Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

52. Lebih Dekat

Perempuan tinggi nan ramping yang sedang berada di panggung, tengah menceritakan pengalamannya sewaktu mengalami insecure parah. Dia takkan berani ke mana-mana tanpa mekap. Jadwal konsultasinya dengan dokter kecantikan tak pernah dilewatkan. Tiap kali model cantik itu menatap cermin, selalu terbayang penampakan wajahnya penuh bekas jerawat.

"Udahlah enggak cantik, jerawatan pula." Model bernama Zinnia itu tersenyum sedih. "Aku sering mengecek medsos, jaga-jaga kalau foto lawasku bisa aja tersebar. Sampai kemudian, aku ngomong sendiri, mau sampai kapan, sih, aku pakai topeng? Aku belajar buat memberikan afirmasi positif pada diri bahwa aku cantik dan layak dicintai."

Sha termangu pada jawaban panjang model tersebut. Pandangannya lekat mengikuti gerakan perempuan berkaus biru yang kini menuju tepi panggung. Model itu kini menunjuk wajah, berkata bahwa dua tahun terakhir ini dia sudah berani menampakkan wajah polos tanpa mekap. Dia bahkan meminta kamerawan untuk menyorot bekas jerawat di sekitar dagu.

Grand launching produk baru dari salah satu brand luar diselenggarakan di salah satu hotel mewah ini, begitu meriah. Tidak hanya dihadiri selebgram dan MUA profesional, ternyata juga dihadiri seorang model sebagai bintang tamunya. Setelah beberapa kali mengalami kekecewaan, akhirnya Sha berhasil mendapatkan kesempatan dari Mbak Indri meskipun hanya sebagai pengganti karena Gio berhalangan menemani Chief editor tersebut.

Omong-omong, Sha teringat pada bosnya yang sudah menghilang entah ke mana. Semenjak memasuki kursi VIP ini, Mbak Indri sudah bergerak ke sana-kemari menyapa banyak kenalannya. Walaupun merasa asing, Sha tak peduli. Dia kembali melekatkan pandangan ke panggung ketika tiba-tiba seseorang mendeham dan berbisik di dekatnya.

Kursi kosong di sebelah kiri Sha diisi oleh pemilik wajah yang balas menatap begitu dekat. Dari jarak tersebut, Sha mendadak kesulitan menyapa. Sebagai gantinya, dia memperhatikan senyum lebar dan anakan rambut menutupi poni. Penampilan Drew begitu berbeda dan... memesona.

"Aku enggak keberatan dilihat sama kamu sepanjang waktu."

Lalu, Sha mengerjap dan merasakan wajahnya menghangat. Dia mengedik untuk mengusir rasa kikuk. "Kamu kok di sini?"

Drew menarik diri, tetapi tak sekali pun memutuskan kontak. "Begitu tahu kamu di sini dengan Indri, aku langsung menyusul. Untunglah enggak cukup sulit menemukanmu. Acara ini sampai sore, kan?"

Sha melirik ke panggung. Zinnia masih berbicara lalu kembali pada Drew yang hari ini mengenakan casual shirt long sleeve bewarna putih. "Bener. Aku kayaknya bakal di sini sampai acaranya kelar."

Hal tak terduga kemudian, Drew bangkit lantas meraih tangan Sha dan menggenggamnya. "Aku malah kepikiran kalau sebaiknya kita cari makanan." Dia menambahkan sebelum Sha menolak. "Rekaman seluruh acaranya akan kukirimkan nanti."

Jika Sha memilih pergi dari tempat ini, Mbak Indri pasti tidak lagi memberi kesempatan untuk mengunjungi kegiatan semacam ini. Belum lagi, dia masih menunggu penampilan berikutnya demi bincang-bincang seputar mekap. Ada begitu banyak hal penting yang dilewatkannya. Namun, dia tetap bangkit dan mengekori lelaki yang masih menuntunnya keluar dari ruangan.

Hubungan mereka perlahan membaik. Kadang ketika bertemu di lobi, Drew yang lebih dulu menyapa dengan lambaian singkat. Atau saat keduanya berada di taman dan menyadari kehadiran masing-masing, Drew memberikan senyum tipis. Minggu lalu saat Sha berada di salah satu koridor perpustakaan dan memilih referensi, chat dari Drew masuk. Isi chat dari lelaki yang ternyata berdiri di ujung koridor tersebut malah membuat Sha tersenyum.

Siska's reading many books in once time.

Itu kali pertama Drew kembali memulai percakapan setelah beberapa waktu komunikasi mereka terhenti. Sha pun menaikkan pandangan untuk mencari keberadaan Drew. Dia yakin lelaki itu ada di sekitarnya. Tak membutuhkan waktu lama, dia mendapati lelaki itu memberikannya senyum dan kedipan.

Interaksi singkat itu terjadi berulang-ulang di kantor hingga Sha tak menyadari tak lagi memiliki kekesalan sedikit pun pada Drew. Namun, baru hari ini mereka bertemu dan melakukan kontak fisik seintim ini. Setibanya di luar, tangannya masih berada dalam genggaman lelaki tegap yang menjauhi ballroom.

"Katanya pengin makan." Sha terheran-heran karena Drew membawanya ke pintu utama. "Rencananya kamu pengin makan di mana?"

Drew menoleh. "Belum tahu."

Sha berusaha untuk tidak berkomentar dan mengikuti saja ke mana Drew akan pergi. Di parkiran, dia melongo tak percaya saat Drew menuju pintu penumpang dan membukanya. Lantas, dia bersuara, "Sikapmu aneh."

"Padahal, aku ingin bersikap lebih manis."

"Enggak usah." Sha mengaku dengan pandangan ngeri. "Begini tuh enggak cocok sama kamu."

"Di kantor, kita enggak bisa mengobrol lebih leluasa." Drew mulai menjalankan mobil setelah menatap Sha lamat-lamat. "Kalau aku kirim pesan pun, belum tentu kamu balas. Terbukti, pesanku yang terakhir itu enggak kamu tanggapi."

Yang sebenarnya, Sha bingung harus bersikap. Menanggapinya berarti memulai lagi komunikasi terhenti itu sementara mereka belum membicarakan dengan tuntas apa yang sebenarnya terjadi. Pertanyaan yang begitu menghantui yakni kenapa Drew seolah bersikap santai padahal sebagian rahasianya diketahui oleh Sha. Lebih dari itu, dia juga memiliki ketakutan akan perasaannya pada lelaki yang sedang menyetir ini.

"Apa kamu enggak mau membahasnya, Eisha?"

Usai mengembuskan napas pelan, Sha mengubah posisi agar lebih leluasa memandang wajah serius yang senantiasa memperhatikan jalanan di depan. "Kenapa itu menjadi penting banget, Drew?"

"Mungkin hanya aku yang merasakan hubungan kita ini aneh." Drew memelankan mobil ketika berbelok. Setelahnya, melirik pada Sha, kemudian menghadapkan pandangan ke jalan. "Anggap saja aku enggak mau kehilangan teman."

"Kenyataannya, kita masih saling menyapa saat bertemu."

"Oh, kamu suka dengan sapaan canggung itu? Aku enggak bisa memulai obrolan karena yakin betul, kamu pasti memilih menghindar." Drew lalu mengambil risiko dengan menatap Sha lebih lama. "Eisha, kamu akan menjauh tiap kali mengetahui identitas klienmu?"

Sha bergeming karena tidak menemukan kalimat yang tepat. Apakah sebaiknya mengarang jawaban saja? Dia tak mau lagi melanjutkan kebohongan apa pun. Mereka tidak akan berada dalam kerumitan seperti ini andai tak melontarkan satu kebohongan. Sembari menelan ludah, dia pun menunduk. "Drew, aku minta maaf. Setelah ini, kamu mungkin akan marah padaku, tapi aku enggak bisa terus menutupinya."

"Lebih baik aku enggak mendengarnya." Drew mengetukkan jemari di kemudi. "Sebentar lagi, kita sampai. Kamu bisa menyampaikannya besok atau lusa."

Keberanian itu akan lesap. Dan, Sha akan terus berpikir sudah menipu lelaki ini. Dia memejam lalu mengeluarkan kalimat panjang tanpa jeda. "Aku enggak punya klien lain selain kamu. Terpenting, aku memiliki kerjaan sambilan, tapi bukan mendengarkan curhatan orang lain. Waktu kamu menelepon pertama kali itu, aku malah iseng menjawabnya. Maafkan aku, Drew."

Drew tidak memberikan tanggapan. Karena begitu takut, dia bahkan tak mau melihat reaksi wajah lelaki yang masih diam ini. Keheningan ini begitu lama dan menyiksa hingga mobil pun berhenti. Dalam pikiran terburuknya, Drew akan menyuruh untuk pergi dari mobil ini.

"I was so shocked." Drew berkata. Begitu pelan dan singkat. "Jadi, aku salah menekan nomor telepon?"

Apakah Sha harus mengatakan salam perpisahan sekarang? Dia menegakkan kepala. Dengan takut-takut, melirik Drew yang hanya menatap kemudi. "Aku bisa mengembalikan coat yang kamu kasih itu."

"Pakaian itu cocok untukmu." Drew lalu melirik dengan tatapan serius. "Jadi, Siska nama samaran?"

"Eum, ya." Sha mengangguk pelan. "Tapi, coat itu pasti mahal." Terus terang, dia begitu mencintai pakaian mahal dan cantik itu. Namun, dia merasa tak pantas memilikinya.

"Eisha, aku sedikit kesal mendengar pengakuanmu." Drew menoleh dan mendapati perempuan berkucir tinggi itu menggigir bibir bawahnya. Dengan penuh kesadaran, dia menjulurkan tangan lalu melepaskan bibir itu. "Apa lagi yang perlu aku tahu selain aku klienmu satu-satunya? Bagaimana dengan semua yang sudah kamu ceritakan?"

Sha berubah masam. Meski pertanyaan Drew cukup beralasan, dia tetap merasa jengkel. "Gara-gara keisengan itu, kamu menuduhku pembohong?"

"Menjadi klienmu satu-satunya sedikit membuatku lega." Ujar Drew yang langung melepas seat beat Sha tanpa pemberitahuan. Dia mendesah kecil. "Kamu tetap akan menemaniku makan, bukan?"

"Drew." Sha menelengkan kepala ke kanan. Semestinya, Drew marah, jengkel, dan menyuruhnya pergi dari hadapannya. "Kamu... kamu enggak marah?"

"Tentu aku jengkel." Drew menatap perempuan yang menunjukkan kebingungan. Lalu, ketika dia hendak mengelus kerutan di kening tersebut, Sha malah menghindar. "Eisha, itu enggak penting lagi. Di satu sisi, aku merasa jengkel karena dibohongi, tapi saat mengingat hanya akulah yang terus menghubungimu, tiba-tiba semuanya enggak lagi berarti."

"Kok kesannya mudah banget ngasih aku maaf, ya?"

Ucapan Sha membuat Drew mendecap. "Kamu masih enggak mengerti kalau aku tertarik sama kamu, ya?"

***

Pinrang, 24 Oktober 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro