Di antara mereka berlima, Ayah merupakan sosok tenang yang berwibawa dan pendiam. Jauh berbeda dengan sifat Ibu dan dua adiknya, Kesar dan Taksa. Meski pendiam, Ayah memiliki jauh lebih banyak kenalan di kampung. Maklum, beliau pantang menolak untuk membantu orang lain. Prinsipnya, hidupmu akan mudah jika memudahkan kesulitan orang lain. Benar saja, sewaktu Ayah operasi karena Hernia, orang sekampung berbondong-bondong menjenguk.
Sha sudah mengagumi Ayah semenjak kecil. Meski seharian bekerja di luar, beliau selalu menyempatkan waktu menemani anak-anaknya mengerjakan PR. Dulu, dua bulan sekali, Ayah akan membawanya ke kota, tak peduli betapa pun perjalanan mereka begitu panjang. Ayah tak membelikan banyak permainan, tetapi kebersamaan di antara mereka lebih dari cukup.
Jika pada Ibu, Sha dan kedua adiknya bisa merajuk atau menolak sesuatu. Namun, hal tersebut tak berlaku pada Ayah. Mungkin karena Ayah jarang sekali memberikan titah atau karena kesan intimidatifnya. Yang pasti, sekali Ayah menetapkan suatu hal, tak ada yang memprotes.
Termasuk saat Ayah meminta agar Sha pulang ke kampung. Mulanya, itu tak menjadi masalah sampai beliau menjelaskan akan mengenalkannya pada seseorang. Sha tidak mau pulang. Dia tak ingin dikenalkan pada seseorang. Dia belum merancang hubungan resmi yang pasti menjadi impian Ibu dan Ayah.
Pantas saja Ayah yang menelepon, Ibu pasti sudah tahu keinginannya akan ditolak. Hanya berseling sekian detik, Sha langsung menghubungi Anne. Temannya itu harus membantu Sha keluar dari masalah pelik ini. Celaka, dia harus menunggu besok karena Anne seketika mematikan telepon sewaktu menjelaskan sedang di luar dengan seseorang.
Saat masih terhubung, Ayah tidak menjelaskan detail lelaki itu. Sha agak menyesal karena tidak sempat bertanya. Ya, mana mungkin mengingat jika perintah Ayah membuatnya syok.
Anne akhirnya menghubungi Sha sebelum jam makan siang. Detik ketika membaca chat tersebut, dia lekas menuju ke kafe seberang kantor. Dia sungguh berharap, temannya yang beberapa hari ini menghilang, memiliki rencana yang cukup bagus.
"Hal darurat apa yang bikin kamu senewen pengin ketemuan sama aku?" Anne tak menunggu pertanyaannya meluncur hingga Sha duduk. "Tapi, kamu kok agak pucat, sih?"
"Aku pengin dijodohin, Ne!" Sha mengambil minuman yang sudah ada di meja. Hingga gelas tersebut menyisakan setengahnya, barulah diturunkan benda itu.
"Masih mending kalau cowok itu lebih dari Gio, ya." Anne yang hari ini mencepol rambutnya, tampak begitu cantik. Tubuhnya membungkuk, pertanda begitu penasaran ingin tahu lebh banyak. "Euw, kayaknya Gio masih lebih oke."
"Sebenarnya, Ayah cuman menyuruhku pulang biar bisa kenalan sama cowok itu." Pada Anne, Sha akhirnya melepas semua resah yang sejak semalam begitu menyiksa. "Tapi, aku bisa menebak, mereka pasti berharap banyak."
"Kamu enggak nanya-nanya, gitu?"
"Aku keburu kaget dan... sedikit jengkel. Kalau Ibu yang menelepon, aku bisa mengelak agar enggak pulang. Tapi, ini Ayah. Begitu pulang dan aku bertemu sama cowok entah siapa ini, habislah aku. Ayah pasti berharap kami harus menjalin komunikasi agar klik. Lalu..., Aduh! Enggak kebayang, deh, Ne."
"Seingatku, kamu pernah bilang ayahmu enggak pernah maksa."
"Justru karena Ayah enggak pernah maksa makanya kami, anak-anaknya, selalu mengabulkan apa yang beliau bilang. Aku benar-benar enggak nyangka Ayah bakal mau mengenalkan seseorang."
"Coba aja, sih, Sha. Siapa tahu cocok."
"Begitu kami mengaku cocok, pihak keluarga akan menentukan tanggal pernikahan dan sebagainya." Sha lantas merangkum kepala dengan kedua tangannya. Dia menunduk dengan mata terpejam. Kariernya akan stagnan. Menikah berarti tak bisa menunda kehamilan. Menyandang status ibu akan membuatnya sibuk di rumah alih-alih mencapai hal-hal yang belum diraihnya. "Minggu depan, aku harus pulang ke kampung, Anne. Rasanya, aku enggak bisa memikirkan rencana agar bisa menunda kepulanganku."
"Ya, udah." Anne mengambil gelas minuman. Lalu, diangkat bahunya. Senyumnya cerah, "Ajak Gio aja."
"Anne! Rencana macam apa, sih, itu? Gila banget malah nyuruh Gio bareng aku ke kampung. Selain enggak peka sama perasaannya, Ayah juga bisa salah paham."
"Itu bagus, kan?" Anne merasa tak ada yang salah dengan idenya. Justru, perempuan yang sedang memangku dagu tersebut, berkata, "Ayahmu bisa menilai, siapa yang terbaik di antara mereka."
Sha mendesah. Anne malah memunculkan masalah baru lagi jika melibatkan Gio. "Pikirkan rencana yang lain, please."
Anne tampak geregetan. "Eisha Faranisa, kamu bener-bener, deh!" Anne menaikkan telapak tangan nyari sejajar dengan wajahnya. "Cukup kenalkan Gio aja sebagai rekan kerja yang baik hati karena pengin memberikan tumpangan. Jangan lupa berikan detail kalau selama ini Gio kerap membantumu. Ayahmu bakal memberikan penilaian sekaligus membandingkan Gio, yang selama ini selalu ada untukmu, atau cowok yang belum kamu kenal sama sekali."
Penjabaran dari temannya ini membuat Sha bergeming beberapa saat. Ya, mengatakan segala kebaikan Gio takkan menjadikannya berbohong. Lelaki itu bisa membantunya lepas dari perjodohan yang kemungkinan besar dirancang Ayah dan Ibu. Hanya ada satu masalah, "Tapi, enggak tahu gimana caranya meminta tolong pada Gio. Anne, aku enggak pengin dia berharap lebih lagi."
"Masalah kecil ini bikin kamu enggak bisa berpikir, ya?" Anne berdecak. "Saat kamu mengobrol tentang pekerjaan sama Gio, kamu ungkit juga tentang cowok di kampungmu tanpa kentara."
***
Ponsel Gio tidak aktif. Apakah lelaki itu sengaja mematikan ponsel agar bisa menghindar dari rekan-rekan yang mengajaknya ke cocktail party sore ini? Pesta semacam ini biasanya diselenggarakan sewaktu-wakto oleh pemilik CRIMSON walau tak bisa dikatakan agenda rutin.
Sha menyukai kegiatan yang bisa melepaskan penatnya setelah kerap mengejar tenggat. Begitu mendapat infonya dari grup, seisi ruang Famous menyambut dengan suka cita. Dia lupa jika beberapa orang di antaranya termasuk Gio, sangat menghindari keramaian yang pasti melibatkan banyak pegawai. Padahal, dia bisa memanfaatkan waktu ini demi mengobrol dengan Gio.
Nasib baik belum juga berpihak pada Sha. Beberapa kali bertemu Gio tak lantas memberinya banyak kesempatan untuk mengobrol. Berpapasan di ruang mesin foto kopi atau di pantri selalu saja mendatangkan gangguan kecil.
Maka, ponselnya dimasukkan lagi ke tas selempang mungilnya lantas berbalik. Gerak refleksnya justru mendatangkan seruan dari sesosok yang langsung bergerak mundur. "Oh, maaf."
Drew yang memegang kaleng minuman hanya mengangguk. Mulutnya terbuka, tetapi tak melontarkan kalimat balasan. Lalu, akhirnya Drew melangkah pergi. Sedangkan Sha hendak kembali ke bangku, tetapi mendadak bingung. Bangkunya sudah terisi orang lain. Ke mana perginya Anne dan Puspa?
Sha baru akan menghubungi salah satunya, tetapi malah melihat Chakra yang sedang melambai padanya. "Duh, cowok itu lagi." Sha melebarkan senyum kemudian mengubah tujuannya. P
Area taman begitu ramai. Alunan musik lembut tak henti-hentinya terdengar. Beberapa orang sudah menyumbangkan lagu, dari yang familier sampai lagu lawas yang jarang Sha dengar. Di belakang, Chakra terus menerus memanggilnya. Meskipun tidak terlalu lapar, dia akhirnya menuju stand makanan. Di sana, terdapat aneka keik serta salah buah dan sayur. Tak ingin menunggu lama, Sha meraup beberapa keik dan memasukkannya ke wadah. Selanjutnya, dia beralih ke stand minuman. Ya, pilihannya cukup terbatas, dua jenis koktail dan minuman kaleng. Mustahil menemukan air mineral di tempat ini.
Di stand minuman, pilihannya cukup terbatas. Hanya ada dua jenis koktail dan minuman kaleng. Mustahil menemukan air mineral di acara ini. Dia mengambil minuman kaleng dan meninggalkan arean itu menuju tempat yang bisa menyembunyikannya dari Chakra. Ah, lelaki itu masih berusaha mengejar.
Ketika memindai area di taman ini, Sha malah menemukan Drew di salah satu pohon rindang. Pilihannya hanya mendatangi lelaki yang tengah menenggak minuman atau bergabung di beberapa titik kerumunan. Berhubung jaraknya lebih dekat dengan Drew, maka ke sanalah Sha.
Tak lama kemudian, Drew lebih dulu menyadari kehadiran Sha. Lelaki itu hanya melekukkan alis.
"Halo..." Sha mendekat dengan hati-hati. "Jian apa kabar, Drew?" pertanyaannya pasti membuat lelaki yang mengenakan kaus lengan panjang abu-abu berpikir dirinya sok akrab.
"She's good." Drew melirik minuman dalam pegangan Sha. "Kamu enggak mau mencoba minuman lainnya?"
"Malah, aku nyariin air mineral. Ini pilihan keduaku sebenarnya." Sha melirik ke belakang. Chakra tengah berbincang dengan seseorang. Untuk itu, Sha akhirnya berterus terang pada Drew. "Aku menghindari seseorang. Jadi, kalau enggak keberatan, aku pengin di sini untuk sementara." Sha bergerak ke sisi kanan lelaki yang belum memberikannya izin.
Drew memasukkan tangan ke salah satu jin pudar yang dikenakannya. "Siapa?"
Posisi tubuh Drew yang menjulang melenyapkan pandangan Sha tentang Chakra. "Arah pukul sembilan. Kemeja biru dan wajahnya kayak Keanu Reeves."
"Hah?"
Sha mengembuskan napas. "Tolong dong kamu cek, orangnya masih di sana apa udah pergi?"
Dengan malas-malasan, Drew menoleh juga. Ciri-ciri dari Sha menjadi referensinya dalam mencari target. "Ya, dia lagi ngobrol, tapi enggak terlihat mirip Keanu Reeves."
"Mirip banget, kok. Sekilas aja, sih. Dari samping memang enggak begitu kentara."
"Jadi, si Keanu Reeves KW ini kenapa?"
"Ganteng tapi nyebelin." Sha melirik wadah penuh keik yang mulai menggiurkan. Untuk meraupnya, Sha meminta Drew untuk memegang kaleng minuman itu sebentar saja. Keik berlapis keju yang pertama dicicipinya. Tak jauh dari hadapannya, Sha melihat rombongan, salah satunya, perempuan berambut cokelat pirang itu menarik perhatiannya.
"Dia Laura." Drew juga menyadari kehadiran Laura dan rekan-rekannya.
"Ah, cewek yang pernah kamu kejar-kejar karena ponakan CEO, tapi malah kepincut sama temanmu, kan?" Sha tersenyum ketika Drew merengut jengkel. "Kenapa, kok, kamu enggak ngejar lagi? Kan, dia sama temanmu enggak jadian?"
***
Pinrang, 04 Oktober
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro