"Coat itu ganti transfer buat beberapa bulan ke depan, Andi?"
Drew yang ada di depan kabinet, mendadak menghentikan gerakannya untuk menuang air ke gelas. Ditolehkannya kepala ke arah kitchen island, ponselnya sedang diletakkannya di sana. Tawanya meluncur pelan. "Siska, itu hadiah."
"Tapi, kok, agak mencurigakan, sih?"
"Maksudnya gimana?" Drew mengambil gelas yang penuh dengan air putih lalu duduk di salah satu stool. Benda pipih bewarna hitam tersebut masih menghubungkannya dengan Siska. Masih ada sejam lagi untuk bersiap ke acara Mami.
"Bukan berarti aku menolak. Cuman, aneh aja kamu mendadak ngasih hadiah semahal itu." Siska mengucapkan tanpa keraguan. Perempuan di seberang ini ternyata cukup mengerti produk mahal rupanya. "Jangan-jangan ini trik biar kita bisa ketemuan?"
"Well, aku enggak kepikiran ke sana, tapi kurasa perlu memikirkannya. Gimana kalau kita janjian ketemu di suatu tempat?"
"Jawab dulu pertanyaanku." Siska tidak terpancing. "Kenapa kamu ngasih aku barang mahal sebagai hadiah sementara belakangan ini kita seringnya chat, kamu malah jarang menelepon yang memang udah jadi perjanjian kita."
Usai menceritakan bagaimana hubungannya dengan Mami, Drew memang mengurangi aktivitas meneleponnya bersama Siska. Dia tidak ingin menjadi ketergantungan. Sebagai ganti, mereka seringnya berbalas chat, kadang-kadang Drew menyelipkan curhatnya. Meski begitu, menelepon jauh lebih menyenangkan. Terlebih, berbagi pada Siska sedikit meringankan ganjalannya selama ini.
"Saat di kantor, aku biasanya memberikan apresiasi pada rekan maupun staf. Harus ada timbal balik agar hubungan profesional di antara kami tetap menyenangkan. Jadi, ini semacam kebiasaan aja, Sis. Kebetulan aku melihat pakaian itu dan langsung mengingatmu." Drew mengambil keik yang dikirimkan Agnes padanya kemarin. "I will let you to say no if that thing is bad."
"Siapa bilang aku bakal menolak? Nanti bakal kukirimkan alamat padamu."
Drew melirik ponsel dan mengamati nama Siska yang ada di layar. "Alamat beneran enggak, nih?" pancingnya. Sejujurnya, Drew mulai penasaran pada sosok yang menjadi teman komunikasinya selama beberapa waktu. Apakah dia benar-benar harus mempertimbangkan bertemu Siska?
"Kalau alamat palsu mah aku, dong, yang rugi." Siska lalu memindahkan topik. "Omong-omong, bukannya kamu lagi ada acara?"
"Siska," Drew mengerang. Pesta ulang tahun pernikahan Mami tidak pernah membuatnya betah. Untung saja pesta semacam itu tak berlangsung tiap tahun. "Aku pengin ngobrol aja."
"Dan melewatkan bertemu dengan orang-orang penting?" Siska mengembalikan fakta yang pernah Drew katakan. "Besok sore, aku free, kamu bisa ngomongin semua hal yang terjadi di pesta kalau mau."
Sebelum percakapan mereka berakhir, Drew melontarkan satu kalimat saat mulai bangkit dari stool. "Siska ini nama samaran, kan?"
"Andi." Siska menjawab lalu tertawa kecil. "Jangan mulai mancing-mancing." Perempuan itu mengucapkan salam perpisahan sebelum mematikan sambungan.
Gelas diletakkan di wastafel. Kemudian, Drew beranjak dengan langkah gontai ke kamar. Keluarga besarnya dari Mami akan hadir di sana. Kebiasaan mereka adalah pamer keberhasilan. Drew tidak ada masalah dengan itu. Hanya saja, bertemu Mami bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
Mami selalu menjadi sosok asing bagi anak-anaknya. Entah kenapa, Agnes dan Will tak pernah mengeluhkan masalah ini. Atau keduanya sudah terbiasa hingga tak menjadikannya beban?
Kurang dari sejam, Drew sudah memarkir mobil di hotel berbintang tempat acara berlangsung. Dia sempat menghubungi Will dan menanyakan keberadaannya. Kakak tertuanya itu masih di perjalanan sementara Agnes dan suaminya sudah berada di dalam.
Drew menyapa beberapa orang yang bekerja di agensi Mami. Tatkala menyadari kehadiran Rekza dan Shaselfa, Drew datang menghampiri mereka. Dia langsung mengolok Rekza diam-diam karena lelaki itu takkan datang di acara mewah dan ramai begini. Rupanya, Shaselfa yang mengenakan gaun hitam panjang dan menggelung rambut panjangnya, ternyata cukup mudah membawa Rekza ke mari.
"Selfa, kalau Rekza enggak datang malam ini, aku bersedia banget nemenin kamu." Drew mengabaikan pelototan sahabatnya.
"Drew, kamu datang terlambat." Rekza memperingatkan. Dia menoleh ke belakang. "Ketimbang mengajak kami mengobrol, temui Tante Liani dan Om Sam, lalu ucapkan selamat pada mereka."
Hanya kekehan pendek yang Drew lontarkan pada pasangan suami-istri tersebut. Drew mengikuti saran Rekza, sesekali dia menyapa kenalannya. Dia sengaja datang terlambat agar langsung ke inti acara. Langkahnya kini mendekati panggung melingkar yang penuh dengan furniture mewah. Orang tuanya berdiri di sana, menyalami pengunjung dan melakukan basa-basi singkat. Lelaki tegap dan jangkung di sisi Mami, lebih dulu menangkap keberadaan Drew. Meski rambutnya mencuatkan uban, tetapi tak melunturkan ketampanannya. Papi sudah berada di depan Drew. Lalu, "Kamu masih ingat untuk ke sini, rupanya."
"Congrats, Pap."
Mulanya, Papi menepuk pundak Drew lantas merangkulnya. "Dua hari yang lalu, Will datang ke rumah. Besoknya Agnes. Hanya kamu yang tidak menunjukkan batang hidung."
Drew melirik Mami yang senantiasa mengulas senyum indahnya. "Mami pasti kesal sekali."
"Sure. You are even coming late, Son."
Tepat ketika Mami sendirian, barulah Drew mendekati Mami. Mata hitam wanita yang melahirkannya itu menghunuskan kejengkelan luar biasa. Namun, Drew meringis dan memberikan kecupan di kedua pipi maminya. "Aku tetap datang meski Mami tahu betul, aku enggak terlalu suka dengan acara yang tujuannya enggak jelas ini."
"Aku mendatangkan banyak orang penting. Orang-orang yang kemungkinan bisa mendukung karir anak-anakku." Mami memperbaiki kerah jas yang Drew kenakan. "Kebetulan kamu ganteng dan seksi, jadi aku akan cukup bangga memperkenalkanmu pada seseorang."
"Mami, come on!"
Papi bersuara, "Sudah kukatan, Drew pasti menolak."
"Sweetheart, enggak ada yang bisa menolak keinginanku." Mami mengedip, lalu pandangannya kembali pada Drew. "Ayo, ikut Mami ke sana."
Acara besar seperti ini tidak memberi kesempatan untuk berwajah jengkel, terlebih Drew sedang menggandeng Mami. Pilihan Mami selalu sempurna. Drew takkan menampik fakta itu. Namun, Drew menolak untuk mengikuti jejak dua saudaranya yang pasrah pada kehendak Mami. Agnes bisa saja mengaku bahagia dengan pernikahannya. Tidak dengan Will.
Perempuan bernama Jessica itu berwajah blasteran. Tidak begitu tinggi, tetapi ramping. Cukup mudah untuk jatuh cinta pada perempuan yang sedang melanjutkan program disertasinya di Singapura. Begitu Mami meninggalkan mereka, Jessica mengajak Drew untuk menepi di dekat pilar besar. Drew menceritakan detail pekerjaannya sementara Jessica dengan tawa merdu menjelaskan kesibukannya pada jurnal-jurnal yang mulai membuatnya bosan.
Setidaknya, Drew masih menyukai obrolan ringan mereka hingga kemudian tatapannya berhenti pada seseorang di seberang ruangan. Pegangannya pada gelas berisi minuman mengendur, hampir saja benda itu terlepas.
Perempuan yang mengaku akan berada dalam waktu tertentu di Australia, kenapa bisa hadir di acara Mami? Atau Drew sedang berhalusinasi? Dia mengerjapkan mata beberapa kali, tetapi sosok itu tetap berada di sana, tengah balas menatapnya dengan senyum lebar.
Agak terbata, Drew memohon maaf pada Jessica karena harus mengakhiri obrolan mereka. Perempuan muda itu mengerti. Gegas, Drew menyeberangi jarak yang memisahkannya dengan Rissa. Detak jantungnya tidak terkendali karena pertemuan ini.
"Sebenarnya, aku pengin menyapamu sejak tadi, Drew." Rissa masih belum beranjak dari pijakannya. "Tapi, kamu harus berkenalan dengan perempuan cantik di sana."
"Ini... ini belum ada sebulan," Drew mencicit. Lalu, pandangannya menyapu penampilan Rissa. Gaun biru dongker bermanik-manik sebetis itu begitu pas memeluk tubuh langsingnya.
Rissa melemparkan pandanng ke panggung dan menjawab, "Syuting dan lainnya berjalan lebih cepat. Lalu, Tante Liani menghubungiku dan berharap aku datang ke pesta ini."
Dan, sialnya, Mami justru mengenalkan Drew pada perempuan lain. Dia menoleh dan langsung bertemu dengan tatapan Mami yang penuh rahasia. "Kita bisa meninggalkan pesta ini sekarang juga."
"Aku enggak mau." Perempuan yang menampilkan lengan mulusnya itu mengedik. Dia melangkah lalu menutup senyumnya dengan kemurungan. "Sepertinya kamu senang mengobrol bersama perempuan berambut pendek tadi. Siapa, sih, namanya?"
Ada desah yang diembuskan oleh Drew. Tiba-tiba saja, dia merasa kelelahan. Apa maksud semua ini? "Ris, kenapa kamu enggak menelepon dari kemarin?"
"Justru aku yang harusnya protes. Hampir sebulan kamu enggak menghubungiku."
Alis Drew berlekuk mendengar ucapan Rissa, "Biasanya kamu enggak suka diganggu saat bekerja."
"Itu dulu, Drew." Dalam sekejap, raut wajah Rissa berubah. Tangannya menjangkau lengan Drew. "Drew, ada wartawan yang mendekat. Kamu harus menampilkan wajah bahagia saat menatapku."
***
Pinrang, 01 Oktober 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro