
69. Keyakinan Hati
Semestinya, Drew tidak mengambil keputusan dalam keadaan emosi. Semestinya, dia menenangkan diri terlebih dahulu. Di kantor, segala hal dipertimbangkannya dengan matang-matang. Namun, dia tidak melakukan hal yang sama pada hatinya.
Begitu acara pertunangan itu berlangsung dan menerima doa-doa panjang menyenangkan, Drew baru menyadari ketololannya. Dengan ini, hubungannya dengan Eisha benar-benar berakhir.
"Aku bingung." Drew berujar pendek ketika menempatkan dirinya di sofa. Karena keheningan yang membuatnya sesak, dia akhirnya bertandang ke tempat Rekza. Lelaki yang hanya mengomentari keputusannya beberapa hari lalu untuk menerima melangsungkan pertunangan dengan Rissa, hanya menggeming. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Rekza menyemburkan napas. "Sekarang kamu baru menyesal, Drew?"
"Ini juga salahmu," tuding Drew. Dia melemparkan raut kesal pada lelaki yang memegang gelas minumannya. "Hal pertama yang harus kamu lakukan beberapa hari lalu, memaksa agar aku enggak melakukan kesalahan besar. Bukannya menentang pertunangan itu, kamu hanya diam."
"Kamu lelaki dewasa yang sanggup mengambil keputusan sendiri." Rekza mengernyit ketika memandang ketidaksetujuan dari wajah temannya. Namun, dia mengabaikannya. "Kukira, semua ini udah kamu pikirkan matang-matang."
"Za, aku cintanya sama Eisha."
"Oh, ya?" Rekza sengaja memasang wajah terkejut. Kelakuannya ini pasti memancing kejengkelan lebih mendalam dari Drew. "Apa-apaan kamu ini. Mengaku cinta Eisha, tapi mengumumkan kepada publik jika sedang menjalin hubungan serius dengan perempuan lain."
Drew menunduk seraya menangkup wajah. Siapa pun takkan percaya pada pengakuannya jika tak lagi mencintai Rissa. Bukan perempuan itu yang mendekam di hati dan pikirannya. "Eisha menyuruhku pergi waktu itu."
"Dia bisa menyuruhmu pergi karena enggak tahan dengan perlakukan orang-orang." Baru kali ini, dia mendapati temannya begitu dangkal dalam bertindak. Dia bisa saja menudingkan lagi kesalahan temannya yang tampak menderita ini, tetapi dia menahan diri. Walaupun kesal setengah mati, dia mengerti posisi Drew sekarang pastilah tidak menyenangkan. "Eisha mungkin saja bisa lega karena orang-orang perlahan berhenti membicarakannya saat kamu memilih Rissa. Tapi, penyesalanmu ini bisa saja melukai Rissa."
"Kenyataannya, Sha pasti masih sakit hati." Secara mendadak, Shaselfa muncul dengan wajah berbalut sheetmask. Tangannya terlipat di dada. Pelototan mata yang masih terlihat indah itu menusuk Drew. "Di Bali aja, kamu pengin balikan banget sama Sha. Apa pun bakal kamu lakuin biar bareng lagi. Eh, sekalinya Sha minta putus lagi, bukannya kamu bujukin, malah merajuk trus tahu-tahu pengin nikah aja sama cewek lain."
"Shaselfa," Rekza mendekati istrinya demi menghentikan rentetan omelan yang kemungkinan masih akan berlanjut.
"Bukan berarti aku mendukung Sha sepenuhnya, ya. Drew pengin nikah sama cewek mana pun di dunia ini, aku enggak peduli. Tapi, sikapnya itu, lho, plin-plan banget! Kamu udah tunangan, malah ngaku-ngaku masih cinta sama Sha. Apaan, sih? Trus, kamu enggak mikirin perasaan Rissa, gitu?"
"Sayang..." Rekza senantiasa membujuk dengan merangkul Shaselfa. Omelan perempuan dalam dekapannya ini memang benar. Hanya, sikap itu tidak akan memberikan jalan keluar.
"Za, aku pengin nyadarin dia kalau enggak bisa seegois itu. Dikiranya cuman dia yang menderita, gitu? Kalau Sha minta putus ya wajar, dong. Udahlah pacarannya sembunyi-sembunyi, malah difitnah sekantor pula." Sha lantas mengarahkan pandangan ke Drew. Telunjuknya kuat-kuat menuding Drew, tak peduli rautnya sangat memelas. "Kamu boleh kecewa sama sikap Sha. Dikit-dikit minta putus, siapa yang enggak stres? Cuman, kamu, kan, yang lebih dewasa, Drew. Mestinya ngalah dan bersikap dewasa, dong."
Posisi Drew kini terpojok. Dia tidak akan mengajukan keberatan atau pun pembelaan. Semua yang istri sahabatnya katakan dalam omelan ketus, benar-benar membuka matanya. Terdorong rasa kesal, dia memang mengabulkan permintaan Eisha. Lalu, Mami mengejutkannya dengan usulan pertunangan. Demi menghindar dari rasa sakit, Drew menerima. Begitu dia dan Rissa resmi memiliki status yang baru, penyesalan itu pun datang.
Will atau Agnes memang melayangkan kecurigaan. Drew pernah mengaku tidak akan kembali pada Rissa. Tiba-tiba, dia berubah pikiran secra drastis. Baginya, penyesalan itu tak sanggup diutarakan pada dua saudaranya. Dia hanya memiliki Drew, seseorang yang tak akan pernah menyalahkannya.
Sejak hari pertunangannya, sikap Shaselfa memang agak berubah. Tahulah Drew jika perubahan itu karena sikapnya yang plin-plan. Dari tadi, perempuan yang belum menyapanya, tak melibatkan diri. Mungkin, Shaselfa mendengar pengakuannya dan memutuskan bergabung dalam percakapan ini.
Drew mengedikkan bahu. Matanya masih memaku perempuan yang sudah melengos sejak tadi. Dia berkata, "Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Semuanya jelas, kan? Kamu udah tunangan sama Rissa. Kamu enggak bisa membatalkannya begitu aja."
"Aku enggak cinta lagi sama Rissa, Selfa," putusnya. Dia berharap Shaselfa memberikannya pencerahan. Tak peduli, sepanjang waktu dia berkata ketus. "Kamu sanggup hidup dengan seseorang yang enggak kamu cintai?"
Perempuan itu pun bergerak ke sofa. Sheet mask di wajahnya kini dilepas. "Mungkin bisa." Shaselfa melihat Drew melongo tak percaya. Dia melirik Rekza sudah menempatkan diri di sampingnya. "Waktu aku putus sama Rekza, aku udah memikirkan rencana lain. Kalau Rekza masih keukeuh enggak mau balikan, aku bakal give up dan minta Papa nyari cowok gantiin Rekza."
"Kamu serius?" Rekza mendadak menoleh. Wajahnya berubah pucat.
"Serius, dong. Aku, kan, enggak mungkin terus meyakinkanmu, Za. Aku mencoba realistis, mungkin kita enggak jodoh."
Orang-orang mengenali Rekza sebagai lelaki yang jarang menunjukkan kemesraaannya di depan umum. Sentuhan fisiknya hanya berupa genggaman maupun rangkulan biasa. Namun, dia tak peduli pada kehadiran Drew. Segera, didekap dan dikecup kepala istrinya berulang kali. "Untunglah, aku berhasil melihat ketulusanmu. Maaf, ya, Sayang."
Wajah Shaselfa berubah cerah. Dia melengak dan segera memberikan satu kecupan berisik. Drew yang senantiasa melihat kemesraan tiba-tiba itu mendadak mual. "Hei, kalian. Aku masih di sini."
Rekza terpaksa melepas tautan bibirnya. Pada Drew, dia memberikan raut minta maaf, yang bagi Drew, tidak menyesal sedikit pun. "Aku ingat waktu itu kamu mengataiku bodoh karena melepaskan Shaselfa."
"Ya, seorang perempuan cantik menunjukkan rasa cintanya yang besar. Sebagai temanmu, aku berusaha agar kamu enggak menyesal di kemudian hari. Aku turut andil atas kebahagian yang kalian dapatkan sekarang. Nah, masalahku jauh lebih rumit. Hanya aku yang berusaha ingin mempertahankan hubungan ini. Aku sadar, perasaanku berbalas, tapi sepertinya Eisha enggak mencintaiku cukup besar. Itu yang membuatku menyerah."
"Ujung-ujungnya kamu tetap pengin balikan sama dia," sahut Shaselfa. Dia menunggu jawaban Drew. Saat respons yang ditunggunya tidak ada, dia kembali melanjutkan. "Coba kamu ngasih waktu dirimu buat mikir dulu, Drew. Apa Sha pantas untuk kamu perjuangkan? Gimana pun, saat ingin mengejar Sha lagi, kamu pasti menyakiti Rissa."
Giliran Rekza yang mengangguk, "Aku setuju dengan apa yang Sha bilang. Mengejar Sha berarti kamu juga harus berhadapan dengan Tante Liani. Tantangannya besar sekali, Drew."
"Dulu, kamu juga harus menghadapi seluruh keluarga besarmu." Drew mengingat lagi perjuangan Rekza untuk meyakinkan keluarganya agar menerima Shaselfa.
"Karena aku yakin Shaselfa benar-benar perempuan yang aku inginkan."
Shaselfa melayangkan pertanyaan. "Kamu yakin?"
Tanpa ragu, Drew mengangguk dan menggumamkan jawabannya. "Aku yakin."
***
Pinrang, 12 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro