
26. Fucking Dream
Kesannya lagi memanfaatkan Palung enggak, sih? Sha menyedot banana milkshake seraya terus memperhatikan cowok di depannya, sedang membagi keik jumbo miliknya pada Sha. Mereka berkutat lebih lama di perpustakan bukan di ruang Famous yang belakangan ini lebih ramai. Tuntutan deadline seringkali membuat penghuni editorial diserang stress, kalau begitu, mereka akan mengemil dan berteriak lebih sering dari biasanya.
Tak terkecuali Sha, tetapi tak mungkin mengesampingkan Palung. Kabar baiknya, cowok paling muda di antara pegawai resmi Famous ini, pembelajar yang baik. Tulisannya masih banyak salahnya. Namun, dia tak menunggu titah Sha. Palung sendiri yang memilih novel kemudian membaca dan mengulas. Tadi, Palung juga sudah memperlihatkan aplikasi KBBI dan EYD di ponsel.
Sha benar-benar berharap, junior bimbingannya ini tidak patah semangat di tengah jalan. Urusan mereka kelar di perpustakaan tepat ketika waktu makan siang. Lekas, Palung menawarkan trakiran di seberang kantor.
Menu yang dipesan Palung rupanya terlalu banyak. Ini yang membuat Sha khawatir, semestinya dia mencegah Palung lebih awal.
"Kamu lagi diet, ya?"
Pertanyaan tersebut memicu Sha untuk menggeleng. "Aku enggak diet, cuman memang menghindari makanan manis begini. Nah, jangan memberiku pandangan sedih kayak gitu." Sha langsung protes,
"Belakangan, kamu terlihat sibuk." Palung mengulas senyum lebar. "Dan, sering melewatkan makan siang. Kadang, cuman makan roti aja."
Sha mengeluarkan desah kecil, "Kamu perhatian juga. Aku harap setelah ini, kamu enggak minta agar bebannya berkurang."
Lalu, Palung membeliakkan mata. Dengan terbata, Palung berujar. "Anu, aku memang ingin membicarakan itu, sih. Kalau bisa, aku pengin menamatkan buku dalam beberapa hari, bukannya sehari gitu."
"Kelamaan!" Sha meletakkan gelas minuman dengan kasar. Tatapannya tak pernah putus pada lelaki yang tampak terkejut itu. "Bekerja di divisi editorial, berarti kamu paham caranya menulis, Palung. Tapi, lihat, kamu bahkan enggak ngerti menggunakan tanda baca." Dia tidak memedulikan tatapan protes Palung. "Ditraktir banyak barang pun, aku tetap bakal keras sama kamu."
Mulut lelaki itu menganga. Raut ramah itu berubah. Palung menunjukkan tanda-tanda jika sudah tersinggung dengan ucapan Sha. "Aku murni mentraktir karena benar-benar pengin bilang makasih atas bantuanmu, lho."
"Karena kamu udah bahas ini, tugasmu bertambah." Sha menunduk demi menyendok keik lezat di wadahnya. "Coba kamu telepon, Gio udah di mana sekarang?"
Palung langsung menurut. Benda pipih miliknya sudah menempel di telinga, tetapi hingga sekian detik menunggu, lelaki itu belum juga melakukan percakapan. "Enggak dijawab. Mungkin sudah dalam perjalanan ke sini kali."
"Ya, udah. Kita tungguin aja sambil makan duluan."
Sebenarnya, Gio yang lebih dulu mengajak Sha untuk makan di kafe ini, tetapi tertunda karena ada sesuatu yang harus diurus. Sha mengirimkan chat pada Gio jika sudah menunggunya bersama Palung, yang hanya dijawab singkat sekali oleh Gio.
Tentang kemampuan Palung ini, Sha sudah menceritakannya pada Gio, sekaligus menumpahkan kekesalan mengenai ketidakadilan Mbak Indri. Rupanya, Gio pun mengakui hal tersebut, mengingat betapa keras dan julidnya Mbak Indri pada penulis maupun editor pemula yang bergabung di Famous di masa-masa awal berdirinya divisi editorial.
Meski berusaha menerima kekurangan Palung, Sha belum mampu menyingkirkan rasa penasarannya, apakah Mbak Indri memiliki hubungan kekerabatan dengan Palung, hingga mengikis keobjektivan sekaligus idealismenya?
Tatkala menghabiskan keik pemberian Palung, Sha pamit ke toilet. Kebiasaan buruknya sehabis meneguk minuman manis, dia selalu butuh ke kamar mandi. Gio satu-satunya lelaki yang paling mengerti. Saat pertama kali mengajak Sha keluar, Gio langsung bertanya mengenai menu yang tak biasanya Sha konsumsi.
Untuk beberapa waktu, Sha membersihkan noda di bibir kemudian mengulaskan lagi pewarna bibir rasa vanila. Pada saat yang sama, dia berdengkus karena mengingat ulah Drew kemarin saat di supermarket. Memang kapan, sih, lelaki itu bersikap baik?
Dering pendek pertanda notifikasi pesan mengejutkan Sha. Lengkungan bibirnya semakin lebar menyadari Andi baru saja mengisi jumlah nominal di rekeningnya. Lelaki itu sungguh mengasyikkan sekaligus murah hati, terbukti pada nilai transferan yang kerap dilebihkan. Padahal, curhatan lelaki itu tidak begitu berat. Kalau begini, Sha merasa enggan untuk meminta tarif ketika mereka berkirim chat.
"Lho, Gi, enggak pesen makanan?" Sha menyelesaikan dandannya lebih cepat karena Gio sudah ada di kafe. Sekembalinya di meja, lelaki dengan wajah kelelahan itu, malah menyantap keik Sha yang lain.
"Aku udah nawarin menu ke Mas Gio, tapi ditolak. Di saat yang sama, Mas Gio malah mengambil jatah keikmu."
Sha mengibaskan tangan. "Menu yang kamu pesan udah kebanyakan, Pal. Ketimbang mubazir, mending Gio yang habisin. Soalnya, aku juga udah kenyang."
Gio menatap Palung, "Semestinya kamu memesan menu makan siang yang sebenarnya, Palung."
"Sesekali makan yang manis, kan, enggak masalah, Mas. Lagian, aku memesan ini buat Sha, kok."
"Lain kali, kamu harus jauh lebih baik dari ini, Pal." Gio cengengesan dan tersenyum lembut pada Sha. "Aku enggak nepatin janji lagi."
Dengan gelengan lemah, Sha menjawab, "Ya, kan, kamunya sibuk. Makan siang bareng, kan, bisa dilakukan kapan aja, Gi. Interview-nya lancar?"
Lelaki berkacamata itu menyeringai. "Akan kuberitahu detailnya nanti. Omong-omong, punya tontonan rekomendasi buat bulan ini?"
"Beberapa drama romcom." Sha tergelak ketika menambahkan, "Dan satu film thriller."
Palung yang sedari tadi diam, kontan bertanya, "Kamu nonton thriller, Sha?"
"Sha nonton segala macam genre. Cuman belakangan ini, koleksi thriller-nya bertambah." Dalam waktun singkat, Gio sudah menandaskan dua wadah berisi keik. "Kalau aja kamu suka nonton, kita bisa membahas banyak hal menarik."
"Meski enggak terlalu suka membaca, aku tetap nyambung ngobrol sama Sha. Jadi, tanpa nonton pun, aku bisa membicarakan banyak topik menarik."
Gio dan Palung saling menatap, Sha yang memperhatikan hal tersebut merespons dengan putaran bola mata jengkel. "Guys, waktu makan siang ini sebentar lagi berakhir, lho. Kamu, Palung, habiskan isi wadahmu."
Daftar pekerjaan yang menunggu masih banyak. Sha tidak ada waktu mendengar komentar Gio dan Palung, masing-masing ingin terlihat unggul. Bulan ini, jadwal membuat artikelnya tidak sebanyak bulan lalu. Karena itu, Sha ingin mengisinya dengan melakukan interview dengan beberapa owner lokal brand, salah satunya Shaselfa Naladhipa.
Sebelum disusul oleh media lainnya, Sha ingin bergerak cepat melakukan interview dan menuliskannya. Karena perempuan itu begitu spesial, Sha harus menyusun pertanyaan yang membuat pertemuan mereka akan menarik.
Di ruang Famous, Sha langsung menuju kubikelnya, terlihat tiga rangkap artikel yang siap disunting. Dia mengabaikannya karena perlu menyelesaikan potongan artikel mengenai efek chemical sunscreen. Sebuah video lama kembali viral, isinya mengkliam jika penggunaan sunscreen bisa menyebakan kanker kulit. Sebagian beauty influencer memang sudah meredakan kepanikan orang-orang, tetapi tak ada salahnya jika Sha menuliskannya.
Berbekal jurnal kesehatan, artikel valid, dan tanya jawab dengan beberapa dokter dermathology, Sha akhirnya merampungkan kesimpulan dan bisa memulai lagi. Sore ini, artikel itu telah selesai. Dia hanya butuh membacanya ulang, menyerahkan pada Gio, dan menunggu hasilnya.
Untuk menjernihkan pikiran, Sha langsung ke bawah. Taman CRIMSON selalu menjadi pilihan terbaik, tetapi ketika seseorang menyebalkan yang akhir-akhir ini kerap ditemuinya, juga berada di sini, suasana hatinya menjadi suram.
Kolam ikan di taman, salah satu spot yang meneduhkan. Lokasinya masih berada di tengah-tengah taman. Area tersebut penuh dengan tanaman berwarna-warni. Juga beberapa pohon, serupa pohon cemara, yang entah apa sebutannya. Di balik pohon Akasia lebat itu, terdapat jalan setapak yang menjembatani kolam. Di sanalah Sha ingin duduk seraya menjulurkan kaki dan mendengarkan riak kecil air karena gerakan ikan.
Akan tetapi, Sha justru mendapati Drew. Saking kesalnya, dia malah mengembuskan napas keras-keras yang memancing lelaki berpakaian lengan panjang itu menoleh.
"Taman ini terlalu luas, tapi kamu malah memutuskan ke sini."
Sha enggan membalas komentar itu. Tidak akan membawanya pada percakapan yang berbobot.
"Ah, kamu mengikuti saranku, rupanya."
Gerakan kaki Sha yang hendak melangkah menjadi batal. Dia bertanya untuk memastikan. "Saran apa?"
"Pewarna bibir vanila itu."
Mumpung mereka tersembunyi dari jangkauan orang-orang, Sha akhirnya bergerak di tepi kolam. Sesekali-kali, rasanya tak apa-apa melepaskan emosinya pada lelaki yang menunjukkan wajah polos tak berdosa ini. "Belum ada yang pernah mengataimu kurang ajar, Drew?" tak puas dengan ucapannya, dia kembali melanjutkan. "Ya, kamu cowok sialan yang semestinya dikutuk menjadi penghuni kolam ini."
"Itu kasar sekali, Eisha." Drew mengangguk-angguk. Sama sekali tak terpedaya dengan ucapan Sha. "Dalam beberapa kesempatan, beberapa orang melakukan hal mesum di sini. Kalau begitu, aku mungkin enggak keberatan dikutuk menghuni tempat ini."
"Sinting..." Sha lantas menutup bibir. Astaga, dia sudah menggunakan kosakata yang kasar karena terpancing oleh Drew. "Orang-orang kayak kamu semestinya–"
"Kamu ada masalah apa, sih, denganku?" Drew mengernyit. Lalu, tampangnya berubah syok. "Jangan-jangan, kamu naksir denganku?"
"In your fucking dream!"
***
Pinrang, 27 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro