Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

40. Masa Aku Grogi?

            Ruangan Mbak Indri terkesan feminin, manis, dan rapi. Pada rak yang terdapat di belakang kursi kerja, tempat itu penuh dengan buku yang disusun berdasarkan gradasi warna. Siapa pun yang masuk, pandangannya akan tersedot ke sana. Selain rak tersebut, hal lain yang menonjol di sini yakni keberadaan kaktus di beberapa titik; sebuah di mejanya, juga terdapat di samping pigura di kabinet pun, di kusen jendela pun berjejer tiga kaktus berbeda. Terakhir, kaktus aneh dalam pot lebar di meja dekat pintu masuk.

Segala barang diatur sedemikian rupa agar tamu bisa mendapatkan kenyamanan. Namun, itu tidak berlaku bagi Sha. Tiap dipanggil masuk, dia harus dihadapkan pada raut serius Mbak Indri yang menjengkelkan. Alisnya menukik, lalu mata memelotot, dan bibir mengerut. Hanya sekali dia mendapatkan wajah ramah menyenangkan Mbak Indri, yakni ketika mendapatkan promosi.

Pulang dari kampung, semestinya Sha mendapatkan tenaga baru usai melepas kangen dengan orang tua. Alih-alih muncul di kantor dengan wajah semringah yang penuh binar, dia justru menekuk wajah dan harus menemui editor in chief ini terlebih dahulu.

"Tita belum ada dua bulan di sini, kamu udah kasih dia kesempatan buat nulis di Famous. Memangnya kita kekurangan penulis apa?"

"Aku udah dua kali baca tulisannya, Mbak. Bagus, kok. Makanya–"

"Makanya dia merasa besar kepala kamu puji dan akhirnya menggunakan cara curang, menyalin rekat tulisan orang lain. Terhadap Palung dan Sandra, kamu jeli banget, kenapa sikap itu enggak berlalu sama Tita?"

Kenapa mesti disangkut pautkan dengan Palung, sih? "Aku harus jeli sama Palung, Mbak. Dia penulis Famous yang sama sekali enggak bisa nulis. Sementara Tita–"

"Aku enggak mau tahu gimana kemampuan mereka, Eisha." Mbak Indri mondar-mandir di sisi meja. Tangannya menggaruk kening. Dia lalu berbalik dengan dengkus pendek. "Untuk pertama kalinya, Famous tercoreng. Dan, semuanya gara-gara kamu karena ceroboh."

Itu memang kesalahan fatal. Saat mendengar ulah Tita, dia langsung memikirkan bagaimana respons media lainnya terhadap citra Famous yang sejak dulu menggembor-gemborkan jika memplagiat tulisan adalah kejahatan terbesar penulis. Dani, SEO writer adalah rekan mereka yang pertama kali tanggap dan menuliskan permohonan maaf.

"Aku minta maaf, Mbak."

Mbak Indri mengibaskan jemarinya yang tampak berisi. "Bukan itu yang Famous inginkan. Nama baik divisi ini harus pulih sebelum kita menjadi bahan gunjingan dari divisi lain. Ya, ampun, Sha! Kemarin kamu ngapain aja, sih?"

Tak ada lagi pembelaan yang Sha utarakan. Dia sepenuhnya bersalah. Lagi pula, membantah hanya akan menambah porsi percakapan Mbak Indri yang belakangan lebih senang mengkritik. Ketika akhirnya keluar dari ruangan tersebut, dia langsung mencari Tita. Juni berada di samping Palung yang terus menunduk.

"Ke mana, Tita?"

Palung membuka mulut, tetapi akhirnya menjawab dengan kedikan bahu pelan. Sandra juga menggeleng dan beberapa rekan lainnya tidak memberikan jawaban memuaskan.

"Ni, kamu belum menjawab."

Juni menaikkan pandangan. "Tadi, setelah Teteh ke ruangannya Mbak Indri, Tita kabur. Ponselnya mati."

"Pengecut!" Sha melepas umpatan itu begitu saja, tak peduli Palung dan beberapa orang mendengarnya. "Memang dia kayak gitu, kok. Juni, kamu tetap hubungi dia agar bertemu denganku secepatnya."

Sewaktu Sha bergerak ke ruang Turquise untuk mendinginkan kepala, ternyata Gio menyusul. Lelaki yang kini melepas kacamata dan mengelap benda itu dengan sapu tangan itu, hanya bersandar di tepi rak. "Tita juga pengin kamu omeli?"

"Udah jelas, kan, Gi? Ini bukan karena aku tadi kena tegur sama Mbak Indri. Aku kesal karena dia, bisa-bisanya malah mencuri tulisan orang!"

"Hanya sebagian."

"Sama aja!" Sha tak menyangka meninggikan nada suara. Dipejamkan mata sesaat. Dia pernah menjadi pemula dalam bidang ini, tetapi masih cukup waras untuk membuat karya orisinal. Sementara Tita? Orang yang mengaku cinta dengan buku tidak akan mencuri tulisan orang lain! "Mencuri tetap aja mencuri namanya."

"Tita masih belum mengerti."

Sha menertawakan jawaban Gio. "Anak sekolah aja tahu kalau nyontek itu enggak bener, Gio."

Gio memiringkan kepala. Anggukannya pelan disertai senyum kalem itu sedikit pun tidak memberikan pengaruh pada Sha. "Konsep menyontek jangan kamu kaitkan sama apa yang Tita lakukan, dong. Memang enggak bisa dipungkiri, masih banyak penulis menyalin tulisan orang sembarangan. Tita, salah seorang yang masih berproses, Sha. Kalau dia merasa enggak bersalah, dia pasti udah muncul di sini dan berlagak semuanya baik-baik aja."

"Bela terus aja anak didikmu itu. Semestinya bukan cuman aku tadi yang ditegur Mbak Indri." Di ruang Turquoise ternyata tidak mampu menenangkan kekesalannya. "Saat kamu ketemu Tita, aku pengin kamu nyuruh dia datang padaku untuk ngomong."

Tulisan plagiat Tita sudah dihapus dari laman Famous. Gantinya, Sha menuliskan permintaan maaf atas keteledorannya. Dia pun sudah menghubungi si penulis asli, yang dengan keramahan dan kebaikannnya memberi maaf. Paling tidak, penulis tidak membuat drama ini-itu di medsos.

Walaupun permintaa maaf sudah dilayangkan, tidak berarti masalah sudah beres. Semua laman medsos Famous masih terdapat makian dan kebencian. Tentu saja, namanya sebagai editor tak luput disebut-sebut.

Hingga jam kantor berakhir, Sha tak menemukan chat apa pun dari Tita. Sha hanya menatap mejanya yang rapi. Seharian ini dia memang tak bekerja seperti sebelumnya. Pikirannya masih terbebani oleh perbuatan Tita. Diambilnya coat yang disampirkan di kursinya.

"Pulang bareng, Sha?"

Sha kembali duduk ketika Gio mendekat. Wajah ramah lelaki yang berdiri di depannya ini, tidak menunjukkan tanda-tanda mereka sudah berdebat tadi. Sha menoleh kembali pada meja, tak ada perintilan kecil tertinggal. "Aku udah bikin janji sama Anne."

"Janjiannya sekarang?"

"Gi, kita baru bertengkar, lho, tadi."

Gio mengulurkan tangan. "Masa, sih? Kayaknya, aku tadi lagi dengerin kamu ngomel, deh."

"Kami ada janji buat makan-makan di tempat Naura. Aku udah pernah cerita tentang pegawai dari marketing itu?" Sha akhirnya menyambut tangan Gio yang terasa hangat.

"Belum pernah dan sebenarnya aku enggak mau tahu. Masih pusing, enggak? Kutraktir es krim, yuk."

***

Usai menghabiskan waktu bersama Gio, Sha lantas meminta lelaki super baik itu untuk mengantarkan ke apartemen Naura. Berhubung hanya mereka berempat di sini, dia merasa tak butuh mengulang dandanan. Cukup menyemprotkan parfum ke beberapa titik di tubuh.

Rupanya, Naura juga mengundang Drew dan Alby. Ya, tentu saja. Naura, kan, kedua orang itu begitu dekat. Kegiatan makan-makan itu sungguh membuatnya kenyang. Karena datang paling akhir, Sha menawarkan diri untuk membersihkan diri. Biarlah yang lain bersenang-senang di ruang tengah sembari berkaraoke. Ya, itu juga alasannya melipir ke sini. Menyanyi terkadang begitu menakutkan jika orang-orang tahu kelemahannya kesulitan mencocokkan nada.

"Naura bisa membereskan ini semuanya." Suara yang muncul di belakangnya agak membuat Sha terenyak. Ketika menoleh, Drew ternyata melangkah pelan. Lelaki yang menyurukkan satu tangan ke saku jin, berkomentar. "Di luar, lainya pada heboh menyanyi."

"Kamu enggak gabung?"

Drew menunjukkan ponsel lalu berdiri tak jauh dari wastafel. Pandangannya terus menatap Sha yang menggosok peralatan kotor dengan sabun. "Aku baru saja menutup telepon dan sadar kamu menjadi babu di sini."

Sha melirik. Uneg-unegnya sudah didengarkan Gio dan Anne. Jadi, mendengarkan ucapan Drew tidak lagi menaikkan tensi kemarahan. "Ya, kamu baik banget nemenin babu ini lagi beres-beres."

"Di luar berisik." Drew mengambil apel di wadah kemudian menggigitnya. "Maksudku, suara mereka jelek dan fals semua."

"Drew, kamu belum tentu bisa menyanyi sebaik mereka."

"Makanya, aku enggak ikut bikin polusi suara."

Peralatan yang sudah dicuci, kini dibilas satu-persatu. Sha memindahkan benda itu ke raknya. Karena suasana mendadak hening, dia menyangka Drew sudah kembali bergabung dengan lainnya. Ternyata, lelaki itu sudah duduk di salah satu stool.

"Tadi, kamu lagi merhatiin aku, kan? Kenapa?" tanyanya. Dia ingat betul beberapa kali, Drew diam-diam melirik. Malah, raut wajah cowok bermata sayu itu serius sekali.

"Oh, aku ketahuan."

Bukan jawaban yang diharapkan Sha. Dia mengelap tangan, tetapi belum meninggalkan ruangan ini. Dia harus tahu alasan Drew melakukan itu tadi.

"Tenang aja, kancingmu enggak ada yang lepas, kok."

"Drew!" Sha menahan diri agar tidak berseru. Dia mulai jengkel karena pertama, dugaan lelaki yang menampakkan senyum itu memang benar. Sejak tadi, dia kerap memastikan kancingnya masih terpasang.

"Kamu bahkan enggak ingat lagi pakai blus yang enggak ada kancingnya." Drew kembali menimpali.

Karena kepanasan, Sha melepas coat. Dan, semenjak mendapatkan pandangan diam-diam Drew, dia tak pernah berhenti untuk cemas. Sesekali, tangannya menyentuh bagian atas dada lalu bernapas lega karena kerah blus tersebut cukup tinggi.

"Udah jadi kebiasanmu, ya, bikin orang jengkel."

Drew lalu berdiri. "Pakaianmu tadi hanya mengingatkanku pada seseorang."

"Ya?"

"Enggak begitu penting, Eisha." Drew belum beranjak. Saat memperhatikan lagi, baru disadarinya jika perempuan ini tak bermekap seperti lainnya. "Ini pertama kalinya aku lihat kamu..."

"Kucel?"

"Tampak natural."

Sha tidak menanggapi ucapan lelaki di depannya ini. Meski begitu, dia menjadi resah. Untuk menghilangkan kekikukannya, dia mengurai rambut. Tampilannya pada kaca porselen saat mencuci piring memberikan gambaran tak menarik tentang tampangnya. Ikatan rambutnya mulai longgar hingga helai-helai di sekitar wajah mulai berantakan. Lalu, wajahnya benar-benar polos tanpa sentuhan mekap.

"Kamu masih di sini, Drew?"

"Kita keluarnya bareng aja."

"Aku tahu jalannya, kok."

Drew menyipit. "Lagi grogi?"

Tiba-tiba saja, Sha tidak menyukai senyum yang tampak memesona di wajah Drew. Namun, untuk menampik ucapan lelaki sombong ini, dia menggerakkan dagu. "Kamu siapa sampai bikin aku grogi?"

Celakanya, senyum pemilik wajah persegi di depannya malah makin lebar. Sha mati-matian menahan diri agar tetap tegak pada pijakannya. Ya, ampun, itu, kan, cuman senyum doang, Sha!

"Well, aku keluar lebih dulu." Drew mundur kemudian berbalik. Dua langkah kemudian, dia kembali menoleh. "Ini cuman saran, kok. Kamu lebih oke saat rambut cokelatmu tergerai."

Begitu Drew menghilang dari pandangan, Sha mengembuskan napas. Untuk sekian detik, dia masih bergeming dan memikirkan ucapan lelaki itu tadi, apakah membiarkan saja rambunya terutai atau kembali menggelungnya?

***

Pinrang, 12 Oktober 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro