It's You
.
.
.
.
Adalah sebuah ikat rambut berbahan kain melingkar di pergelangan tangan Haejung. Milik Yoori, ia temukan di antara tumpukan buku-buku mewarnai di sudut kamar anak itu. Bermotif polkadot warna terang, berlatar warna merah tua. Jahitannya terlepas di bagian ujung, kalau diamati baik-baik maka ia bisa melihat seberkas warna putih karet di dalamnya.
Ini ikat rambut pemberian Mirae. Hadiah beberapa bulan lalu saat mereka pertama kali tiba di apartemen baru Haejung usai skandal besar-besaran yang melibatkan mereka dan keluarga Heung. Haejung tidak ingat semua detil mengenai hari itu. Harinya panjang dan melelahkan. Proses pindah rumah walau dibantu oleh jasa angkut dan semua pelayan keluarga Jo tetap menguras energinya. Ia benci ponselnya yang berdering terus-menerus, benci akan terkurungnya dia di dalam penthouse dan tidak bisa berkeliaran sesuka hati seperti beberapa hari sebelumnya.
Jo Haejung benci berpisah dari Yoori.
Ha. Ia tertawa mengingat hari di mana ia mulai menerima anak perempuan itu apa adanya. Yoori masuk ke dalam hidupnya lewat pintu yang menjeblak terbuka—terlalu tiba-tiba hingga ia tidak bisa mempersiapkan diri. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Ia hanya tahu sepucuk surat dan akte kelahiran di dalam keranjang.
Pikirnya, siapa perempuan gila yang mendalangi semua omong kosong konyol ini? Haejung orang berpengalaman, ia tahu kapan harus menggunakan pengaman. Hari itu, keningnya berkerut, dipijat berkali-kali pun peningnya tidak kunjung hilang. Berusaha menghitung. Berusaha menebak…. Bahkan dengan bantuan Hyunra pun rasanya tetap menemukan jalan buntu.
Seiring berjalannya waktu, ia bersyukur Yoori datang ke kehidupannya.
Bersyukur anak perempuan itu tidak melakukan aksi klasik ngambek-ngambekan karena ayahnya memiliki ego tinggi—ego yang runtuh karena kenakalan bujangnya ternyata menghasilkan seorang gadis kecil berambut agak ikal, persis rambut yang tumbuh di kepalanya. Memang pepatah klasik mengatakan, apa yang kau harapkan dari berhubungan seks tanpa pengaman? Televisi?
Haejung ingin membakar siapa saja yang terlibat dalam penulisan pepatah klasik tersebut.
Sekali lagi, ia benar-benar bersyukur karena Yoori tidak pernah membencinya sekeras apa pun Haejung ingin Yoori pergi dari kehidupannya. Ia, Jo Haejung, putra tunggal Jo Jaewang, tidak pernah membayangkan di usia 28 tahun akan menjadi seorang ayah. Dalam semua pendidikan yang didapatkannya seumur hidup, tidak ada pelajaran bagaimana caranya menjadi seorang ayah. (Bukannya ia mau menjadi ayah, tapi….)
Haejung baru mengerti beberapa waktu setelah menjalaninya, bahwa dengan menjalani semua ini, ia pun belajar menjadi seorang ayah. Secara insting, ia mulai berpikir dan bertindak sebagai seorang ayah. Mulai menyayangi Yoori, yang dia pikir bakal mustahil terjadi.
Masalah baru muncul kemudian, ketika Mirae melemparkan pertanyaan itu padanya.
“Bos, kau tidak pernah kepikiran untuk mencari ibu Yoori? Masa seorang Jo tidak dapat menemukan seorang perempuan.”
Provokator sialan.
.
.
.
.
Siang itu, beberapa minggu jaraknya dari pertemuan terakhir dengan Iseul yang tidak disengaja, tanpa diduga sebuah telepon dari nomor pribadi masuk ke ponselnya. Haejung baru saja menyelesaikan makan siangnya dengan beberapa orang investor dan berencana memanggil sekretarisnya untuk mencarikan kado ulang tahun putri dari pemilik firma hukum kepercayaan Hyundai ketika layar gawainya berpendar.
Panggilan itu berujung pada ajakan makan siang dari Kwon Iseul.
“Aku baru saja selesai makan siang,” tutur Haejung sedikit menyesal. Ada apa dengan Iseul dan ajakan makan siang yang tiba-tiba? Chunji pernah bilang Iseul ada di pub tempat ia minum-minum sampai pengar, tapi apa hubungannya?
Dia sama sekali tidak mengerti.
“Bagaimana dengan kopi?” tawar Iseul. “Starbucks Seocho, setengah jam lagi?”
Ingin Haejung mengumpat, Seocho setengah jam lagi, memangnya dekat?! Tapi ia hanya berujar, “Oke,” dan telepon terputus di sana.
Terpaksalah ia memberikan instruksi pada Bona lewat pesan teks. Cari kado untuk anak perempuan umur sepuluh. Kado kekinian. Dia anak bungsu. Singkat, padat, sama sekali tidak membantu. Mengenal tabiat Hwang Bona, sudah bisa dipastikan sekretaris iblisnya akan misuh-misuh sampai bulan depan.
Haejung menepikan mobilnya setelah membelah kemacetan Seoul di siang hari, mempersilakan petugas valet mengambil alih mobilnya sementara ia meloncat turun dari Rubicon barunya yang berusia sebulan. Lewat lima menit dari perjanjian, namun Iseul tidak membanjiri pesan teksnya seperti kebanyakan perempuan lain. Iseul memang bukan perempuan lain. She’s the one he shared each and every moment years ago. Well, she used to be.
Di salah satu sudut Starbucks yang jauh dari pusat perhatian, Haejung menemukan perempuan berambut panjang itu duduk memunggunginya. Rambutnya tergerai di punggung, cokelat tua seperti ingatannya. Iseul telah memesan minumannya sendiri, tidak berbasa-basi menunggu Haejung datang atau menawarinya memesan sebelum Haejung tiba.
“Kau sudah makan?” adalah pertanyaan pertama yang Haejung tanyakan begitu tangannya meraih kursi di seberang Iseul. Keningnya mengernyit saat menyadari Iseul memilih duduk di sofa, sementara ia kebagian kursi kayu berpunggung tinggi. Seandainya saat ini berlangsung tujuh tahun yang lalu, mungkin ia akan menggeser posisi Iseul di sofa dan mengecup keningnya.
Sebagai jawaban, Iseul menunjuk sandwich di hadapannya, bersebelahan dengan americano yang baru sedikit diminum. “Aku bisa makan nanti dalam perjalanan ke kantor,” jawabnya kemudian.
Haejung tidak bisa memprotes lagi mengenai kesehatan lambung wanita itu. Ia mengangkat bahu, berusaha terlihat tidak peduli. “Aku pesan minuman dulu.” Tanpa duduk di kursi, ia kembali ke arah konter, memesan dolce gusto kesukaannya belakangan.
Lima menit kemudian Haejung kembali ke kursinya bersama secangkir kertas berisi kopi panas berbau harum. Tangannya nyaris terbakar oleh dinding cangkir, namun ia tidak peduli. Haejung lebih terbakar penasaran kenapa Iseul mendadak ingin bertemu. Secuil kecil harapan dalam hatinya berasumsi Iseul merindukannya. Merindukan teman. Cepat-cepat ia membunuh harapannya sendiri.
Beberapa kejadian belakangan membuatnya belajar bahwa tidak baik berharap terlalu banyak. Harapan itulah yang akan mencekiknya di kemudian hari.
“Tumben dolce gusto.” Iseul mengerjap, mengamati isi cangkirnya. Haejung menaikkan sebelah alis.
“Lagi kepingin saja,” jawabnya netral. Tidak ingin memberikan informasi yang akan dibuang Iseul begitu saja bersama tarikan napas berikutnya. Lagipula, mereka bertemu sekarang ini sebagai apa? Teman jelas bukan. Rekan kerja? That one ex-one night fling? Mereka tidak berlangsung satu malam saja, tahu. “Minggu lalu aku bahkan beli decaf. Kau tidak akan percaya.”
Iseul mengangkat bahu sedikit. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis sebelum melempar topik lainnya. Percakapan demi percakapan mulai terjalin dalam waktu siang hari mereka. Haejung bahkan memutuskan mengabaikan undangan makan malam bersama ibunya seandainya Iseul berencana mengajaknya memesan menu di salah satu bistro dekat sana. Ia sudah menolak makan siang kasual, then they should get a fancy dinner instead, walau belum ada kesepakatan terucap.
“Ngomong-ngomong soal dekorasi Natal,” Iseul baru saja meneguk kopinya yang tersisa setengah. Haejung tidak lagi melihat bongkahan es batu mengapung di tengahnya, pertanda waktu sudah berlalu cukup lama semenjak minuman itu pertama dipesan. Mana berani ia melirik arlojinya. Sangat tidak sopan. “Gadis kecil yang bersamamu saat itu … anakmu?”
Suara Iseul agak bergetar, Haejung tidak tahu kenapa.
Ingatan Haejung melayang pada pertemuan itu, inpromptu sekali. Saat ia memutuskan berbelanja hadiah Natal kira-kira sebulan sebelum masa Advent dimulai—yang mana sangat lucu, karena Gereja bahkan belum mengumumkan mengenai perlombaan lingkaran Advent untuk anak-anak seusia Yoori—mereka berdua berpapasan dengan Iseul di mal. Mirae tidak dibawa serta hari itu, karena hari itu adalah hari ayah dan anak. Pengasuh Yoori hanya nyengir dan melesat ke kamarnya untuk berdandan. Haejung rahu Mirae juga butuh berkencan dengan pasangan dari aplikasi kencan daringnya.
“Oh, maksudmu Yoori?” Mimik wajah Iseul tetap sama. Mungkin getaran samar dalam suaranya barusan hanya perasaan Haejung saja. “Dia putriku.”
Iseul mengangguk-angguk. “Kau menikah.”
“Aku tidak. Hampir, tapi bukan dengan ibu Yoori.” Haejung merasa salah tingkah. Kepalanya mendadak terasa gatal dan tangannya merayap naik untuk menggaruk. “Aku bahkan tidak tahu siapa ibunya.”
Iseul kembali mengangguk. Kali ini tidak menatap mata Haejung, melainkan fokus pada minumannya, lalu pada dolce Haejung yang tersisa lebih sedikit dari punyanya. Haejung selalu minum kopi dengan cepat, seolah-olah berharap kecepatan tinggi menambah akselerasi kafein dalam darahnya. Padahal tidak ada hubungannya.
“Umur berapa dia? Sudah sekolah?”
Pertanyaan klasik. Akhirnya mereka tiba di usia membicarakan kehidupan anak masing-masing.
“Aku sudah mendaftarkannya di kelompok bermain tahun lalu. Yoori cepat bergaul dan agak nekad. Minggu lalu ia menjambak rambut teman laki-lakinya karena rambut keritingnya ditertawakan.” Ditunjuknya rambutnya sendiri. “Kau lihat rambutku? Walau aku tidak tahu ibunya, aku tahu pasti aku ayahnya karena rambut kami sama-sama keriting seperti mie.” Seperti itulah pertama kali Yoori menggambar rupanya. Gambar dari krayon itu masih tertempel di kulkas Haejung, dijepit magnet berbentuk bulat.
“Apakah Yoori cerewet?”
“Mmm.” Haejung berpikir-pikir. “Semua perempuan yang kukenal cerewet. Yoori juga cerewet. Barangkali pengasuh Yoori—namanya Mirae—mempengaruhinya. Dia tidak ikut kemarin. Seo Mirae selalu menceramahiku ini-itu, padahal umurnya sepuluh tahun di bawahku. Setiap pagi, suaranya sudah merajalela di mana-mana. ‘Bos, ini’ atau ‘Bos, itu’. Kalau aku tidak bangun, Mirae bakal memukul pintu kamarku keras-keras agar pertanyaannya dijawab.”
“Kedengarannya Mirae punya kepribadian yang menarik.”
“Mirae mirip sekretarisku.” Haejung mendesah, membuang napas panjang-panjang. “Bayangkan ada dua orang begitu cerewet dalam dua puluh empat jam. Telingaku sampai berdenging. Yoori jadi terbawa cerewet, hanya saja dia menggemaskan.”
“Yoori suka permen?”
“Lumayan.”
“Cokelat?”
“Suka.” Haejung tidak ingat camilan apa saja yang ada di kabinet dapur, tetapi separuh isi kabinetnya tergusur dan digantikan makanan-makanan kesukaan Yoori. Kemarin ia kehabisan Skippy dan tidak menemukan botol cadangannya dalam lemari, malah menemukan sekotar sereal rasa madu di sana. “Tapi, Iseul. Aku tidak perlu ekstra parsel Natal berisi makanan manis untuk Yoori. Hyunra praktis membeli banyak sekali permen edisi Natal untuk Yoori, langsung dari New York.”
Sudut-sudut mata Iseul menyipit, tertawa. “Pakai kartu kredit hitammu?”
Jo Haejung mendengus. “Apa lagi “
Iseul kembali menanyakan beberapa pertanyaan lagi mengenai Yoori, dan Haejung sedang mengira-ngira apakah sekarang gilirannya mengorek mengenai keluarga Iseul. Adakah kekasih? Tunangan? Mantan yang berusaha menghubungi kembali?—ia tidak berada di kategori terakhir, lho. Atau … Iseul punya anak adopsi? Siapa tahu ia mencari informasi mengenai kehidupan anak-anak agar tidak kikuk setelah menyelesaikan segala macam tes persyaratan menjadi orang tua adopsi.
Setelah puas banyak bertanya, Kwon Iseul mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Rambutnya terlempar ke depan bahu.
“Terima kasih telah memperkenalkanku pada Yoori.” Ada senyum sendu di sana, kembali menerbitkan tanda tanya buram di kepala Haejung. “Sudah lama tidak tahu apa-apa tentangnya sejak….”
Kalimat Iseul berhenti. Dan sebelum Haejung sempat bertanya lebih lanjut, perempuan itu menyodorkan ponselnya, dengan layar kunci menyala terang ke hadapan Haejung.
Untuk sesaat, tenggorokan Haejung tercekat. Udara berhenti masuk ke paru-parunya.
Di sana, tampak bayi mungil manis bagai malaikat. Berbulu mata panjang dengan pipi menggembung lucu. Rambutnya masih tipis, namun jelas ikal-ikal kecil tampak di puncak kepalanya.
“Ini sehari sebelum ulang tahun pertamanya.” Tatapan Iseul terarah pada layar ponselnya, mencurahkan segenap cinta tak terlisan. “Aku lama merindukannya. Aku senang dia baik-baik saja selama ini.”
Jantung Haejung kembali berdegup setelah lupa berdetak selama sedetik. Kepingan puzzle mendadak muncul ke dalam kepalanya, dan di sana ia mendengar bunyi ‘klik’ nyaring ketika kepingan itu menyatu.
“Itu kau.” Ternyata, selama ini kamu….
Mata Kwon Iseul yang berkaca-kaca sudah cukup menjadi jawabannya.
Akhirnya, aku menemukanmu.
.
.
.
.
Total: 1770w
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro