68. Kesadaran
"Um, Sha, kamu baik-baik aja, kan?"
Setelah hening canggung cukup lama, Puspa kembali memulai pembicaraan dengan pertanyaan yang jujur sulit untuk Sha jawab. Kedatangan perempuan di seberang sofa ini, mengejutkannya. Sejak membuka pintu dan menemukan Puspa dengan cengiran kikuk, dia langsung bertanya-tanya alasan kedatangan perempuan tersebut. Namun, dia tetap menyilakan tamunya masuk.
"Aku... penginnya ngomong kalau baik-baik aja." Bukan berarti Sha mengharapkan belas kasihan ketika menambahkan, "Tapi, kenyataannya, semua masalah datang bertumpuk-tumpuk hingga aku kewalahan."
Puspa sulit menyembunyikan tatapan prihatin. "Tadi itu pertanyaan bodoh. Aku udah tahu kamu pasti merasa sesak. Aku bingung memulai pembicaraan ini dari mana."
"Upa, aku agak kaget karena kamu malah datang." Interaksi mereka terakhir kali yakni dua minggu lalu, ketika perempuan yang saling mengaitkan tangannya di pangkuan, mengirimkan chat berupa pertanyaan apakah Sha benar-benar pacaran dengan Drew. Sha menjawab keesokan harinya lalu setelahnya, tak ada lagi jawaban. Dia mencoba memaklumi jika Puspa sedang menjauh darinya.
"Dari semalam, aku udah memikirkannya, semestinya aku udah menemuimu dari beberapa waktu lalu." Puspa mengulas senyum yang terlihat suram. Kepalanya menunduk. Lalu, beberapa saat setelah mengumpulkan keberanian, dia pun melanjutkan ucapan, "Maaf karena aku baru bisa ke sini."
Ungkapan yang menyentil hati Sha. Semenjak Anne menjauh, dia merasa kesepian karena orang-orang kompak menghindar serta melayangkan cibiran di sana-sini. Sha tidak memiliki kelapangan hati untuk membiarkan orang lain menjatuhkannya. Namun, dia sendirian. Tak ada teman yang menyemangati hingga pembelaannya tak berarti apa-apa.
"Makasih karena kamu datang." Sha mengatakannya tanpa sanggup menyembunyikan getar haru dalam nadanya. "Ini berarti banget bagiku."
"Kamu... kamu butuh pelukan?"
"Enggak!" Sha menjawab dengan tegas. "Kalau kamu pindah ke sini dan memelukku, kemungkinan besar aku bakal nangis." Beberapa hari ini, di sela-sela upayanya berkonsentrasi demi memperbaiki kualitas kerja, Sha tak mampu membendung tangisnya.
"Sha, kamu nangis karena kabar pertunangan Drew, ya?" Puspa berseru dan pindah ke samping Sha. Tangannya hampir menyentuh pundak temannya, tetapi dia menariknya lagi.
Percuma juga berbohong sekarang ini. Begitu lambat, Sha pun menjawab dalam anggukan. "Salah satu alasanku pacaran sembunyi-sembunyi karena aku enggak perlu khawatir saat sewaktu-waktu hubungan kami berakhir. Nyatanya, aku patah hati berat."
Kemudian mereka saling pandang. Tahu-tahu, Sha tersedak karena air matanya kembali luruh. Dia mengeleng ketika bahunya hendak diusap oleh Puspa. "Mungkin, aku enggak akan kayak gini kalau Anne mau memaafkanku, Upa."
"Aku bicara sama Anne tentang apa yang dilakukannya." Puspa mengintip ke arah Sha yang mengangguk paham pada apa yang dimaksudnya. "Kalian enggak boleh kayak gini karena cowok. Kenapa, sih, kalian enggak ngomong baik-baik aja? Sha, kamu udah lama naksir Drew, ya? Sejak kapan?"
"Karena suatu hal, aku dan Drew menjadi dekat." Sha menyentuhkan punggung ke sandaran sofa. Dia memejam, mengingat lagi semua hal menyenangkan di antara mereka hingga membawa pada hubungan ini. Senyumnya kecut saat berkata, "Harusnya, aku menahan perasaan itu."
"Cowok berengsek itu sekarang pasti enggak merasa bersalah sedikit pun." Puspa ikut menyandar di sofa. Tatapannya melembut ketika memandang temannya yang belum merespons apa pun. "Sha, kamu pasti bisa melewati ini."
Sha mengangguk mantap. Masa berkabung ini akan dilaluinya. Namun, dia tidak akan menyalahkan diri karena merasa patah hati. Setelah berpisah, barulah Sha menyadari bahwa lelaki yang memulai hubungan baru lagi dengan mantannya, ternyata memiliki pengaruh besar di hati. Dia merana karena menyadari ketololannya. "Kamu pernah kayak gini, Upa?"
"Pernah, sih. Aku diputusin sepihak. Sakitnya enggak nahan. Cuman, masalahnya jauh lebih besar dariku."
"Ya, awalnya aku marah banget sama Drew. Karenanya, aku difitnah sana-sini." Sha mengedik. "Ternyata aku salah. Ini sama sekali bukan karena Drew, tapi sifat dasar sebagian orang yang senang banget membuat orang lain menderita. Kadang, aku sempat khawatir, kemungkinan aku kena karma karena sering mengabaikan perasaan cowok lain."
"Itu urusan mereka, Sha. Kamu enggak harus memikirkan cowok yang enggak kamu suka, kan?"
"Upa, aku senang banget, lho, kamu datang." Sha menyentuh tangan hangat Puspa. "Patah hati itu enggak nyaman. Kehilangan sahabat juga sama menyakitkannya."
"Apa saat ini kamu bakal benci sama Anne?" Puspa mengatakannya pelan lalu menggigit bibir bawah.
Sha memang tidak mengenal Anne seumur hidupnya. Namun, dia takkan melupakan semua kebaikan perempuan cantik itu sejak mereka saling mengenal. Anne yang mengajarinya banyak hal. Satu kesalahan dari Anne takkan lantas membuat Sha membenci. "Aku sakit hati atas perbuatannya, tapi aku enggak akan pernah membencinya. Maksudnya, aku enggak pengin membenci Anne."
"Kamu udah berapa lama cuman mengurung diri di kamar?"
Pertanyaan itu membuat Sha mengekeh. "Aku mengurung diri di kantor dan di kamar, Upa. Aku bosan banget. Tapi, setelah mendengar pertunangan Drew, kayaknya udah paling bener aku enggak ke mana-mana."
"Yuk, jalan!" Puspa mendadak menegak. "Kita makan sepuasnya." Senyumnya cukup lebar. "Omong-omong, aku nebeng Alby. Kita bisa pelorotin dia."
"Lho, kenapa, sih, harus cowok itu?" Sha memekik jengkel. Untuk saat ini, dia tidak ingin berada di sekitar teman Drew, Rekza maupun Alby. Dia tidak ingin mendengar apa pun yang bisa menyakiti lagi hatinya.
"Soalnya, aku enggak punya pilihan lagi, Sha. Alby yang kososng hari ini. Naura sibuk. Sementara kamu butuh banget udara segar."
Alby menepikan mobil di parkiran restoran Jepang. Pada akhirnya, Sha menerima tawaran Puspa untuk pergi dengan Alby sebagai sopir mereka. Dia berencana akan mengomeli lelaki yang pernah menjalin hubungan bersama Anne itu. Akan tetapi, sikap ramah yang Alby perlihatkan memupus semua rencana Sha. Lelaki yang begitu memesona dengan kaus putih lengan panjangnya memperlakukan Sha begitu wajar. Dia menyapa, mengajukan pertanyaan umum, dan tak menyentil sedikit pun mengenai Drew.
Puspa dan Alby masih mendominasi percakapan di meja. Sesekali, mereka berbicara serius saat membahas pekerjaan. Di luar topik tersebut, Alby lebih banyak bercanda yang bermaksud menggoda Puspa. Dia tak sekalipun menimbrung dalam percakapan tersebut melainkan mengamati keduanya. Dari pengamatannya, temannya tampak kesal karena candaan Alby yang tak henti-henti.
"Habis ini, kita lanjut nonton." Puspa membelokkan topik. Dia memang berencana membuat sopir mereka sibuk hari ini.
"Nonton di Netflix aja!"
"Suasananya beda!" Puspa memelotot. "Sha, kamu pengin nonton di bioskop kan?"
Sha menatap Alby dan mengangguk saja. "Biar aku sama Puspa yang nonton, kamu ke mana aja gitu."
"Ide bagus, tuh, Sha. Eh, aku pengin ke toilet."
Alby melengak dan senyumnya kembali hadir. "Butuh ditemani?"
"Kamu, ya!" Puspa menudingkan telunjut, tetapi tidak melanjutkan ucapannya karena langsung beranjak menuju toilet.
Begitu hanya ada mereka berdua, Sha lantas bertanya, "Kenapa kamu sering banget gangguin Upa?"
"Anaknya lucu gitu kalau marah."
"Hati-hati aja, Al."
Alby lalu mengangguk. Detik berikutnya, dia membahas hal lain yang mengeruhkan wajah Sha. "Aku enggak tahu apa kamu membutuhkan kejujuran ini, Sha." Dia senantiasa memasukkan makanan ke mulut. "Tapi, Drew enggak benar-benar setuju dengan pertunangan itu."
***
Pinrang, 11 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro