65. Patah Hati
Selama ini, Drew berpikir, Mami menjadi momok dalam perkembangan hubungannya dengan Eisha. Dia salah besar. Masih ada lagi, orang tua Eisha. Bohong jika Drew tidak khawatir dan memikirkan ketakutan perempuan yang berkali-kali melarang ke kampungnya. Namun, urusan penting begini tidak semestinya ditunda-tunda.
Eisha tidak berlebihan saat mengatakan perjalanan mencapai rumahnya tidak begitu bagus. Gangguan kecil itu terbayar ketika menyaksikan pemandangan di sekitar. Demi menghilangkan keraguan dan kekhawatiran, Drew selalu memancing obrolan seru.
Wanita berusia pertengahan lima puluh tahunan yang semok menyambut keduanya. Wajah ramah itu menatap Drew begitu intens. Sorot kekaguman terlihat begitu jelas, pun dengan keengganan beliau ketika Drew memperkenalkan diri.
"Jadi, Nak Drew ini pacarnya Eisha, ya?" Bu Batari berpaling pada Eisha dan mengatakan, "Lebih ganteng dari Andri dan Gio."
Lekas, Eisha mengajak Drew masuk. Bangunan sederhana itu ternyata begitu sejuk. Drew senantiasa mengulas senyum ketika Bu Batari tak henti-henti menatap, seolah mencari celah dan mungkin saja akan membandingkannya dengan Gio dan lelaki satunya lagi. Kemudian, wanita yang kulitnya masih kencang itu pamit untuk membuatkan minum.
Pertemuan selanjutnya terasa lebih sulit. Dia tegang, tentu saja. Satu celah saja, bisa membuatnya gagal menggaet lelaki tua tegap yang lebih banyak helai rambutnya menampakkan uban. Tiba-tiba saja, Drew ingat pada Papi.
Drew dan Pak Abbas tengah berada di samping rumah. Usaha hidroponik yang Eisha ceritakan sepertinya membuahkan hasil. Namun, keberadaan mereka di sini belum juga membuat banyak kemajuan. Pak Abbas lebih banyak mengomentari pendek-pendek ucapannya. Lalu, tibalah lelaki tua berperawakan sedang itu menanyakan pekerjaannya. Hati-hati, Drew menjawab.
"Eisha lebih menyukai tinggal di Bandung dan berkarier di sana. Kami terpaksa meluluskan keinginannya meski selalu saja khawatir. Begitu seseorang yang kami kenal, datang dan menanyakan Eisha, kami menyambutnya. Namanya Andri. Lalu, Eisha justru datang bersama lelaki lain. Hanya sekali melihat, saya bisa menebak lelaki baik itu juga menaruh hati pada anak kami. Tentu, kami setuju."
Begitu Pak Abbas menghentikan ucapannya, suasana berubah hening. Drew mencoba menarik kesimpulan dari ucapan yang tadi. Tak mudah untuk menangkap maksud beliau. Dia menyukai sambutan kedua orang tua Eisha yang ramah. Dia dijamu dengan sopan. Tak sedikit pun di antara mereka menunjukkan wajah tak suka.
Drew memandangi tanaman hidroponik di sekitarnya, lalu bersuara, "Saya jatuh cinta sama Eisha, Om."
"Saya menghargai kedatanganmu. Ini tempat yang jauh dan sulit, tapi kamu tidak keberatan demi menemui kami di kampung." Pak Abbas menoleh, sepenuhnya raut khawatir itu begitu jelas. "Eisha memiliki hak penuh menentukan siapa calonnya di masa depan. Tapi, sebagai orang tua, kami punya andil untuk memberi pendapat. Tapi, Nak, kalian terlalu berbeda."
"Berbeda?" Drew melongo. Sungguh, dia ingin langsung menjawab. Hal berbeda yang dimaksud pastilah kesenjangan finansial di antara mereka.
"Kamu pasti tidak mempermasalahkannya." Pak Abbas menyentuh pundak Drew dengan lembut. "Tapi, itu menjadi masalah besar bagi saya dan ibunya."
"Aku masih enggak mengerti kenapa itu menjadi masalah besar."
"Tentu saja kamu tidak akan mengerti." Suara desah dari Pak Abbas terasa memberatkan di telinga Drew. "Eisha akan belajar mati-matian untuk menyesuakan diri, tidak hanya pada kebiasaan-kebiasaanmu, tetapi juga pada segala hal yang ada pada keluarga besarmu. Kamu sudah mengenalkan Eisha pada mereka?"
Drew mengerjap. Digelengkan kepalanya dengan lemah. "Aku berencana melakukannya setelah bertemu Om."
"Kalian saling mencintai, itu terlihat jelas. Hanya saja, cinta saja tidak cukup untuk menyatukan dua keluarga yang berbeda, Drew. Ada beberapa hal yang bisa saja menjadi masalah di kemudian hari. Bagimu, itu tidak akan memberi banyak pengaruh, tapi, Drew, uang dan strata sosial bisa saja menjadi kendala dalam menyatukan dua keluarga. Saya tidak berharap Eisha akan mengalami hal buruk seperti itu."
"Tapi, aku bisa pastikan Eisha akan diterima di tempatku."
Wajah persegi itu hanya menatap, lalu beberapa jenak, memberi komentar, "Ini sungguh berat bagi saya." Lagi, beliau mendesahkan napas putus asa yang berat. "Sebaiknya, kalian hentikan saja. Maaf, tapi saya tidak yakin kamu bisa membuktikan ucapanmu, Drew."
Bukan perkara mudah andai Drew melakukan anjuran dari Pak Abbas. Namun, dia enggan melakukannya. Ini tidak hanya melukai Eisha, tetapi melukainya. Berpisah dari Eisha? Tidak. Itu mimpi buruk yang sebaiknya tidak terjadi.
Eisha tahu bahwa kunjungan hari itu ke kampung tidak membawa hasil memuaskan. Perempuan yang sepanjang hari mengobrolkan apa pun, sepertinya juga terlihat patah hati. Mereka patah hati terlalu dini. Patah hati karena orang tua kekasihnya tak memberikan restu. Patah hati yang memberikan pengaruh pada kondisi mood mereka.
Dalam beberapa hari, tidak ada kabar dari perempuan yang sebelumnya selalu menanyakan kabar meski melalui pesan pendek. Dan, Drew pun juga membiarkan keadaan seperti itu. Sesungguhnya, dia marah pada keadaan yang tidak memberikan kesempatan bagi mereka berdua. Apakah Drew sanggup menghadapi dua orang yang menolak memberikan restunya? Tadinya, dia mengira Mami menjadi momok paling sulit. Nyatanya, dia juga akan menghadapi orang tua kekasihnya.
Seminggu kemudian, ketika rasa rindu memberati kepala dan hatinya, Drew pun mengalah pada nasib. Sepulangnya dari kantor, dia langsung menuju ke tempat Eisha tanpa mengabarkan apa pun. Mungkin saja, perempuan yang tidak memberinya kabar ini, sedang merajuk. Andai mereka bertengkar, dia lebih baik menerima amukan Eisha secara langsung daripada di telepon.
Sepasang mata hitam milik Eisha membulat ketika mementangkan pintu. Dia belum mengucapkan apa pun ketika Drew tiba-tiba merangsuk dan memeluk tubuh di depannya. Di lekuk leher perempuan wangi ini, dia menjatuhkan kepalanya di sana.
"Oh, kamu masih ingat denganku, ya?"
Drew menarik kepalanya demi melihat sosok perempuan yang menyuarakan pertanyaan dingin itu. "Aku minta maaf kabur seperti pengecut, Eisha."
"Aku, sih, lebih senang kamu minta putus ketimbang enggak ada kabar kayak gini, Drew."
"Enggak. Kita enggak putus." Drew menangkup wajah datar Eisha. "Padahal kubilang sedang mengusahakan hubungan kita, tapi aku menjadi lembek begini."
"Drew, ada ucapan Ayah yang bikin kamu sakit hati?"
Tidak ada ucapan dari Pak Abbas yang membuat Drew sakit hati. "Aku hanya sulit menerima hubungan kita enggak direstui."
"Ya udah, kita putus aja."
"Putus, putus. Memang kamu beneran mau putus dari?" Drew bertanya dengan sewot. Lalu, ekspresi dingin di wajah Eisha berubah. Tawanya tersembur hingga menjadikan Drew menatap anaeh. "Ada yang lucu?"
"Kamu merajuk!"
"Siapa yang merajuk?" Drew membeliakkan mata. Beberapa detik setelahnya, dia mengedikkan bahu. "Mungkin, aku memang merajuk."
Keduanya lantas menuju ke sofa. Drew langsung berbaring dengan menjadikan pangkuan perempuan yang saat ini menyalakan televisi, sebagai bantal. Dia melingkarkan tangan di perut Eisha. "Astaga, aku kangen."
"Tapi, aku enggak."
"Eisha." Drew berujar pendek. Kepalanya menoleh dan melihat perempuan yang tengah memasukkan keripik ke mulutnya. "Kita ketemuan sama Mami."
Pernyataan yang mendadak itu, menjadikan Eisha mematung. Dia mengedip kemudian menatap Drew yang menunggu jawaban. "Drew, aku enggak siap. Lagian, kita udah tahu reaksi mamimu bakal gimana."
"Aku enggak mau menyembunyikan ini lebih lama lagi. Selamanya, kamu mungkin enggak akan pernah siap."
"Kamu, ih. Kemarin aja enggak ada kabar karena patah hati ditolak Ayah. Sekarang, mau patah hati kedua kalinya?"
Serta-merta, Drew bangkit dari pangkuan Eisha dan melekatkan tatapannya pada perempuan itu. Eisha menyiratkan tatapan bertanya. "Selama bukan kamu yang mematahkannya, aku enggak akan kabur lagi."
"Drew." Eisha mendadak mengulas senyum sedih. "Maafin Ayah, ya? Aku ingin bilang ini sejak kemarin tapi pasti lebih menyakitkan. Aku memikirkannya berhari-hari sampai takut menghubungimu dan mendengar kamu mengikuti saran Ayah. Sebenarnya, aku juga sakit hati karena enggak ada yang mendukung kita."
Senyum kecil Drew muncul untuk memberikan keyakinan pada Eisha. Mereka akan berusaha untuk mempertahankan hubungan ini. Dia menutup pembicaraan ini dengan satu kecupan kening yang panjang.
"Aku kangen banget, lho, sama kamu." Eisha mundur. Lalu, dia yang lebih dulu menarik Drew untuk satu kecupan di bibir.
"Kamu kasih izin aku buat menginap, enggak?"
"Enggak ada!" Eisha menjawab tegas yang sontak membuat Drew cemberut. "Maksimal, kamu di sini sampai pukul sepuluh."
"Well..." Drew mendekati Eisha dan mengecup leher jenjang perempuan itu seraya berbisik, "Kita ginian aja sampai waktuku habis."
Saat Eisha membalas pelukan Drew begitu erat. Ketika mereka saling menempel satu sama lain. Keduanya harus memisahkan diri ketika terdengar lengkingan di belakang yang menyerukan nama Eisha begitu panjang.
Drew berbalik dan mendapati Anne menatap dengan wajah merah padam. "Kalian... kalian sejak kapan pacaran?"
***
Pinrang, 08 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro