49. Terusik
Kalimat itu, yang diucapkan Eisha tempo hari, terus saja terngiang-ngiang di benak Drew. Mestinya tak cukup memengaruhinya. Urusan di antara mereka hanya teman mengobrol yang berdasarkan asas bisnis. Jika perempuan itu memutuskan kesepakatan dan melenggang pergi, tak akan merugikannya. Nyatanya, Drew merasa kesal setengah mati.
Namun, Drew tidak memiliki pilihan lain. Lagi pula, perempuan penuh tekad tersebut akan berakhir membencinya, seperti Anne, jika keinginannya tak dikabulkan. Maka ketika Naura menghubungi demi kepastian janjinya pada Anne, dia kembali gamang. Pertanyaan tak penting itu serta-merta mendesak, apakah Eisha akan bergabung?
Mengingat percakapan terakhir mereka di atap, Eisha pasti memilih kegiatan lain. Pada akhirnya, Drew melenyapkan sisa pikirannya mengenai perempuan yang belakangan ini senantiasa berinteraksi dengannya. Lebih penting saat ini, dia harus segera meminjam rumah Will yang beberapa bulan ini sudah dikosongkan.
Gara-gara sesumbar pada Anne untuk memancing Eisha, Drew harus membuktikan ucapannya. Maka, dia tak menjadikan tempatnya sebagai lokasi acara bersenang-senang itu. Kediaman Will didesain dengan mewah dan luas. Area yang cocok untuk menunjukkan kesombongan.
"Drew!" Puspa yang lebih dulu memekik gembira saat mereka memasuki kediaman Will. Bangunan serba putih itu bertingkat dua. Di mobil, Drew bersama Puspa dan Naura. Sementara Alby mempersilakan Anne dan Eisha menumpang di mobilnya.
Fakta mengenai kehadiran Eisha mengejutkan Drew. Dia sedikit kesal baru mengetahuinya lima menit sebelum tiba di tujuan.
"Sebenarnya, ini punya siapa?" Naura bertanya di belakang ketika keluar dari mobil. "Rumahmu?"
Tak lama setelah menekan bel, pintu berpelitur indah itu mementang. Sesosok lelaki paruh bayu menyapa lalu menyilakan mereka masuk. Drew memberikan anggukan pada keduanya lantas, "Will meminjamkan rumahnya asalkan kita enggak merusak satu pun barang di sini."
"Rumah ini terlalu besar." Naura berkomentar.
Lalu, Puspa menambahkan dengan pandangan yang menyapa ke segala arah. "Tapi sunyi."
Bersamaan dengan itu, terdengar langkah-langkah pendek di belakang. Drew hanya perlu berbalik demi mendapati Alby. Posisinya diapit oleh dua perempuan cantik. Sekian detik saja, Drew melirik Eisha, yang berada di sisi kiri temannya. Waktu singkat itu ternyata mampu membuatnya merangkum perempuan yang saat ini mengenakan pakaian semacam kardigan. Itu berwarna ungu lalu bagian depannya terjalin seperti pita besar. Celana jin gelap Eisha, memperlihatkan kaki jenjangnya.
"Sementara kalian duduk di sini, aku perlu memeriksa ke dalam." Drew menggerakan jempol.
"Kamu beneran menyewa chef, ya?" Puspa tampak masih kagum. Anne dan Eisha langsung melirik pada Drew.
"Well, aku udah janji akan memberikan yang terbaik."
Samar-samar, aroma masakan terhidu begitu lezat ketika Drew terus melangkah ke dalam. Dua chef langganan Will sudah menyambut dan memberitahu masakan andalan mereka untuk jamuan hari ini. Bakpao menjadi menu pembuka. Disusul menu utama yakni ayam Hainan dan grilled florida lobster salad. Sedangkan, fruit custard menjadi makanan penutup.
Selesai mendengarkan menu, Drew kembali pada rekannya di luar lalu mengarahkan mereka menuju ruang tamu terbuka. Konsep ruang tamu terbuka inilah yang menjadi daya tarik utama kediaman Will ini. Sayang sekali, abangnya malah pindah ke apartemen Sabrina.
Untuk beberapa waktu, suasana menjadi hening. Hanya Puspa yang tak henti menyuarakan kekaguman pada desain rumah ini, memadukan dua bahan utama yakni kaca sebagai dinding bagunan dan alasnya berupa kayu mengilat.
"Kayaknya, aku bakal betah tinggal di sini." Puspa menyuarakan pendapat saat duduk di sofa. Drew membalas dengan tawa pendeknya.
"Pasti cantik banget kalau enggak mendung," Anne mendesah seraya mengarahkan tatapannya ke depan. Rumput tebal menutupi seluruh permukaan tanah, lalu pohon besar yang tampaknya berusia ratusan tahun begitu lebat.
"Sebenarnya, kamu lagi pamer, kan?" Naura yang menempati sofa paling ujung berbentuk setengah lingkaran ini, melipat tangan seraya melengak. "Padahal, cuman acara makan-makan biasa, harusnya cukup di apartemenmu saja."
Usai menyantap jamuan utamanya, mereka masih bertahan di ruang tamu walau hari sudah gelap. Ini karena pemandangan malamnya tak kalah hebat saat siang. Alby dan Naura sudah bergerak menuju meja bilyar di dalam. Mulanya, Alby menggoda Puspa untuk ikut bermain. "Aku ajarin, deh."
Puspa tetap menolak. Perempuan mungil yang tengah mengurai rambutnya itu, memelotot jengkel dan mengancam akan melempar dengan keds jika Alby tetap memaksa. Saat Drew senantiasa menemani Puspa ganti melahap bakpao, Eisha justru bergerak untuk menyaksikan permainan Alby dan Naura.
"Kirain, kamu tuh pengin pamer ke Anne." Puspa duduk bersila di sofa. Lalu, orang yang menjadi topik pembicaraan sedang menjauh untuk menjawab telepon. "Ya, Drew, aku sempat kamu mencuri pandang sama Sha."
"Apa aku pernah bilang kalau enggak lagi tertarik sama Anne?" Drew menenggak minum. Kaleng soda itu lalu diletakkan kembali ke meja. "Aku bahkan lupa pernah suka dengannya. Topik ini semestinya enggak perlu kamu bahas lagi. Ujung-ujungnya bikin kamu senewen, kan?"
Puspa melirik dengan sebal, "Menurutku, kamu orang paling baik sedunia kecuali saat berkaitan dengan cewek, kamu menjadi sosok lain yang enggak aku kenal."
Drew meringis. Tak mampu berkelit dari tudingan Puspa. "Tiap kali bertemu Anne, aku pasti malu dengan kelakuanku padanya." Ingatan tentang perlakuan buruknya berusaha dikubur sejauh yang bisa dilakukannya. Hanya, itu tak benar-benar membantu. "Trust me, aku enggak sepenuhnya bisa melupakannya. Well, itu memalukan sekali. Ketika Anne mengiakan ajakanku kemarin, aku berusaha semaksimal mungkin untuk membuatnya terkesan."
"Lalu, ada apa, sih, kamu sama Sha?"
Tidak ada apa-apa yang spesial antara dirinya dan Eisha. Celakanya, bukan hal mudah melontarkan pembelaan tersebut. Dia sadar betul, sepanjang waktu, Drew kerap mencuri kesempatan untuk memastikan Eisha menikmati acara ini. Sisi baiknya ketika melakukannya, kadang dia bertemu pandang dengan perempuan itu.
"Kamu ini enggak polos-polos amat, ya?" Drew mendapati Puspa hanya bersikap menjengkelkan dengan berdengkus keras-keras. "Pastikan saja, aku bisa memercayaimu."
"Jadi, apa itu? Kamu lagi pedekate dengannya?"
"Yang terjadi sedikit lebih rumit. Kami dekat karena..." Drew berhati-hati agar tidak menyebutkan tentang kesepakan mereka yang bermula dari komunikasi bersifat bisnis. "Beberapa kali bertemu, mengobrol, dan akhirnya merasa cocok."
"Tapi, Sha kayak enggak tertarik sama kamu, deh."
Alih-alih menyanggah ucapan tersebut, Drew lantas melayangkan pandangan ke seberang ruangan. Perempuan yang sedang mereka bahas tengah bersandar di salah satu pilar di depan meja bilyar. Detik ini, barulah disadari hal yang membuat Eisha jauh lebih menarik. Itu karena rambutnya, dibentuk dengan side French braind headband ternyata begitu cocok dengannya. Lalu, ada poni tipis dan untaian rambut gelombang yang lebih padat dari biasanya, mempermanis penampilan perempuan tersebut.
"Bener, kan?"
Drew mengambil lagi minuman. Sebelum meneguk, dia merespons. "Tepatnya, dia belum tertarik."
"Setelah kelakuanmu pada Anne, mana mungkin Sha bakal suka kamu, Drew."
Kenapa Drew terusik pada perkataan temannya ini? "Cepat atau lambat, Anne akan memaafkanku."
"Andrew." Puspa menyentuh punggung Drew. "Sha dekat sama seseorang. Cowok ganteng yang berkali-kali lebih baik darimu."
Lagi, Drew melengak untuk mencari keberadaan Eisha, yang ternyata berbalik hingga tatapan mereka bertemu. Tiba-tiba saja, Drew hendak bangkit dan menghampiri perempuan itu demi mencari kebenaran mengenai ucapan Puspa.
***
Pinrang, 21 Oktober 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro