuk memastikan, Sha menunggu dan setelah yakin, dia pun beranjak menuju kamar.
Sha menatap langit-langit kamar yang penuh dengan tempelan bintang dan benda langit lainnya. Dua minggu lalu, Puspa membelinya agar bisa menenangkan Sha di malam hari. Kadang-kadang, itu cukup membantu. Sedikit, tetapi Sha cukup senang karena perbuatan manis Puspa.
Begitu sore, Sha turun dari ranjang. Tidurnya lebih nyenyak hari ini terbukti dari kepala yang tak mendenyutkan rasa nyeri seperti hari kemarin. Meski begitu, tubuhnya masih hangat. Dia duduk di tepi ranjang seraya menyalakan ponsel.
Tatapan Sha membulat sewaktu mendapatkan telepon tak terjawab dan chat dari Drew yang beruntun.
Drew: Sha, Indri bilang kamu udah enggak ke kantor beberapa hari ini. Izinkan aku berkunjung, ya?
Drew: Aku di luar. Tolong buka pintunya.
Drew: Kenapa, sih, kamu enggak mau menyalakan ponsel?
Drew: Aku mengerti kamu butuh ketenangan, tapi aku khawatir.
Drew: Puspa bilang, belakangan ini kamu sering matiin ponselmu. Aku berusaha enggak khawatir, tapi tolong, begitu kamu menyalakan ponsel dan membaca pesanku ini, kamu harus membalasnya.
Drew: Eisha, aku di lobi.
Drew: Omong-omong, aku enggak akan pulang sampai memastikan kamu baik-baik saja. Maksudnya, kamu enggak kesakitan di dalam, kan?
Drew: Aku masih di bawah. Kenapa ponselmu belum aktif?
Drew: Jangan membuatku cemas hingga memaksa pihak apartemen untuk menggeledah kamarmu.
Drew: Eisha, aku cinta kamu.
Masih ada chat yang belum Sha baca. Alih-alih menghabiskan isi chat tersebut, Sha menghapus air mata dan langsung menelepon. Dia tidak berharap banyak Drew masih menunggu di bawah. Tak jadi soal jika saat ini, lelaki yang menjadi begitu manis karena serbuan chat-nya, sudah berada di jalan atau pun di apartemen. Sha hanya ingin mengabarkan keadaanya baik-baik saja. Terus terang, hanya membaca chat dari pacarnya, dia merasa baikan. Apakah Drew sudah menjadi pacarnya lagi? Di detik pertama sambungan telepon terhubung, suara berat lelaki menghambur ke telinganya. "Eisha."
"Hei. Aku ketiduran," Sha terpaksa berbohong. Dia tidak memiliki jawaban lain yang lebih masuk akal. Dia hanya tidak ingin mengumbar kesedihannya. "Aku udah baikan, kok." Sesungguhnya, dia ingin menanyakan keberadaan lelaki di seberang ini. Rasa penasaran itu terpaksa ditekan kuat-kuat. Drew pasti sudah cukup menderita menunggu kabar dari Sha.
"Kamu pasti lapar banget."
Tahu-tahu, Sha tertawa kecil. Dia memang lapar. Baru disadarnya jika perut melilit yang membangunkannya tadi. "Aku punya makanan yang siap dihangatkan."
"Aku pesankan makanan aja."
"Enggak. Pokoknya enggak usah."
"Pokoknya, kamu harus mendengarku sekarang ini, Eisha."
"Drew," Sha melepaskan suara lirih. Meski lapar, Sha tetap berada di sisi ranjangnya. Percakapan ini membangkitkan sedikit energinya. "Besok aja, ya. Bisa-bisa, makanan yang udah aku bikin mubazir lagi."
"Memangnya kamu masak apa?" Drew bertanya dan melanjutkan hingga menjengitkan Sha. "Aku bisa membantumu menghabiskannya, begitu pun dengan menu yang aku pesankan sekarang ini."
Perlu beberapa waktu bagi Sha untuk memahami ucapan Drew. "Sebelum kamu datang, aku udah kelar makan, Drew. Lagian... Drew, kamu di mana, sih?"
"Tepat di depan pintu unitmu."
Setelah mengatakan hal tersebut, sambungan telepon itu terputus. Sha hanya bergeming seraya terlongong-longong. Apa katanya? Drew ada di depan? Yang benar saja! Sha bahkan belum mengubah posisi ketika bel kembali berdenting.
Denting bel itu tidak akan berhenti sampai Sha bergerak untuk membukakan pintu. Perlahan, dia bangkit dan mendekati pintu. Tangannya menjulur seraya mengembuskan napas pelan-pelan. Dia sudah mencuci mencuci muka. Rambutnya sudah dirapikan. Dan, tidak aroma tak menyenangkan yang muncul di tubuhnya.
Begitu pintu mementang dan Sha hendak bersuara, lelaki tegap di depannya langsung mendekat dan memeluknya begitu erat. Detik itu juga, dia memejam dan menjatuhkan kening di bahu keras Drew. Inilah yang begitu dibutuhkannya berhari-hari ini. Pelukan erat Drew yang begitu menenangkan.
"Aku menunggu seperti orang bodoh. Ketakutan ketika kamu enggak–"
"Drew." Sha masih memejam ketika menyebut dengan pelan nama itu. "Aku udah tahu."
"Hei, kamu sedang menyiksa kita berdua!"
"Ya, aku tahu."
Pelukan Drew malah semakin erat. Namun, Sha menyukainya. "Jangan membuatku seperti ini lagi."
Sha membuka mata. Senyumnya muncul. "Katanya, kamu memesan makanan buatku."
Dengan lembut, Drew melepas rangkulan mereka. Dia meneliti wajah pucat Sha. Dua tangannya lalu merangkum dan mendapatkan pipi hangat. "Kelar makan, kita ke dokter. Pokoknya, jangan membantah."
Sha patuh begitu mudahnya. "Jadi, di mana makanannya?"
Keduanya lalu duduk di sofa usai mereka makan. Sha tidak protes ketika lelaki berorama segar mint ini mendekat dan merangkul. "Ayah kok bisa luluh gitu aja sama kamu, Drew?" sejak kemarin dia ingin menanyakan ini. Sha sengaja menahannya agar tak terlibat obrolan yang begitu lama dengan Drew dulu.
"Mungkin karena menurutnya, aku lebih potensial menjadi suami ketimbang rekanmu itu?"
Sha memperhatikan raut wajah Drew ketika mengucapkan kata suami, kata sacral yang bisa jadi akan membuatnya ketakutan. Namun, tanda-tanda itu tidak ditemukan di sana. "Aku serius nanya juga."
"Enggak usah dipikiran, Sha." Drew lantas mengecup kening perempuan itu yang lantas memelotot. Dia mengabaikannya dengan melakukan penawaran lain. "Yuk ke dokter."
"Kamu baru aja putus trus ngajakin aku ke dokter. Bisa-bisa, kita digosipin macam-macam lagi. Ini aku juga beneran udah mendingan, kok." Sha mengatakannya dengan malu-malu, "Aku baikan gini karena kamu, tahu."
Detik itu juga, senyum Drew memudar. Kepalanya menempel di rambut Sha. "Lain kali, Eisha, telepon aku kalau ada apa-apa."
"Ayah udah berhasil kamu yakinkan. Tinggal mamimu." Sha menyentuh dan memainkan kancing kemeja Drew. "Jangan buru-buru bicara sama beliau."
Dua tangan Drew lantas merangkum wajah Sha yang kini berubah serius. Tatapannya lekat pada bola mata hitam yang kehilangan binarnya. "Mami akan menjadi rintangan yang sulit. Karena itu, aku enggak boleh mengulur waktu lagi. Secepatnya, Mami bakal menghubungiku lagi agar kami bicara."
"Tapi Drew..." Sha menjatuhkan pandangan pada tangannya yang terus memegang kanci kemeja Drew. Dia gugup dan tak bisa menjauh dari lelaki ini.
"Eisha, rasa khawatirmu nular ke aku, lho." Drew menekan kalimat itu dan akhirnya menyingkirkan jemari Sha dari kemeja. "Omong-omong, aku enggak bisa fokus kalau kamu begini. Kamu masih enggak mau dicium, kan?"
"Ya ampun, Drew!" serunya, tetapi Drew hanya terbahak.
***
Pinrang, 19 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro