Usai lengkingan yang nyaris membuat Sha terjengkal, Anne langsung berbalik dengan tergesa-gesa. Sha tidak membutuhkan waktu lama untuk melompat turun dari sofa dan mengejar Anne. "Anne, jangan pergi dulu. Anne, tunggu!"
Meski bisa mengejar temannya yang amat marah itu, Sha masih memberikan jarak saat keduanya di depan pintu apartemen. Sha melihat dada perempuan yang menggelung rambutnya itu, naik-turun, belum lagi tatapan yang berusaha menghindarinya.
"Aku... aku–"
"Sejak kapan?" Anne akhirnya menoleh. Dua bola mata itu melotot dan suara kerasnya kembali melengking, "Sejak kapan, Sha?"
Begitu akan menjawab, Sha menyadari Drew muncul di belakang Anne. Namun, dia menggeleng, cukup pelan, isyarat agar Drew tidak mendekat dulu. Dia yang akan bicara pada Anne. Beruntung, Drew mengerti dengan isyarat tadi. Pada Anne, Sha memelankan suara. "Dua bulan," lirihnya seraya menunduk. Dia tidak sanggup melihat kekecewaan yang begitu besar pada tatapan sahabatnya ini.
"Dua bulan?" Anne berdecak. "Di antara semua cowok yang mengejarmu, kenapa mesti Drew, Sha? Kupikir, kupikir, Gio cukup baik. Memangnya Gio enggak baik buatmu? Si cowok berengsek itu enggak pantas buatmu! Kamu enggak tahu aja apa yang pernah dia lakukan padaku!"
Sha hendak membuka mulut. Akan tetapi, semua kosakatanya tertelan begitu saja. Raib karena kebingungan untuk menjawab.
"Kurasa ucapannya di kantin yang pernah membuatku malu enggak berarti untukmu, ya?" Anne berbalik dan menemukan Drew berdiri dalam jarak semeter darinya. Telunjuknya teracung pada lelaki tersebut. "Dia nyaris melecehkanku, Eisha!"
Tatkala Sha melengak, wajah Anne memerah karena murka. Kemurkaan yang melesapkan kembali ucapannya.
"Ya, Tuhan! Kamu udah tahu tapi tetap pacaran sama cowok berengsek itu? Teman macam apa, sih, kamu ini? Ah, atau karena dia punya duit yang banyak, ya? Kamu, kan, gitu, gampang silau sama harta."
"Anne!" Drew berseru panjang bersamaan dengan langkahnya yang mendekat. Sha yang mendapati Drew sudah berada tak jauh darinya hanya berdiri lemas. "Bisa-bisanya kamu menyakiti Sha seperti itu."
"Kalian udah tidur bareng?" Anne menudingkan satu tuduhan yang membuat Sha terlongong-longong. Ekspresi tersakiti itu membuatnya muak. "Mustahil kamu belum menerima ajakan Drew, Sha."
"Lebih baik kamu pergi dari sini, Ne." Drew berada di antara Sha dan Anne yang langsung mengambil langkah menjauh.
"Oh, wow! Sekarang kamu udah belagak jadi tuan rumah. Udah ngasih berapa banyak aja buat Sha, hm?"
"Anne!" Sha tidak sanggup lagi mendengar berbagai tuduhan menyakitkan yang sengaja perempuan itu layangkan demi membalas sakit hati. "Kamu enggak bisa seenaknya menuduhku macam-macam karena menyembunyikan hal ini."
Perempuan yang mulai bergerak itu, berdecih seraya mengatakan satu kalimat pendek, kali ini terasa berkali-kali menyakitkan bagi Sha. "Aku enggak mau lagi mengenalmu."
Begitu pintu di depan mereka tertutup oleh kepergian Anne, Sha lantas berbalik. Saat ditarik ke dalam pelukan lelaki di depannya, Sha hanya mampu menangisi keadaan yang tak berpihak ini. Segalanya terjadi begitu tiba-tiba. Dia tak mau kehilangan Anne. Betapa pun segala tuduhan kejam tadi berhasil melukainya, dia masih ingin menghentikan langkah Anne dan mencegahnya agar menarik lagi kalimat tadi. Hanya saja, kedua kakinya terlalu sulit digerakkan.
"Sha, aku minta maaf."
Kalimat Drew tak bisa lagi menghentikan tangisnya yang mendadak pecah. Ada satu hal yang bisa membuat Anne kembali. Satu hal yang mengubah keadaan di antara mereka. Sha dan Drew harus berpisah. Celakanya, dia menjadi sangat egois sekarang ini. Dia menginginkan Anne kembali tanpa harus berpisah dari Drew.
"Aku menyesal." Drew mengusap kepala Sha dan merengkuhnya begitu erat. "Kalau saja aku bisa berpikir jernih waktu itu, Anne enggak akan menjadi penghalang di antara kita."
Tangan Sha memegang erat kaus Drew. Semua kesedihannya ditumpahkan ke sana. Ini pertama kali baginya menjalin hubungan dengan seseorang. Kenapa tantangannya begini sulit? Malam itu, Sha hanya berada di pelukan Drew tanpa mengucapkan apa pun hingga pertemuan mereka harus berakhir.
Di kantor, Sha mengalami migrain berat. Dia tak sanggup menyelesaikan dua halaman revisi tersebut. Saat akan rehat sejenak, Sha menjangkau ponsel karena notifikasi chat. Naura dan Puspa mengirimkan chat dan menanyakan pertanyaan yang sama; benarkan dia pacarana dengan Drew?
Mungkin tinggal menunggu waktu saja, kabar Sha dan Drew akan beredar. Sha tidak tahu apakah perlu mencemaskannya atau tidak. Chat kedua temannya itu tak dibalas. Dia menjauhkan benda tipis tersebut lalu berusaha memejam.
Sha hanya butuh lima belas menit untuk kembali memulai aktivitasnya. Waktu itu akan berguna untuk mengistirahatkan pikirannya dari kejamnya kata-kata Anne semalam. Mungkin, Anne memang benar, dia membalas perasaan Drew karena lelaki itu memiliki segalanya.
Istirahat sejenaknya tidak akan banyak membantu sewaktu Sha menyadari sosok lelaki berkemeja mendekat padanya. Gio. Sha belum mengharapkan kedatangan siapa pun yang mengganggunya. Sha mendesah lalu menegakkan tubuh.
"Drew udah bertemu Ayah sama Ibu, ya?"
Refleks, Sha menoleh dan mendapati wajah murung lelaki jangkung ini. Kenapa Gio bisa tahu? Sha menyipitkan mata. "Ibu menghubungimu?"
"Hubungan kalian enggak direstui. Jadi, kamu tetap akan lanjut pacaran dengan lelaki itu?"
"Ada masalah?"
Gio meletakkan telapak tangan di meja Sha. "Kenapa Drew lebih menarik di matamu, Sha?"
"Aku enggak tau."
"Hanya karena dia lebih tampan?"
Kepala Sha makin nyeri sekarang ini. Dia mengedikkan bahu, lantas menjawab. "Mungkin."
"Orang-orang sering membicarakannya. Kamu bisa menemukan mantannya di divisi mana pun di kantor ini, Eisha."
"Gi, kalau pun aku bakal jadi mantannya, itu sama sekali bukan urusanmu."
"Tapi, aku peduli."
"Yang sebenarnya, kamu mungkin sakit hati."
Lelaki yang berdecak itu tidak langsung merespons. Dia memejam kemudian mulai bersuara, "Aku berusaha menunggu kesiapanmu karena yakin suatu hari nanti, kamu bisa menerima perasaanku. Sayangnya, kamu mendadak berpaling dari lelaki yang sama sekali enggak kamu kenal."
Sha mengerling di sekitarnya. Jam istirahat ruangan nyaris kosong. Tita ada di ruang Turquoise sedang membaca buku. Lalu, seorang lagi di meja paling ujung. "Aku berusaha mengenalnya sekarang ini."
"Kamu yakin hubungan kalian akan bertahan, Sha? Maksudku, kamu sama sekali bukan perempuan yang biasa dipacarinya. Aku peduli sama kamu. Aku... bohong kalau mengaku enggak sakit hati. Tapi, aku jauh lebih tenang kamu pacarana dengan orang lain ketimbang dengan Drew."
"Ini urusanku, Gi. Kalau pun pada akhirnya aku sakit hati, aku bisa mengatasinya."
"Kamu enggak tahu kalau lelaki itu masih dekat dengan mantannya?"
"Gio, kamu mendadak tahu banyak tentang Drew, ya?"
"Aku menyelidikinya. Demi kebaikanmu sendiri."
Sha mendeham dan memperbaiki posisi tubuhnya. Dibanding terus melanjutkan percakapan ini, dia lebih baik melanjutkan pekerjaan. Dia harus fokus. "Aku ingin nanya satu hal ke kamu, Gi." Ditatapnya raut wajah Gio yang menunggu kelanjutan ucapannya. "Kamu yang ngasih tahu Ibu kalau aku pacaran dengan orang lain?"
"Apa?" Gio mengedip karena terkejut dengan pertanyaan tersebut. Gelengannya begitu lemah.
"Kayaknya, kamu sama Ibu sering menelepon. Hanya karena Ibu menyukaimu, bukan berarti kamu bisa mengadu seperti anak kecil."
"Sha, aku berusaha melindungimu." Gio menyugar rambut. Kegusaran menguasai wajah lelaki yang kini menatapnya lekat-lekat. "Ibu semestinya tahu kamu sedang pacaran sama siapa. Coba pikir, kenapa orang tuamu enggak memberikan restu? Karena mereka tahu, Drew bukanlah lelaki yang baik."
"Jadi, siapa yang kira-kita pantas buatku." Sha menatap Gio dengan malas. "Kamu?"
"Sha–"
Telunjuk Sha bergerak ke arah layar komputer. "Udah, ya, Gi. Aku masih perlu menyelesaikan ini." Dia tidak lagi menatap Gio. Semenit kemudian, lelaki itu berbalik. Kepergian yang membuat Sha ingin melempar apa pun, tetapi tak mampu bergerak dari posisinya.
***
Pinrang, 09 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro