12. Menghindar
Sha merasa sangat sial. Di antara semua hal, kejadian di kafe itulah yang paling membuat malu. Kenapa orang yang mengetahuinya justru Drew. Sha ingin marah. Pada saat yang sama, dia juga ingin menghilang dalam sekejap. Namun, tidak ada pilihan paling tepat selain segera membenahi kancing dress.
Tiga hari telah berlalu, tetapi Sha tetap merasa malu ketika bayangan Drew muncul tanpa ekspresi dan memberitahu apa yang terjadi. Dia mengutuk kebodohannya karena tak sekali pun mengecek kondisi dress tersebut.
Dress berwarna cokelat itu bisa saja menjadi salah satu favoritnya. Setelah kejadian memalukan di kafe, dia menyelipkan dress tersebut di bagian paling bawah tumpukan baju. Beberapa hari ini Sha kerap meminta pada Tuhan agar jangan sampai berpapasan dengan Drew di sudut mana pun di CRIMSON.
Akan tetapi, doanya tak terkabul. Siang hari ketika turun ke lobi untuk mengambil paket, Sha melihat sosok IT Manager tersebut bersama rekannya, beranjak meninggalkan ruang tunggu, hanya berjarak empat meter darinya. Sha menunduk dan mengambil ponsel, berpura-pura sedang mengetikkan pesan. Padahal yang dilakukanya yakni menyunting isi catatan mengenai jadwal tayang artikel pada web Famous.
Sha bahkan sengaja menelepon Anne, membahas hal remeh-temeh meskipun di seberang, temannya itu sedang tak ingin mendengarkan. Beruntung, kedua lelaki yang tingginya nyaris sama tersebut, membicarakan hal serius, hingga tak menyadari kehadiran Sha di belakang mereka. Hari itu, Sha bisa lolos, tetapi tak yakin pada hari keesokannya. Andai saja, mereka tak perlu bertemu sepanjang tahun ini.
Anne yang akhirnya tahu kejadian saat di kafe, berkomentar ringan, "Gitu, doang?" buru-buru, dia menambahkan tatkala Sha memelotot. "Maksud aku, udah kejadian juga, kan, Sha? Lagian, mereka lihat apa saja, sih, dari kerah yang terbuka lebih lebar itu?"
"Belahan dadaku, Ne!" Sha memilih berseru histeris, tak peduli Anne yang berada sekian centimeter darinya, menjengit karena kaget. Malamnya, Anne datang. Dia tidak memiliki tujuan dan berakhir ingin mengacaukan ruang apartemen Sha yang kecil.
"Kamu enggak punya mantra untuk menghapus ingatan mereka. Beneran, aku pasti malu banget kalau di posisimu. Cuman, aku enggak akan menyiksa diri untuk terus mengingatnya. Itu, kan, bikin keki diri sendiri aja."
Ya, ya, Anne tidak akan beramsumsi seperti itu jika Sha mengatakan dengan jujur jika Drew-lah salah satu orang yang melihat kancing dress miliknya. Sebaliknya, Anne pasti mencak-mencak dan mengatakan, lelaki itu kurang ajar dan sejenisnya.
Sha menumpukan punggung di sandaran sofa lalu melepas desah. "Memang menyiksa banget, tahu. Aku jadi malu ketemu siapa pun. Belum lagi, aku pasti penasaran siapa saja yang sudah melihatku sebelum menyempurnakan lagi dress yang kukenakan."
"Cowok-cowok itu, kuyakin udah menyaksikan pemandangan lebih bagus dari belahan dadamu. Aduh!" Anne mengelus paha ketika Sha menepak. "Enggak ada maksud body shaming, Sha. Sumpah."
Ponsel dari kamar Sha mendering dengan nyaring. Langkahnya lebih cepat untuk mengambil benda tersebut. Nomor baru lagi. Dia menatap nomor tersebut agak lama demi menggali fail dalam benaknya. Pada akhirnya, Sha menjawab telepon tersebut.
"Hai, aku Andi." Suara bariton yang sepertinya pernah Sha dengar. "Aku pernah menelepon sebelumnya."
Tentu, Sha ingat dengan identitas ini sekarang. Seseorang yang mengaku sedang menghubungi jasa pendengar curhat. Ketika Sha bermaksud ingin mengisengi, si penelepon lantas mematikan telepon. Pikirnya, mereka sama-sama saling mengisengi. Lalu, kenapa seseorang bernama Andi ini kembali menelepon?
"Ya, aku ingat. Jadi, setelah perenungan berhari-hari, akhirnya kamu memutuskan untuk lanjut?" Sha mengintip, ingin tahu apa yang temannya lakukan di luar.
"Aku setuju dengan semua persyaratan itu. Jadi, kapan kita bisa mulai?"
Sha berdiri tepat di belakang pintu. Suaranya dilirihkan. "Malam ini, aku enggak bisa. Ada pekerjaan lain yang harus aku urus. Kamu bisa chat aku besok kalau masih tertarik. Gimana?" percakapan itu berakhir setelah si penelepon mengiakan.
Untuk sesaat, Sha termenung. Bagaimana kalau si penelepon kembali menghubunginya?
***
Kedatangan Anne memang membawa kembali kepercayaan diri Sha yang sempat melindap ke dasar bumi. Dress yang disangkanya telah membawa sial, sudah tergantung rapi di bagian sebelah lemari. Kancingnya harus dibetulkan dulu sebelum dikenakan lagi.
Besoknya di ruang Famous, mereka kedatangan tamu. Palung, si pegawai baru datang terlebih dahulu. Badannnya tegap dan berisi. Ramah dan terlihat kekanakan di usianya yang hampir menjelang 24 tahun. Bu Indri memulai perkenalan lalu meminta bantuan Gio untuk menjelaskan beberapa hal. Setengah jam berikutnya, dua pemagang; Juni dan Tita nyaris datang bersamaan. Sesi perkenalan lebih singkat dari sebelumnya, lalu giliran Sandra yang mengajak keduanya melakukan tur kecil di ruangan ini.
Di sela-sela istirahat menyunting artikel, Sha membuka Instagram dan menyeringai tatkala mendapatkan respons dari Shaselfa Naladhipa. Dia memang mengirimkan pesan kemarin. Perempuan yang mulanya pernah bekerja di perusahaan kosmetik yang juga menjalin kerja sama dengan CRIMSON, mengiakan tawaran interview-nya. Hanya, kegiatan tersebut tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat. Shaselfa memiliki beberapa kegiatan, di antaranya tiga acara Talk Show. Sha bahkan diundang jika berminat. Tak ingin memberikan kesan yang buruk, Sha berjanji akan menghadiri salah satu acara tersebut. Sebelum lupa, dia mencatat di post-it, juga menuliskannya di ponsel.
"Mbak, ke perpusnya kapan-kapan aja, ya?" Palung yang memberikan usul selepas mereka meninggalkan ruang Famous.
Tiga artikel sudah disunting. Sore itu, Sha menawari Palung ke perpustakaan. Dia membutuhkan sebuah referensi dan keberadaan Palung bisa dimanfaatkan untuk mengambil buku yang jauh dari jangkuannya. Dalihnya pada pegawai baru tersebut, mereka akan mengunjungi salah satu ruang favorit lainnya di CRIMSON.
Rupanya, Palung memiliki ide lain. "Saya penasaran banget pengin ke atas. Mas Gio bilang, meski para manager berkumpul di sana, tapi staf biasa kayak kita enggak dilarang naik."
"Memang, iya. Tapi, pengin ngapain? Biasa aja, kok."
Tahu-tahu, Sha merasa tidak nyaman. Dia tidak ingin menemani anak baru ini ke lantai yang kemungkinan besar akan mempertemukannya dengan Drew. Seperti yang Anne bilang, Drew pasti sudah melihat lebih dari yang kemarin, tetap saja Sha merasa malu akan malu setengah mati.
"Katanya, ada ruang hiburan segala."
Sha menanggapi dengan sabar. "Ada smooking area sama home theatre. Enggak terlalu menarik, kok. Di lantai setelahnya, ada tempat karaoke, tapi staf kayak kita enggak ada akses ke sana. Kecuali kamu pengin langsung ke atap?"
"Pemandangannya bagus?"
Tanggapan Sha berupa tawa kecil yang membuat Palung mengulas senyum, ternyata ada satu lesung pipit di sudut bibir bawahnya. "Terkesan berantakan malah. Tempat itu enggak terurus gitu. Pengap banget kalau siang. Tapi, satu setengah jam dari sekarang, pemandangan langit sorenya keren, lho."
Palung melirik ruangan lain yang mereka lalui. Sha ikut menoleh dan aktivitas di dalamnya cukup hening dan rapi. Tidak seperti ruang Famous, yang tiap meja stafnya, kadang penuh tumpukan buku. Belum lagi camilan. Juga botol minuman. "Berarti, waktu langitnya berubah keren, tuh, pas pukul limaan lewat, ya? Mbak masih mau temenin saya ke sana besok, enggak?"
Sha ingin menolak tawaran itu secepat mungkin. Dia sudah memiliki janji dengan Cakra. Setelah upaya permintaan maaf yang terus-menerus dilancarkan, Sha akhirnya luluh juga.
"Mbak, ada apa?" Palung bertanya dengan nada mendesak.
"Pal, kita ke kantin aja!" Sha tidak ada waktu menunggu jawaban cowok di sebelahnya. Dia langsung menariknya berbelok, meski harus melewati jalan memutar yang lebih jauh. Itu tidak apa-apa ketika Sha harus berhadapan dengan Drew.
***
Pinrang, 13 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro