
43. Still Trying
Hanya ada satu cara membuktikan jika kemungkinan besar Eisha adalah Siska, yakni menelepon klien yang selama ini diajaknya berkomunikati saat bersama Eisha. Namun, tak mudah bertemu perempuan itu, kecuali saat nasib memberikan dukungan penuh pada harapannya.
Drew sungguh berharap, nasibnya lebih mujur untuk mempertemukannya dengan perempuan dari divisi editorial tersebut, seperti kemarin malam. Dia beruntung, kejadiannya usai mengantarkan Rissa. Waktunya cukup pas ketika menemukan chat salah kirim tersebut, yang menjelaskan keberadaan Siska. Karenanya, Drew menelepon dan mengarang alasan agar bisa menggali informasi lebih. Tak menunggu lama, dia langsung menepi di alun-alun kota. Eisha di sana, seorang diri memangku botol minuman.
"Kamu bisa menolak pergi jika keberatan."
Itu suara Rekza yang tiba-tiba menyadarkan Drew bahwa mereka akan ke lapangan futsal. Temannya ini pasti salah paham, mengira dirinya memiliki sebrek kegiatan penting. "Aku menunggu hari saat kamu akhirnya kembali bersosialisasi, mana mungkin aku malah absen."
Rekza yang menekan angka di papan lift segera mundur dan menoleh. "Ayolah, ada yang sedang kamu pikirkan. Mana mungkin bisa konsentrasi saat di lapangan nanti."
Dalam menyelesaikan pekerjaannya, Drew selalu profesional tak peduli beban yang memberati kepala dan pundak. Lain hal jika bermain, dia tak bisa melakukannya dengan baik saat memikirkan sesuatu. Namun, ini bukan masalah penting. Bukan hal yang perlu diprioritaskan. Walau begitu, dia penasaran setengah mati. Sepanjang teka-teki itu belum terkuak, dia akan selalu memikirkan apakah Eisha dan Siska merupakan orang yang sama?
"Rissa, ya?"
Drew melepas desah sembari mengedikkan bahu. "Nah. It's the other woman." Drew menegak saat tatapan Rekza agak berbeda. "Jangan salah paham dulu."
"Siapa yang sedang kamu dekati?"
"Aku enggak mengejar siapa pun."
Rekza mulanya diam, lalu berkomentar, "Kalau lupa, aku pernah ada di posisimu."
"Tidak persis seperti itu." Drew meletakkan tangan di pundak Rekza ketika mereka bersamaan melangkah sewatu lift mementang. "Dulu, kamu enggak tahu sedang didekati Laura saat berusaha keras mencintai calon pilihan Kakek Am. Di saat yang bersamaan, kamu berbohong pada Shaselfa. Kasusku, jelas jauh berbeda denganmu."
"Apa pun itu, kalian sedang berusaha untuk memperbaiki hubungan."
"Salah lagi." Drew menyugar rambut. "Aku bilang pada Rissa, aku enggak menjanjikan apa-apa dulu. Jika ternyata aku masih menyukainya, kami bisa melanjutkan hubungan yang dulu."
Rekza mengerjap, seolah ingin kembali mengomentari, tetapi menahan diri. Lelaki ini malah mengangguk pelan. Senyum tipisnya muncul ketika membalas sapaan beberapa pegawai.
"Bagaimana reaksi Shaselfa saat tahu kamu masih begitu populer di kantor?" Drew berdecak ketika menatap kepergian karyawati yang cekikikan di belakang mereka.
"Shaselfa enggak merisaukan hal semacam itu."
"Are you making a joke, Dude?"
"Diam-diam, aku sebenarnya bersyukur dia hengkang dari kantor terdahulunya. Aku salah besar. Dia makin sibuk dan beberapa kali bertemu dengan pemilik modal membuatku merasa was-was."
"Apa setelah menikah, Shaselfa dan Josh pernah bertemu?"
Lelaki itu menjawab dengan cepat. "Ya."
Bertepatan ketika mereka keluar dari gedung CRIMSON, sesosok perempuan yang bersandar di salah satu pilar kantor, membuat Drew menyetop langkah untuk sekian detik. Perempuan dengan rambut diikat tinggi itu terlihat begitu jengkel.
"Za." Drew menepak bahu temannya. "Aku datang terlambat."
Bukannya menanggapi, Rekza malah mengikuti keberadaan perempuan yang menyedot seluruh perhatian Drew. "Dia yang kamu maksud?"
Tak menanggapi pertanyaan tersebut, Drew malah menyuarakan pendapatnya. "Sampaikan maafku pada yang lain. Lain kali, aku pasti akan bergabung. You gotta be fun there." Lalu, dia bergerak tanpa memedulikan apakah Rekza akan berkomentar atau tidak. Sebenarnya, dia tahu persis, temannya yang paling pengertian itu tidak akan memberikan tanggapan jika tak diminta.
Nasib baik yang sedang diharapkan kini berada di pihaknya. Drew menghampiri, tetapi masih menyisakan jarak. Di saat tengah berpikir langkah tepat untuk memulai obrolan, Eisha menegakkan kepala.
"Butuh tumpangan?"
"Sebenarnya, aku sedang memesan taksol."
Drew mengangguk kecil, "Tapi tampangmu terlihat sebal, pasti ada kendala." Saat melihat Eisha membuka mulut, dia mendahuluinya. "Lagi pula, aku masih ingat jalan ke tempatmu."
Perempuan yang masih belum mengatakan apa pun itu, tampak berpikir. Pada akhirnya, dia memberikan jawaban dalam anggukan singkat.
Mobil telah meninggalkan kantor beberapa waktu lalu, tetapi Eisha belum juga bersuara. Drew yang beberapa kali menoleh karena tak tahan dengan kesenyapan ini, melontarkan ucapan, "Di ujung sana, ada warung pinggir jalan. Suka surabi?" tidak ada tanggapan yang membuatnya kembali menoleh. "Well, you say nothing, I think it will be a yes."
Eisha masih belum bersuara ketika turun dari mobil. Perempuan itu duduk di samping Drew, sebelumnya mengambil dua botol minum air mineral dan meletakkannya di meja. "Kemarin malam, martabak telur. Hari ini, aku ditraktir surabi. Sekalian aja pesankan cokelat mahal buatku besok."
Drew menoleh, senyumnya mulai muncul saat mengatakan, "Kalau sejak tadi kubawa ke restoran, kamu bakal mengajaknya mengobrol selama di perjalanan?"
"Bukan." Eisha menyodorkan botol minuman agar Drew membuka segel botol tersebut. "Aku berusaha keras mencari jawaban kenapa kamu mendadak jadi sebaik ini? Dugaanku masih belum berubah, kamu memaanfaatkanku untuk kembali sama Anne."
"Asal tahu saja, aku enggak tertarik lagi dengannya sewaktu Alby memutuskan untuk mengencani temanmu. Eisha, aku dan Anne sudah berbaikan meski kami enggak bisa lagi berteman seperti dulu. Jadi, kamu enggak punya alasan bersikap seperti ini padaku."
"Karena sikapmu mendadak aneh." Eisha memberi penekanan sewaktu membalas.
Aroma makanan menghentikan percakapan mereka karena teralih pada kedatangan Mamang penjual surabi. Empat wadah surabi dengan toping berbeda sudah diletakkan di meja. Drew mengambil wadah kosong lalu mengisinya dengan surabi pisang cokelat keju dan mendekatkannya pada Eisha.
"Aku pengin nyobain surabi kuah kinca ini, lho." Eisha menyengir lebar agar bisa membuat lelaki di sebelahnya kesal. "Tapi, serius, kamu yang kayak gini bikin aku agak takut."
"Hm?" Drew menyantap surabi yang awalnya diperuntukkan untuk perempuan bergaun hitam sebetis ini.
"Ya, kayak tebar pesona begini. Menawarkan tumpangan dan mentraktir makanan."
"Aku memang baik pada semua orang yang kukenal."
"Sebenarnya, kita enggak terlalu dekat, kan, Drew."
"Jujur saja, kamu tahu sedikit lebih banyak daripada Anne." Drew menambahkan ketika Eisha tak bereaksi apa-apa. "Anne belum tahu aku sebenarnya fobia gelap."
"Itu beneran, ya?"
Drew menambahkan daftar lainnya. "Aku bahkan sudah berkunjung ke tempatmu. Oh iya, aku baru ingat belum mengembalikan kemeja itu."
"Sebenarnya, itu hadiah untuk Ayah. Tapi, aku enggak mungkin mengambilnya di saat orang lainlah yang mengenakan pakaian itu pertama kali. Jadi, kamu ambil saja." Eisha mengamati Drew beberapa jenak. "Jelas kemeja itu bukan seleramu, kamu bisa memberikannya pada orang lain. Asalkan, kamu enggak membuangnya."
"Awalnya, aku enggak ingin mengenakannya." Drew teringat lagi perasaannya saat mengira itu adalah kemeja pasangan perempuan yang balas menatapnya ini. "Bukan karena masalah selera, aku mengira itu milik pacarmu." Sesampainya di apartemen, dia harus mencari di mana menyimpan kemeja itu. Dia benar-benar melupakannya hingga mengungkit lagi kejadian di kediaman Eisha. "Omong-omong soal kemeja ayahmu, apakah beliau tinggal di kampung? Tempo hari, kamu sendiri yang mengumumkan baru kembali ke kampung saat memperlihatkan wallpaper ponselmu." Ungkapnya ketika Eisha tampak bingung.
"Ya, begitulah."
"Aku pernah berkunjung ke perkebunan teh di Ciwidey dan Pangalengan. Apa tempat tinggalmu di antara salah satu daerah tadi?"
"Tempatku masih lebih jauh dari itu. Pernah dengar Neglawangi? Di sanalah aku lahir." Eisha mendapati Drew menggeleng mantap. "Daerah asalku bukan tempat terpencil sebenarnya, tapi aku paham orang yang senang berpelesir ke luar negeri kayak kamu, pasti merasa asing dengan yang kusebutkan tadi."
"Nah, aku akan mencatatnya jika sewaktu-waktu memiliki waktu luang, bisa berkunjung ke sana. Dan pastikan, kamu harus menjadi orang yang mendampingiku ke sana, Eisha."
Eisha menjawab sebelum memasukkan potongan surabi ke mulut, "Di sana enggak seeksotis tempat yang sering kamu kunjungi, kok." Ketika melirik, dia mendapati raut masam Drew. "Tapi, dugaanku memang bener, kan? Lagian, akses ke sana enggak terlalu bagus."
"Itu malah jauh lebih menarik." Drew menambahkan surabi dengan topping lain ke wadahnya yang sudah tandas. "Enggak nambah, Sha?"
"Oh, aku pengin nambah lagi, kok." Perempuan itu meraih botol minum dan meneguk isinya. "Tadi, kenapa enggak kamu ajak temanmu makan bareng dengan kita?"
"Rekza? Dia punya kegiatan lain yang harus dihadirinya. Meski lowong pun, aku enggak berharap dia bergabung dengan kita."
"Tentu. Kamu pasti sulit tebar pesona, kan?"
"Ini belum apa-apa, kok." Senyum Drew tak pernah lepas memandang perempuan yang sepertinya sengaja menjauh dari tatapannya. "Kamu tunggu aja kejutan berikutnya."
***
Pinrang, 15 Oktober 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro