24. Girls Talk
"Lagi dipedekatein siapa, Sha?"
Teguran tersebut seketika membuat Sha terperanjat. Beruntung, refleksnya bagus hingga tak melorotkan ponsel dalam genggamannya. Dia menaikkan pandangan demi melihat sahabatnya yang seketika mengubah posisi, dari rebah kemudian duduk dengan mata menyipit curiga. Lantas, dia menjawab, "Bukan siapa-siapa, kok?"
"Halah, pasti cowok, kan itu?" Anne mendadak mendekat agar bisa mengintip. Sha hafal peringai Anne yang mudah kepo pada urusan orang lain, terlebih jika menyangkut mengenai lelaki yang mendekatinya. "Pasti cowok, sih, ini. Aku udah yakin melihat gerak-gerikmu."
Puspa yang masih berada di depan cermin, menyahut. "Sha sama Gio bukannya lagi deket?"
Kenapa, sih, topik itu masih saja eksis dibicarakan orang-orang. Sha hendak membantah, tetapi Anne lebih dulu menyuarakan pendapat seenak udel. "Mereka deket, tapi temenen doang, katanya. Temen, tapi lengket banget."
"Gio bukan sekadar sahabat, tapi dia udah kayak sodara."
"Oh, sodara." Anne berucap seraya bersiul panjang. "Ya, kayak aku percaya aja, Sha."
"Aku bukannya pengin menyela, nih." Puspa menepukkan dua tangan. Senyum manis itu terkembang di wajahnya. "Tapi, aku butuh komentar kalian tentang dandananku ini. Menor?"
Selepas Maghrib, Anne dan Puspa muncul di depan pintu apartemen Sha. Keduanya membawa kantung belanjaan besar. Dengan bukti tersebut, Sha yakin, kedua temannya akan menginap. Dia hanya tak menyukai gagasan kenapa Anne harus mengajak Puspa pula. Unitnya yang berukuran studio tentu tidak senyaman apartemen luas Anne. Namun, tak ada penolakan ketika sahabatnya yang loyal itu membawa camilan lumayan banyak.
"Duh, Upa." Anne menggeleng dengan senyum kecut. "Ulangi."
"Kenapa, sih, kamu jadi nurut banget sama Anne?" Sha akhirnya bertanya. Kemarin ketika Puspa mengikuti saran Anne untuk mengubah penampilannya lebih feminin, Sha tidak berkomentar banyak. Akan tetapi, dia tak menyangka Puspa harus melakukan perubahan drastis, harus belajar dandan juga.
Wajah mungil yang tengah membelakangi cermin, memberengutkan hidung dan mulutnya. "Aku kalah taruhan, masa! Aku, sih, kemarin pengin aja dikibulin Anne."
"Memang udah waktunya kamu belajar dandan, Upa." Anne berpaling pada Sha. "Dia bilang, dandan itu enggak penting. Pasti ada, kok, cowok yang bakal suka dia apa adanya. Memang ada, tapi kebanyakan cowok tuh makhluk visual. Dia deketin cewek karena cantik dulu."
"Udah, udah, udah!" Puspa membalik badan hingga menatap cermin.
Sementara itu, Sha tidak berkomentar karena terpengaruh pada getar ponsel. Seharian ini, dia asyik meladeni chat dari Andi. Setidaknya, ini bukan jadwalnya ditelepon Andi ketika Anne dan Puspa sedang di sini.
Andi: Aku fobia gelap. Dan, aku harus mati-matian biar enggak ketahuan rekan kerja di kantor. Bisa jadi bahan olok-olokan aku.
Siska: Kalau aku malah enggak bisa nyanyi. Bukan karena suara jeleknya, tapi aku kesulitan menempatkan lirik dan nadanya. Sebisa mungkin, aku selalu menghindar kalau diajak ke tempat karaoke atau nyanyi bareng dengan teman.
Andi: Bukan karena suaramu memang jelek, kan?
Siska: Rese, deh! Jadi, kamu belum ketahuan kalau takut gelap?
Andi: Sejauh ini masih aman. Tempo hari, nyaris ketahuan, sih, tapi aku berharap enggak ketemu dulu sama orang itu.
"Eisha!"
Dua suara yang memanggil berbarengan itu berhasil mengalihkan perhatian Sha sepenuhnya dari ponsel. Puspa cekikikan sementara Anne berdecak, lalu berujar. "Cowok itu pegawai di CRIMSON?"
"Bukan!" jawab Sha begitu cepat. Dia lantas mematikan ponsel dan memasukkanya ke laci nakas. Tindakan itu akan membungkam Puspa maupun Anne, walaupun dia harus menahan diri untuk tidak membalas chat dari Andi dulu.
"Nanti kalau Sha udah jadian, kamu pasti tahu juga, kok, Sha." Wajah Puspa sudah bersih dari mekap. Dengan kaus oblong berwarna putih gading, dia melangkah dan meranjak ke ranjang. "Kita tungguin aja, biar Sha enggak merasa didesak melulu."
"Ini karena aku udah capek nunggu kabar dating-nya, Upa."
Sha memberikan jempolnya untuk Puspa, setelahnya mengucir rambut dengan karet yang tergeletak di nakas. "Hampir sejuta kali kubilang, pokoknya aku belum mau pacaran!"
"Karena kamu punya trauma?" Puspa meraih guling dan merebahkan tubuh. "Aku punya kenalan yang sampai sekarang enggak mau berkomitmen karena punya trust issue."
"Enggak ada trauma." Sha menatap Puspa lebih lama. Dia menunjuk ruangan kecil di sekitarnya. "Aku punya tanggungan di kampung. Lalu, ini semua..." Tatapannya berkeliling sekali lagi di ruangan yang mereka tempati ini. "Aku pengin sukses. Dan menurutku, cowok cuman jadi penghalang. Kecuali aku dilamar sama pengusaha milyarder, yang kemungkinannya enggak bakal terjadi."
Hidup penuh kekurangan itu sungguh tak mengenakkan. Sha berjanji akan mengubahnya. Dia tak berencana melalui kesulitan dalam hal finansial selamanya. Diterima di CRIMSON adalah wujud dari mimpi-mimpinya. Tahapan untuk sukses itu masih panjang, tetapi Sha berjanji, akan melalui segala tantangan demi berada di puncak.
"Aku nyerah kalau kamu udah ngomong kayak gitu." Anne mengikuti jejak Puspa dengan rebah, tetapi tatapannya melekat di langit-langit kamar.
Hening dalam waktu singkat itu kembali diisi dengan pernyataan Puspa. "Selagi ada kesempatan buat mengejar karier, ya hajar aja, sih. Bunda selalu bilang gini, dia enggak pernah menyesal tinggal di rumah untuk merawat anak-anaknya karena sebelumnya dia udah puas buat mengejar apa yang diinginkannya." Embus napas terdengar. "Makanya, aku enggak ribet mikirin cowok dulu."
Sha tertawa pendek. "Begitu aku punya cowok, aku harus mengenalkannya pada Ibu dan Ayah." Itu sebuah keharusan. Dan, jika terjadi, Sha akan mendengar serentet pertanyaan orang tuanya mengenai hubungan yang lebih serius. Dia masih menikmati pekerjaannya saat ini.
"Berarti, aku doang yang mikirin cowok tiap harinya." Anne menggoyangkan jemari kakinya. Ketika belum ada yang menanggapinya, Anne kembali melanjutkan. "Aku membuka hati pada siapa pun cowok yang naksir ke aku semata-mata karena berpikir, salah satu di antara mereka bisa aja jadi jodohku, kan? Ujung-ujungnya, kami putus dan aku harus memulai lagi dari awal."
"Drew pernah mendekatimu, kan?" ucapan Puspa tidak hanya membuat Anne resah. Itu juga mengejutkan Sha. "Sayangnya... kalian enggak pacaran."
"Karena Drew berengsek!"
Ingatan Sha melayang pada sandal Hello Kitty yang pernah Drew ungkit-ungkit sewaktu mereka bertemu di taman. "Ingat sandal Hello Kitty yang kamu buang dan akhirku kupungut, kan? Drew masih ingat, lho."
"Girls." Anne menggosok kening lalu melarikan pandangannya pada Sha dan Puspa. "Drew mendekatiku cuman biar move on dari mantannya waktu itu."
"Rissa, ya?" Detik itu juga, Puspa memiringkan tubuh. Kepalanya disanggap dengan satu tangan. Terlihat begitu jelas, Puspa mulai tertarik pada cerita Anne.
Tidak dengan Sha. Dia langsung teringat pada janjinya siang tadi. Malam ini, dia harusnya memeriksa ulasan novel dari Palung. Keasyikannya dengan Andi hampir saja membuat lupa pada tanggung jawabnya yang lain.
Ulasan dari Palung baru saja sampai di email-nya. Sebenarnya, Sha sempat merasa was-was lelaki itu akan berkelit dari tugas tersebut. Dua hari yang lalu, Palung agak cemberut ketika Sha meminta harus mengulas lagi bacaan novelnya.
Ketika Sha mengunduh fail tersebut, Puspa berseru. "Sha, kamu enggak pengin dengerin curhat Anne?"
"Aku sibuk." Usai mengatakan hal tersebut, Sha tidak mengalihkan tatapan dari fail ketika bergerak mendekati kursi di depan cermin. Tepat ketika bokongnya menyentuh kursi, Sha berdengkus dan ingin segera mengambil telepon demi menghubungi Palung.
Sha masih bertanya-tanya, kenapa Mbak Indri begitu mudah meloloskan Palung bekerja di Famous?
***
Pinrang, 25 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro