"Kamu putus sama Gio, kan, Sha?"
Aduh! Sha yang tadinya berada dalam posisi rebah sembari memeluk guling mini, benda kesayangan itu selalu diselundupkan ke koper jika bertugas di luar kota, kontan merasa was-was. Kenapa pertanyaan itu muncul begitu saja?
Decak terlontar dari Ibu. Beliau bersuara lagi karena hening dari Sha. "Kita sering sekali mengobrol di telepon, tetapi kamu jarang membahas Gio."
Sha beringsut bangkit. Dia menyandarkan tubuh di kepala ranjang sewaktu Fira, salah satu rekan di Famous, keluar dari kamar mandi. Dia melirik sebentar kemudian duduk di depan meja rias. Seperti biasa, selalu tidak ambil pusing dengan aktivitas menelepon Sha. "Enggak ada hal penting darinya yang perlu dibahas." Sha akhirnya menjuntaikan kaki hingga menyentuh lantai kamar ini. Pada Fira, dia pamit sebentar. Membicarakan Gio lebih baik cukup berdua saja dengan Ibu.
"Lho, kesannya kamu enggak serius pacaran sama dia."
Usai menutup pintu, Sha bergerak menuju koridor hotel yang sepi. Dia merapikan rambut dengan jemari. "Masa keseriusan kami harus dibuktikan dengan ngomongin dia melulu kalau sama Ibu. Lagian, aku sengaja biar Ibu enggak memiliki keterikatan dengannya. Bayangin aja seandainya kami putus, Ibu pasti sedih."
"Eisha!" ibu menghardik di seberang, meneriakkan protes. Sha melirik ponsel karena terheran-heran. Tidak ada yang salah dengan jawabannya. Kemudian, Ibu ternyata masih ingin melanjutkan protesnya. "Kenapa malah mengharapkan yang tidak-tidak? Sekali lihat saja, Ibu sudah tahu Gio sayang sekali sama kamu. Makanya, tiap berdoa, Ibu selalu mengharapkan kamu dan dia sungguh-sungguh berjodoh."
Napas Sha berembus pelan. Dia bersandar di salah satu tembok. "Gio belum kepikiran menikah tahun ini." Sebaliknya, Gio pasti akan mengajaknya menikah jika Sha meminta. Namun, dia terpaksa mengarang kebohongan lagi. "Adiknya masih sekolah dan butuh bantuan finansial dari Gio."
"Dia anak yatim piatu, ya? Aduh, kasihan. Ibu begitu mengharapkan Gio agar segera datang ke rumah meminangmu, Eisha."
Sha melirik kuku jarinya yang tampak bersih dan mengilat. "Buru-buru amat."
"Harus seperti itu kalau kalian ada di luar jangkauan kami. Nikah memang bukan perkara gampang, tapi menikah bisa menghindarkan kalian dari hal-hal yang tidak kami inginkan."
"Aku pernah janji sama Ibu dan Bapak, enggak akan hamil sebelum nikah."
Jawaban dari seberang berupa decakan panjang lalu disusul ceramah Ibu. Sha menjadi tidak suka pada percakapan ini. "Ibu juga pernah muda, Eisha. Hanya karena seumur hidup di kampung, Ibu enggak tahu seperti apa godaan di luar sana? Kamu sendirian, tanpa kehadiran sanak saudara yang akan mengingatkanmu jika salah langkah. Selama kamu terus menyepelekan ini, Ibu akan terus memberikan nasihat, tapi peduli setua apa dirimu sekarang."
Kalimat terakhir dari Ibu membuat Sha merengut. "Aku belum dua puluh tujuh, lho, Bu."
"Umur segitu, Ibu sudah menikah sama ayahmu."
"Nanti aku bilangin ke Gio." Sha tersenyum cerah. "Tapi, aku enggak bisa pastikan dia akan menerima tantangan ini." Dia lantas menanyakan hal lain. "Mungkin aku cari suami kaya raya aja, ya, Bu."
"Jangan!" Ibu menekan kata tersebut. "Ayahmu pasti enggak akan setuju."
Sha berkelakar dan menahan senyum ketika dua orang perempuan muda lewat. "Padahal, aku bisa memanfaatkannya untuk membantu Ayah dan Ibu untuk mengembangkan usaha hidproponik itu."
"Ingat Tante Deana? Dia menikah dengan lelaki kaya raya. Betapa pun lelaki itu mencintainya, rumah tangga mereka tidak bisa bertahan lama karena tidak didukung oleh keluarga suaminya. Seperti Tante Deana, kamu akan diinjak-injak dan disakiti. Menikah semestinya menyatukan dua keluarga, bukan dua orang saling mencintai saja. Sebenarnya, Ibu menelepon karena ingin mengetahui kabar Gio."
"Nah, Ibu jadi kecewa, kan, sekarang?" Sha menguap padahal ini baru pukul sembilan. Seharian ini aktivitasnya benar-benar padat. Antusias peserta talkshow melebihi yang diharapkan. Itu kabar mnyenangkan meski badannya remuk-remuk. "Bu, aku mulai ngantuk. Nanti aku kirimkan salam Ibu pada Gio."
"Jangan lupa semua pesan yang Ibu beritahukan padamu."
Di kamar, Fira sudah begitu pulas dengan kedua tangan terentang. Fira ini teman perjalanan yang irit bicara, tidak ribet, tetapi terlalu banyak mengambil tempat di kasur. Meki begitu, posisinya konsisten hingga pagi, tidak memeluk tiba-tiba saat tidur. Jauh Berbeda dengan Anne atau pun Sandra.
Meski ini hari terakhir melaksanakan talk show di beberapa kota, Mbak Indri menganjurkan agar besok, mereka bebas bersantai atau mengunjungi beberapa tempat. Ada beberapa area wisata di Cianjur yang layak dikunjungi. Sayangnya, keterbatasan waktu menjadi kendala terbesar. Sha memilih dengan cermat daerah mana saja yang perlu menjadi fokusnya. Berkunjung ke air terjun akan menghabiskan banyak waktu, dia pun mencoretnya. Pilihannya tersisa ke Taman Bunga Nusantara, Candi, Tridarma, dan Little Venice Kota Bunga.
Sha terpaksa merelakan keinginannya untuk berkunjung lagi ke Little Venice. Gantinya, dia akan ke candi saja. Itu memungkinkannya bertandang ke taman bunga. Besoknya, dia berpisah dengan beberapa rombongan karena sebagian orang ingin berwisata ke air terjun atau kebun teh. Tidak ada masalah baginya datang ke suatu tempat seorang diri. Sejauh ini, hanya Anne tempat perjalanan yang mengasyikkan baginya.
Bangunan yang ternyata sebuah vihara itu, akhirnya berhasil dicapai oleh Eisha. Dia meneguk botol minuman hingga setengahnya setelah mendapatkan tempat istirahat. Ternyata butuh perjuangan juga untuk memasuki tempat ini. Syukurlah, berbekal informasi yang cukup, dia tak menemukan kesulitan berarti,
Dari informasi yang didapatkannya, tempat ibadah agama Budha ini terpaksa telantar karena sebagian besar masyarakat tidak setuju dengan kehadirannya. Mulanya, Sha mengira sejarah bangunan ini seperti peninggalan candi lainnya di Indonesia.
Ponsel di dalam tas mendering. Sha mengeluarkannya lalu merengut kesal ketika melihat nama si penelepon. Drew. Tiga hari berselang setelah percakapannya dengan lelaki sok ganteng itu, Sha tidak lagi mendapatkan bantahan, baik dari chat maupun telepon. Dia masih ingat hari itu, Drew menelepon dan menyampaikan keberatannya karena kehadiran Gio yang mendadak. Tak mau kalah, Sha pun menyebutkan sebuah fakta ketika mereka berjauhan. Drew tidak membantah. Lelaki itu hanya mengatakan sedang menemani mereka berdua. Sha langsung mematikan ponselnya begitu saja.
"Ya?" Sha akhirnya menjawab juga karena benda pipih kepunyaannya terus saja menyela dengan dering yang cukup mengganggu.
"Ketus banget, Sha." Drew berkomentar, seolah tak merasa bersalah telah mencampakkannya. "Semalam, aku mengirimkan pesan, lho."
Sha tidak tahu. Namun, dia malas untuk mengecek lagi. "Lalu?"
"Kamu masih marah, ya?"
Memang, seperti apa sikap yang sebaiknya ditunjukkan? Dia berlagak menjadi perempuan tegar, yang mengesankan tak membutuhkan lelaki di seberang ini. Waktu itu, dia memang sempat menghubungi Puspa. Dan, tanpa diminta, perempuan itu bisa membeberkan informasi tanpa diminta.
"Aku kesal aja sama Drew. Udah dua kali batalin janji karena cewek?"
"Hah?" Sha yang saat itu makan, tiba-tiba tidak lagi berselera mendengarnya.
"Iya, kemarin, kan, dia terpaksa menemani Rissa. Trus, siang ini, teman ceweknya meminta untuk diantar ke kondangan. Drew, sih, mengaku enggak mau kehilangan bertemu sama orang-orang penting di pemerintahan. Tetap aja, salahnya cara karena memanfaatkan dia cewek sekaligus. Ya, kan, Sha?"
Setelahnya, Sha tidak fokus mendengarkan karena amarahnya menggelegak, tetapi tidak bisa menghubungi Drew. Bukan berarti tidak bisa, Sha akan mempermalukan diri jika meledak-ledak. Dia bersabar hingga lelaki menyebalkan yang masih menjadi pacarnya itu, menelepon dan memprotes kehadiran Gio.
"Eisha, ayolah, kamu tanggapi ucapanku. Aku enggak menelepon sejak beberapa hari lalu agar kamu bisa tenang dulu."
"Wah, kamu sepengertian itu, ya?" Eisha langsung bangkit dari duduknya. Dia mendekati candi dan mulai memasuki bangunan tampak tua tersebut. "Tapi, Drew, telepon kamu tuh ganggu, sebenarnya."
"Ketemuan, yuk. Indri bilang, kalian udah enggak ada kegiatan hari ini."
Tahu-tahu, Sha menyetop langkah. Dia menjadi geming karena Drew sudah menghubungi Indri dan... apakah lelaki itu sempat menanyakan keberadaannya? "Drew, kamu ngomong apa sama Mbak Indri?" tanyanya, begitu panik. Mbak Indri akan curiga dan berpikir macam-macam. Ya, ampun, gosipnya saja dengan Gio belum mereda sepenuhnya.
"Aku masih ingat kesepakatan kita." Drew berujar. Lalu, suasana hening itu membuat Sha berpikir, sambungan telepon mungkin berakhir. Lelaki yang masih di seberang, ternyata bersuara lagi, "Jadi, bisa, kan, kita bicara? Aku enggak mau ini berlarut-larut."
"Drew, kamu... Kamu masih di Bandung, kan?" Sha hanya mengetes. Serius. Lelaki itu tidak mungkin jauh-jauh meninggalkan pekerjaannya hanya untuk meluruskan sesuatu. Lagi pula, dia belum menjadi seperti mantan pacar Drew yang begitu istimewa.
"Sebenarnya, Eisha..." Drew menjawab pelan. Ucapan yang membuat Sha gemetar ketakutan. "Kamu cukup menoleh ke belakang."
Tak menunggu waktu lama, Sha melakukan anjuran tersebut walau mati-matian tak menemukan kebenarannya. Dia menoleh seraya masih menempelkan ponsel di telinga. Sekitar lima meter di depannya, lelaki tegap yang mengenakan turtleneck putih itu, melambar dengan kepala meneleng.
***
Pinrang, 29 Oktober
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro