Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

47. Pengganti

Well, kamu boleh menolak panggilan telepon dariku, tapi seenggaknya balas chat ini.

Drew sudah menunggu dua hari untuk menelepon agar kemarahan Eisha mereda dan mereka bisa mengobrol. Celaka, teleponnya langsung ditolak perempuan yang beberapa hari ini tak pernah bisa ditemui di kantor. Akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi nomor Eisha satunya. Meski tidak diblokir, panggilan maupun chat darinya tak direspons sama sekali.

Ujung benda pipih tersebut lalu Drew dekatkan di dahi. Dia sudah mendapatkan kebenaran yang selama ini membuatnya penasaran walau harus mendapatkan kemarahan Eisha. Kenapa perempuan itu harus marah? Bukankah mereka memulai komunikasi maya ini tanpa saling mengenal?

Ketika tangannya meraih gelas, Drew menyadari isinya sudah tandas. Semestinya gelas kosongnya menjadi tanda, dia harus pergi dari lounge ini. Namun, dia tetap bertahan dengan memanggil seorang peramusaji agar membawakan lagi minuman.

Lagi, Drew mengecek ponsel. Centang pada pesannya belum berubah warna. Entah Eisha belum membaca atau sengaja mengabaikan. Karena opsi kedua selalu saja membayangi, Drew kembali membuka aplikasi pesan dan mulai mengetik.

Marahmu enggak akan reda begitu saja. Aku memakluminya. Tapi, Eisha, apa lebih baik bagimu aku diam saja dan terus melanjutkan komunikasi kita?

Sekalian saja Drew mengomel, tak peduli pesannya akan dibalas.

Apa aku satu-satunya klien yang tahu identitasmu?

Tunggu, apa sebaiknya aku memanggilmu Eisha saja? Ya, Eisha kedengarannya lebih bagus ketimbang Siska. Dan, kamu juga enggak perlu memanggilku Andi.

Omong-omong, Andi nama kecilku. Andrew terlalu rumit di lidah Eyang, maka beliau memanggilku Andi saja.

Tapi, aku enggak ada masalah kalau kamu lebih senang memanggilku dengan nama Andi. Siska hanya nama samaranmu, kan? Kamu memakainya untuk setiap klienmu?

Pramusaji muncul dan membawakan minuman. Drew segera menuang isinya ke gelas, lalu menyesapnya perlahan. Dia berjanji akan pulang setelah minumannya habis.

Setelah ini, kurasa komunikasi di antara kita akan berakhir, ya, kan? Aku enggak mau beralih ke teman curhat lainnya.

Eisha, kamu sungguh mengabaikan pesan dariku? Kamu enggak boleh begini meskipun sangat marah padaku. Walau aku enggak mengerti, kenapa kamu harus marah sementara aku enggak melakukan sesuatu yang salah.

Ah, apa karena Andi dan Drew memiliki sifat yang bertolak belakang? Ya, aku memang bersikap menyebalkan. Nah, aku yang dirugikan setelah membongkar identitas kita, kan? Ayolah, kita bertemu dan saling meminta maaf. Bukan, aku yang semestinya minta maaf.

Hei, Eisha, kamu sungguh ingin mengabaikanku? Bagaimana kalau kita bertemu? Aku sedang berada di sebuah lounge. Setelah pertemuan bisnis tadi, aku memberanikan diri untuk menghubungimu. Hasilnya tetap nihil. Atau kita bisa mengatur pertemuan di tempat lain?

Sebenarnya, aku masih hafal rute menuju tempat tinggalmu. Aku bisa ke sana sekarang.

Drew lantas meletakkan ponsel. Sejauh ini, dia terus mengoceh tanpa tanggapan sedikit pun dari Eisha. Perempuan itu benar-benar marah padanya. Saat menyadari hal tersebut, dia bergegas kembali mengambil ponsel dan membaca pesan terakhirnya pada perempuan yang kemungkinan makin jengkel padanya.

Aku enggak akan mendatangimu. Bukannya bermaksud mengancam, aku terus mengirimi pesan, tapi sepertinya kamu enggak ingin menanggapi ocehanku ini.

Sekian detik berlalu, tidak ada satu pun pesannya yang dibaca. Drew menyerah. Jika dipikir-pikir, Eisha tak terlalu berarti dalam hidupnya. Kehilangan seseorang sepertinya tidak akan memberikan dampak apa pun.

Gagasan yang muncul itu sungguh masuk akal. Dia menutup aplikasi pesan dan bersiap-siap untuk pergi. Namun, seseorang dengan rambut hitam pekat, tiba-tiba duduk di sebelahnya, seraya mengurai senyum tipis.

"Lama enggak bertemu, Drew."

"Jessica." Drew menyebutkan nama itu dengan lancar sekaligus mengurungkan niat untuk pergi. Sesaat, Drew mengedarkan pandangannya dan bertanya-tanya, apakah perempuan berambut pendek ini sejak tadi berada di ruangan yang sama dengannya?

Jessica menggerakkan jempol ke belakang. "Aku duduk di sana. Dari setengah jam lalu, aku melihatmu sendirian di sini. Kamu mungkin berbalas pesan dengan Rissa, makanya enggak langsung menghampirimu."

Malam di acara ulang tahun Mami, dia dan Jessica bisa saja lanjut melakukan janji bertemu. Semuanya tidak berlanjut karena Rissa bersikap hubungannya dengan Drew masih baik-baik saja pada media. Setelahnya, Drew tidak pernah lagi mendengar kabar dari perempuan yang berpenampilan elegan ini. Blazer cokelat menutupi gaun yang membungkus tubuh sintalnya.

"Jadi, kamu akhirnya menghampiriku karena berubah pikiran, aku bisa saja mengirim pesan pada seseorang."

Jessica mengedik, senyum itu belum pudar dari wajahnya. "Aku telanjut mendatangimu, aku masih akan tetap di sini seandainya kamu menghubungi Rissa."

"Bukan Rissa yang sebenarnya kuhubungi." Drew menegak dan meminta minuman lain pada bartender, sebelumnya melirik Jessica, lantas menyebutkan sebuah merek minuman.

"Tapi, aku ingin memastikan, apa kehadiranku akan mengganggumu?"

Drew tidak menanggapi saat bartender menyiapkan minuman untuk Jessica. "Yang sebenarnya, aku berniat pulang. Aku merasa bosan." Di depannya, Jessica masih menunggu lanjutan kalimatnya. "Serius, kamu enggak mengganggu sama sekali."

Perempuan yang kukunya tampak indah tersebut, meraih gelas minuman dan menyesapnya pelan-pelan. "Wah, aku bisa menoleransi rasa manisnya. Thank you, anyway." Jessica meletakkan gelasnya. Dia menoleh dan menatap dengan intens. "Kupikir, pertemuan kita malam itu bakal menjadi pertemuan terakhir."

Jujur, Drew bahkan tak pernah lagi mengingat Jessica setelah pertemuan mereka. Bukan karena perempuan ini sama sekali tidak menarik. Rissa mengacaukan hati-harinya saat itu hingga menjadikannya tak mampu memikirkan hal lain. "Ada masalah serius yang menyita pikiranku waktu itu. Maaf karena enggak bermaksud melupakanmu, Jess."

"Kamu balikan dengan mantanmu. Aku bisa apa?"

"Yang sebenarnya terjadi, orang-orang, termasuk dirimu, mengira aku dan Rissa kembali berhubungan."

Mata bulat itu berbinar-binar. "Kamu sengaja, ya, mengatakan hal itu padaku?"

Drew tidak berkomentar, malah menyodorkan ponselnya pada Jessica. "Aku belum menyimpan nomormu."

Tanpa menunggu lebih lama, Jessica mengambil dan menggerakkan jemarinya begitu cepat lalu menyerahkan lagi bendah pipih tersebut seraya berkomentar, "Aku agak menyesal enggak meminta nomormu pada Tante Liani atau Agnes."

"Kamu bisa menghubungiku kapan pun jika punya waktu luang."

"Drew, kamu jauh lebih sibuk dariku. Semestinya kamu yang menghubungi lebih dulu." Jessica lantas mengubah posisi untuk menghadap pada Drew dengan menumpangkan dagu pada telapak tangannya. "Sebelum aku benar-benar menelepon untuk sekadar berbasa-basi atau mengajak ketemuan, aku masih penasaran tentang statusmu yang sekarang. Aku enggak akan melewatkan tawaran untuk bertemu lagi, tapi aku enggak mau ada drama picisan yang bakal terjadi."

"Kamu perempuan yang menarik, Jess."

"Sedang mengalihkan topik, Drew?"

Padahal, Drew memang memberikan pujiannya dengan tulus. Mami tahu betul dalam memilihkan perempuan untuknya; cantik, berkelas, dan berotak pintar. Walau Jessica tidak menyembunyikan ketertarikannya, tetapi dia melakukan pendekatan dengan anggun. "Aku ingin mengatakannya langsung saat kita bertemu pertama kali."

Jemari ramping perempuan itu mengibas. "Gimana kalau kita pergi ke tempat lain?"

Drew tidak perlu berpikir untuk memberikan jawaban dalam anggukan mantap.

***

Pinrang, 19 Oktober 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro