Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

36 Rencana Temu

            Sewaktu berangkat, Gio berulang kali bertanya apakah kedatangannya akan disambut baik oleh keluarga Sha? Tidak hanya itu, lelaki yang menjadi sopirnya berkali-kali kedapatan dengan wajah pucat, sesekali mengatakan menyesali keputusannya untuk ikut.

Alih-alih kesal, Sha justru gemas dan menertawakan perilaku Gio. "Aku ngebuktiinnya gimana lagi biar kamu percaya Ayah enggak bakal macam-macam sama kamu?"

"Mungkin kamu memang enggak mengerti apa yang lagi aku rasakan."

Embus napas dari Gio menyadarkan Sha jika terlalu menyepelekan kecemasan lelaki berjaket denim tersebut. "Gi, aku minta maaf."

Dalam diamnya, Gio menyempatkan diri untuk melirik. "Jauh sebelum ini, aku memang belum pernah bertemu langsung dengan orang tua teman perempuanmi. Meski konteksnya tetap aja beda. Maaf."

Seraya mengulurkan tangan dan menepuk bahu Gio pelan, Sha berujar, "Aku enggak menambah-nambahkan saat bilang, Ayah memang pelit ngomong. Beliau suka mengamati orang lain dan bertanya seperlunya jika penting. Beda sama Ibu, kamu pasti akan cepat akrab dengan beliau."

"Udah berkali-kali, lho, kamu ngomongin hal serupa."

Kontan, Sha melipat tangan dengan wajah jengkel. "Yang mancing, kan, kamu."

"Seingatku, kamu belum ngomongin tentang kampungmu sejak kemarin. Gimana penampakannya atau, hei, mobil bisa masuk ke sana, kan?"

"Tempat tinggalku enggak seterpencil itu, kok." Sha melemparkan tatapan ke luar jendela. Meski berada di kaki gunung paling selatan di Kabupaten Bandung, desa tersebut jauh lebih baik dari bertahun-tahun lalu.

Jika hujan, beberapa titik akan tergenang air hingga jalan akan becek. Menemukan pengendera ojek gunung kerap menjadi pemandangan umum. Karena desa ini berada di atas gunung Papandayan, kabut dan cuaca dingin menjadi hal biasa bagi mereka, beberapa hal yang cenderung tak disukai Sha. Ibu memang benar, Sha lebih menikmati gemerlap kehidupan kota besar daripada terkungkung di desa.

Topik pembicaraan mereka kembali pada CRIMSON saat Sha bertanya apa keinginan terbesar Gio yang belum terwujud. Tanpa berpikir panjang, lelaki itu menyebutkan posisi lebih tinggi dari Mbak Indri. Sha mengangguk, jawaban dari Gio tak terlalu mengejutkan. Soal tekad dan ambisi, keduanya memilik banyak kesamaan.

Untung Sha melibatkan Gio dalam perjalanan ini. Rasa jenuh yang biasanya mendera karena menggunakan jasa mobil travel penuh sesak dan tak menemukan rekan perjalanan yang cocok. Lelah mengobrol, Sha menawarkan pilihan lagi untuk bernyanyi. Keduanya heboh menyanyikan lagi Tones and I berjudul Dance Monkey. Ketika lagu berakhir, keduanya tertawa lega.

"Kapan-kapan, kita duet."

Sha menambahkan. "Di Famous aja."

"Penghuni CRIMSON harusnya tahu, pegawainya punya suara merdu."

"Enggak, enggak. Aku akan luar biasa malu kalau siapa pun tahu kekurangan itu."

Usai beristirahat dan makan, Gio kembali melanjutkan perjalanan. Tadinya, lelaki yang tak menunjukkan kelelahan ini ngotot agar mereka tetap lanjut. Waktu tempuh sekitar sejam lagi. Akan tetapi, Sha memaksa untuk menepi dulu. Bagaimana pun juga, pengendara harus berhenti untuk beristirahat.

"Wow, Sha!" Gio berseru disertai decak panjang. Mata cokelat hazelnya berkelana mengamati keadaan sekitar usai melewati jalan berbatu sejauh kilometer yang membuat laju mobil tak mulus.Jauh-jauh hari, Sha mengingatkan untuk menyewa mobil lain, tetapi Gio menolak. Namun, dia tak berkomentar ketika jalanan di depan mereka mulai membuat tidak nyaman, setidaknya hamparan kebun teh begitu menyegarkan mata.

Di sisi kendaraan mereka, beberapa pengendara bermotor membawa angkutan berupa sayur-mayur. Sha menjelaskan sebagian besar mata pencarian penduduk desanya yakni pemetik teh dan petani sayuran.

Mobil masih bergerak menuju hamparan tanah yang meski sedikit kering, kiri-kanannya begitu asri dengan keteduhan tanaman yang terhampar. Akhirnya, jejeran rumah penduduk tampak. Sha menaikkan telunjuk tanpa lupa memberikan detail tempat tinggalnya.

Rumah sederhana berwarna putih yang berdiri kokoh di atas undakan sudah mulai tampak. Gio memelankan mobil hingga akhirnya membuang napas. Untuk sesaat, lelaki yang rambutnya sudah berantakan hanya memandang bangunan di depannya.

Sha melepas sabuk pengaman lalu mengikuti arah pandang rekan seperjalananya ini. Tanaman perdu yang memagari rumahnya memang menjadi salah satu daya tarik tersendiri. Di sisi kanan rumahnya terdapat ruang khusus untuk tanaman anggur. "Gi, bengong aja. Kita enggak mungkin di sini terus."

"Pohon anggur itu udah berbuah enggak, Sha?"

"Nanti aku ajak kamu lihat-lihat ke sana." Sha akhirnya turun lebih dulu. Di belakangnya, Gio mengangkut travel bag kecil milik Sha. "Udah siap ke dalam?"

"Kalau enggak salah ingat, ayahmu udah berangkat kerja, kan?"

Pagi sekali, Ayah sudah membantu Ibu di dapur. Setelahnya, dia akan mengecek segala hal sebelum memulai aktivitas di luar. "Ayah selalu sibuk saat pagi menjelang siang, Gi. Tapi, berhubung aku udah janji datang hari ini, paling dia udah di dalam nungguin aku." Sha menahan tawa ketika Gio berubah pucat.

***

Lelaki yang ternyata hendak dikenalkan pada Sha adalah Riyandri Mahasin, kakak kelas culun dan baik hati. Mereka pernah bertetangga, tetapi kesenjangan di antara mereka membuatnya malu untuk bertegur sapa dengan si kakak kelas. Pada akhirnya, cinta monyet itu berakhir ketika Andri pindah.

Sha kembali bertemu dengannya semalam saat lelaki berbadan bongsor tersebut menerima undangan makan malam dari Ibu. Awal pertemuan agak kikuk karena Gio turut. Rekan sekantornya dan Ibu yang mencairkan suasana. Celetukan adik bungsunya, Taksa, mengundang tawa Andri.

Ketika makan malam berakhir, Sha mengobrol dengan Andri di luar. Pertemuan singkat itu tidak mengubah pandangannya tentang Andri kecil. Malah, Andri sebenarnya menjadi lebih baik. Karier yang sukses dan penampilan lebih trendi. Sebelum pamit pulang, Andri bertanya lebih lanjut mengenai Gio. Sha menjawab pendek jika lelaki yang begitu akrab dengan ibunya adalah rekan kerja di kantor.

Di hari berikutnya, Gio sudah menemani Ibu ke lahan yang dijadikan usaha hidroponiknya. Perbincangan Ibu bersama Kesar setahun lalu mengilhami beliau untuk beralih profesi. Sejauh ini, belum ada hasilnya, tetapi Ibu tidak mengeluh. Semangat juang beliaulah yang Sha contoh selama ini.

Sementara Ayah mengujungi salah satu rumah warga, Sha justru berjalan santai menuju perkebunan teh. Meski berkali-kali mengitari area perkebunan ini, kenangan masa kecilnya menemani Ibu memetik teh takkan hilang. Mungkin karena momen tersebut begitu menyenangkan.

Di kota memang menawarkan kehidupan yang sejak dulu Sha inginkan. Tak dipungkiri, pemandangan indah luar biasa ini tak bisa ditemukan di sana. Ketika segala kenangan masa kecil kembali muncul, ponsel dalam genggamannya bergetar. Tak menunggu waktu lama, Sha menjawab panggilan dari Andi.

"Kan, aku lagi enggak bisa telepon dulu."

Di seberang, Andi terkekeh. "Aku penasaran keadaan kampungmu."

Sha menoleh ke sekitarnya, hamparan hijau yang menjadi latar belakang sangat tepat untuk dipamerkan. Diubahnya jenis panggilan, lalu disorotnya keadaan di sekitar. "Udah percaya aku lagi sibuk di kampung?"

"Amazing!" Meski Andi menerima panggilan video tersebut, wujudnya pun tak kelihatan. "Omong-omong, kamu di mana, Siska?"

"Malah nyariin aku, dianya sendiri enggak nongol." Sha menjadi penasaran wujud Andi. Suara itu sepertinya familier. Dia merasa kerap mendengarnya, ataukah hanya dugaannya semata? Dia melangkah kecil menuruni jalan setapak kecil. "Aku boleh matiin kameranya? Susah banget ngomong kayak gini."

"Nanti dulu!"

Latar yang Andi perlihatkan berupa ruangan luas ber-funiture mahal. Lukisannya, sofa bed yan kelihatan empuk itu. Tepat di samping sofa, sekat berupa dinding kaca memberikan petunjuk jika si penelepon berada di ketinggian. Hotel atau apartemenkah?

"Kok diem aja? Mikir apaan?"

Bahu Sha terangkat pelan. "Di, kamu lagi di rumah." Kaleng minuman lalu diletakkan di meja. Decakannya terlontar tiba-tiba. "Pagi-pagi, kamu udah mengonsumsi minuman berkarbonasi?"

"Perhatiannya."

"Memang harus ada yang ingetin kalau minumnya enggak liat waktu. Kamu minumnya sambil ngemisl pasti."

"Enggak juga, kok." Andi menjawab. Ponsel sepertinya diletakkan di suatu tempat hingga Andi bisa bergerak ke sana ke mari. Sayangnya, hanya sepotong wujudnya yang tertangkap di kamera. "Sis, kalau aku ngajakin ketemuan, kamu bakal meluangkan waktu?"

Langkah Sha yang mantap mendadak berhenti. "Kenapa pengin ketemuan?" Sha merasa ini bukan ide yang bagus. Dia takut salah langkah.

"Aku suka menelepon atau sekadar balas chatting sama kamu, tapi lebih asyik ketemuan."

"Khas cowok banget, deh." Sha melanjutkan langkah. "Enggak khawatir klien curhatmu enggak terlalu cantik, Andi?"

"Jujur, aku sungguh enggak pernah memikirkannya. Bolehlah kamu pikirkan dulu. Tapi saat kamu setuju..." Andi menggantung ucapannya.

Namun, Sha sudah lama penasaran di balik sosok bernama Andi. Apakah lelaki yang menjadi temannya di ruang maya ini ternyata jauh lebih tua atau sepantaran dengannya? "Akan aku pikir-pikir dulu. Tapi, aku berharap bisa menentukan tempatnya."

"Ah, satu lagi."

"Aku pasti mengenakan hadiah darimu, kok."

***

Pinrang, 08 Oktober 2022 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro