Eisha memang cantik. Dia sudah menyadarinya sejak pertama kali Anne mempertemukan mereka. Namun, sejak kedatangan perempuan berjaket itu di ambang ruangan latihan, Drew menggumamkan kata cantik begitu saja. Kaus longgar yang dikenakan Eisha justru menyembunyikan lekuk-lekuk tubuhnya. Sekilas, penampilannya jauh dari kata seksi hingga rambut diikat tinggi itu menunjukkan leher mulus dan jenjang. Drew enggak mengerjap dan mengumpati diri karena membayangkan bisa menempelkan hidungnya di sana.
Dibandingkan dengan beberapa perempuan yang pernah Drew ajari, Eisha berbeda. Mulanya, perempuan yang mengaku tidak memiliki pengalaman apa pun itu, melakukan tenik dasar tanpa kesulitan berarti. Fokusnya tidak teralih, tak peduli Drew sengaja memancing dengan melepas senyum memikat.
Sialan. Dia terpikat pada penampilan Eisha hari ini. Untuk mengalihkan mata kurang ajarnya dari leher itu, dia memancing percakapan bahkan mulai membuka identitas Andi sedikit demi sedikit. Pembicaraan yang membuat Drew melakukan tindakan di luar kebiasaannya. Tindakan mengelap keringat itu di luar rencana, semakin membuat Drew gugup saja.
"Atau kamu pengin makan di tempat lain?" Drew menuntuk Eisha beranjak meninggalkan ruang latihan. "Ada kafe hanya beberapa meter dari tempat ini."
"Enggak, kita makan di sini aja." Perempuan yang sedang memandang ke segala arah ini, kembali mengajukan pertanyaan. "Makanannya enak, kan?"
"Tiap ke sini, Rekza selalu memesan es krim goreng." Fakta itu mengundang tatapan tidak percaya Eisha. "Juice bar, tapi menunya beragam. Saat melihat daftar menunya, kamu bakal terbengong-bengong."
Keduanya berhenti di depan lift yang masih tertutup. Sekian detik setelahnya, pintu berdenting dan mementang. Orang-orang di dalamnya menghambur keluar. Drew hendak menghindar, justru gerakannya menyenggol perempuan ber-tank-top. Lekas, dia menggumamkan permintaan maaf. Untungnya, si perempuan tadi memberinya maaf dengan senyum yang terlalu berlebihan.
"Sebenarnya, tadi itu bukan salahmu." Eisha membuka percakapan ketika berada dalam lift. Berhubung hanya ada mereka, dia berkomentar.
"Sebulan yang lalu, seorang lelaki muda dilaporkan karena tak sengaja menyentuh lengan perempuan hamil yang sepertinya sangat sensitif. Aku beruntung karena perempuan tadi melepasku."
"Aku tahu alasannya." Eisha berkata singkat. "Karena kamu good looking."
Drew menoleh dan senantiasa menatap Eisha yang berkedip. "Ah, alasan yang bikin kamu gugup."
"Drew, aku bakal bohong banget kalau bilang kamu jelek."
"Jadi, aku mendapatkan angka berapa?" Drew menaikkan dua telapak tangan di depan perempuan yang mulai kebingungan itu. "Aku harus tahu angka yang kudapatkan saat kamu bilang aku memang good looking."
Lift mementang. Keduanya segera beranjak karena tiga pengunjung lainnya sudah menunggu. Eisha terkejut karena Drew masih menunjukkan sepuluh jarinya. "Penting, ya?"
"Jawabanmu memiliki pengaruh."
Eisha memandang lekat jemari di depannya. Lantas, meraup jempol, telunjuk, dan jari tengah secara bersamaan kemudian menurunkannya. "Tujuh."
"Tujuh?"
"Sure."
"Aku yakin, nilaiku sepuluh, tapi kamu enggak akan mengatakan yang sebenarnya."
"Drew, kamu terlalu percaya diri." Eisha menahan tawa seraya menekap mulut.
Setibanya di juice bar, Drew memperhatikan Eisha yang mengedarkan pandangan. Dia bisa menebak pikiran perempuan itu yang tidak percaya jika ruangan ini jauh lebih besar. "Kenapa ada banyak makanan manis di sini?" Eisha berbisik seraya menggerakkan dahu demi memperlihatkan beberapa varian donat.
"Aku yang akan memilih menunya." Drew menunjuk empat pengunjung di depan mereka. "Kamu pilihlah meja untuk kita."
"Pesankan aku roti panggang aja." Eisha berbalik. Dua langkah setelahnya, dia kembali lagi di samping Drew. "Jus jeruknya enggak perlu kelewat manis."
Begitu gilirannya tiba, Drew mulai menyebutkan pesanan dan bergegas menuju meja di tengah ruangan. Eisha sudah mengurai rambutnya. Ya, meskipun leher itu tampak menggiurkan, lebih baik tertutupi rambut agar Drew bisa fokus pada hal lainnya.
"Roti panggang isi sosis, jus jeruk, dan sebotol minuman buatmu." Drew menggeret kursi agar lebih dekat dengan perempuan yang tampak takjub pada makanan di meja. "Kamu enggak perlu khawatir karena dikira pelanggan kere. Kebanyakan pengunjung juga memesan air mineral, kok."
Eisha terkesiap. Tiba-tiba saja, perempuan itu menoleh dan terus memandang. "Drew..."
"Ya?" Drew menyadari kesalahannya. Dia kecoplasan mengungkapkan penjelasan Eisha dulu. Dia hendak menambahkan komentar lain, apa pun itu, demi mengusir jeda hening yang menyiksa ini. Namun, mungkin inilah celah yang sejak beberapa hari lalu dipikirkannya. "Ada apa?"
Eisha menunduk, cukup pelan mengambil air dan membukanya. Gerakan itu tidak memberikan efek yang berarti hingga Drew mengambil alih membuka botol dan menyodorkannya lagi.
"Omong-omong, kamu persis dengan perempuan yang kukenal, Eisha." Drew menegakkan bahu dan mulai mengurai apa yang ada dalam benaknya. Detik ini, dia ingin semuanya jelas di antara mereka. "Namanya Siska, enggak mau bernyanyi kalau diiringi musik. Beberapa waktu lalu, dia kembali ke kampung dan mengirimkanku sebuah gambar tiga helai daun teh." Drew tak pernah melepaskan tatapannya pada perempuan di sebelahnya. "Dibandingkan minuman manis lainnya, dia lebih suka air minerap, tapi tiap ke kafe atau restoran malah memesan minuman lainnya. Coat baby pink itu juga sama persis dengan coat yang kubeli untuk Rissa."
Selanjutnya, bunyi keriut panjang dari kursi terdengar tatkala Eisha serta-merta bangkit. Dia tak lagi memandang Drew, langsung memelesat pergi.
"Eisha, tunggu!" Drew dengan sigap berdiri. Mungkin semua pandangan penghuni bar ini menatap padanya dan Eisha yang terburu meninggalkan ruangan. "Eisha, jangan pergi. Shit!" kesalnya karena Eisha sudah menghilang ke dalam lift.
Karena tak mungkin membiarkan Eisha pergi begitu saja, Drew berlari sekitar satu meter kemudian berbelok melompati beberapa anak tangga sekaligus. Di lantai dasar, tatapannya langsung berpusat pada lift yang berjarak tiga meter dari pijakannya. Pada saat yang sama, lift membuka dan memperlihatkan Eisha dengan wajah keruh.
"Eisha, please, stop running!" Drew mengejar sementara perempuan yang senantiasa memisahkan jarak, tak memedulikan teriakan Drew. Untungnya, langkahnya berhasil menyamai Eisha dan langsung mencegatnya. "Eisha, aku... aku minta maaf."
Perempuan itu yang dahinya sudah penuh oleh keringat, bergerak mundur. Wajahnya memerah. Kemudian, sorot dalam pandangannya begitu tajam menghunjam. "Maaf?"
"Aku ingin kita membicarakan ini."
"Enggak!" Eisha bergerak mundur ketika Drew berusaha mendekat. Telunjuk perempuan itu menudingnya. "Stop di situ. Aku... aku enggak mau lagi bertemu denganmu jika kamu maju walau cuman selangkah."
"Apa... apa kamu marah?"
"Marah?" Eisha mendesis. Drew semestinya tidak melontarkan pertanyaan bodoh yang hanya membuat perempuan di depannya semakin sebal. "Aku penasaran kenapa kamu tiba-tiba berubah menjadi aneh begini. Ternyata... kamu beneran berengsek, ya, Drew?"
"Jangan berpikir macam-macam dulu. Biarkan aku menjelas–"
"Aku merasa tolol banget sekarang." Eisha melepas tawa aneh. "Kamu mengajakku ke sini cuman untuk membuatku malu ternyata." Perempuan itu mengedik. "Seenggaknya, kamu enggak membeberkannya di kantor." Mata perempuan itu menyipit. "Atau sebenarnya, kamu udah bilang ini sama Alby, ya, kan?"
"Semestinya, kamu enggak perlu marah padaku."
Eisha terlongong-longong. Kemudian, dijawabnya dengan desis penuh penekanan. "Kamu bikin aku malu."
"Well, aku mengetahuinya enggak sengaja dan aku bingung bagaimana harus memastikan jika kamu adalah... Siska."
Perempuan yang memandang dengan tatapan datar itu bergerak mundur lagi. "Setelah ini, kamu enggak boleh lagi menemuiku atau aku sungguh-sungguh akan membencimu selamanya."
***
Pinrang, 17 Oktober 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro