Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25. Runyam

Jella over thinking luar biasa setelah beberapa kali dihindari oleh Tim. Pria bermata sipit itu langsung kabur begitu bertemu dengannya. Ini bukan praduga Jella saja, tetangga sekaligus rekan kerjanya yang sudah berubah status menjadi teman itu, terang-terangan langsung putar balik ketika bertemu dengan Jella.

Sudah enam hari mereka terjebak dalam kondisi tidak bicara sama sekali. Jangan ditanya bagaimana usaha Jella karena wanita berponi itu sudah bolak-balik menghampiri Tim, tetapi temannya itu tetap tidak bicara dan terus menghindar. Kali ini, ia tidak akan melewatkan kesempatan untuk bicara dengan Tim. Pria berambut mullet itu tidak akan bisa menghindarinya jika bicara soal pekerjaan.

"Ini data hasil inventarisnya, ada beberapa revisi setelah semua sampel selesai dijadikan spesimen, ada satu sampel yang mengalami kerusakan, dan ini bahan untuk rapat nanti." Jella menghadang Tim yang berjalan di depan mejanya. Ia sudah menunggu sambil pura-pura menatap komputernya. Setengah jam lalu, ia berniat menghampiri meja Tim, tetapi ketua penelitiannya itu malah langsung beranjak dari tempat. Akhirnya, Jella harus memilih langkah yang lebih mirip pembegalan berencana.

Tim sempat kaget. Matanya langsung menatap ke arah lain, tetapi begitu sadar kalau yang dibicarakan Jella adalah pekerjaan, ia tetap diam mendengarkan. Sebenarnya, ia sangat merindukan bertengkar dengan Jella, tetapi setelah melihat cincin pemberian Niko masih ada di jari manis wanita itu, Tim langsung bicara dengan wajah datar. "Bisa diletakkan di meja saya."

Jella menghela napas. Tangannya yang memegang semua berkas hasil penelitian itu masih menggantung di udara ketika Tim meninggalkannya begitu saja. Kepalang kesal sekaligus gemas, Jella melontarkan tanya yang membuat semua orang di ruangan itu menganga. "Kenapa lo ngindarin gue?"

Tim sempat berhenti, tetapi ia tidak menoleh dan langsung melanjutkan langkahnya.

"Satu minggu penuh lo ngindarin gue, padahal kita serumah!" Jella sudah tidak peduli pada suara bisik-bisik dari orang yang ada di ruangan itu. Suara bisik-bisik itu menjelma menjadi bising yang membuat pusing, tetapi ia tidak terpengaruh sama sekali.

Pernyataan Jella membuat Tim kontan berbalik. Ia bisa melihat kalau semua mata di ruang kerja tengah menatap mereka penasaran. Pria bertubuh tinggi itu langsung menghela napas kasar dan menarik Jella keluar ruangan.

Tim melepaskan genggamannya setelah mereka tiba di bawah pohon besar. "Gue tahu, lo emang nekat. Cuma gue nggak nyangka bakal senekat tadi."

"Suruh siapa lo ngindarin gue sampe seminggu? Gue nggak tahu salah gue apa, jadi, mending bilang sekarang. Biar jelas. Gue butuh penjelasan."

Tim memejamkan mata dan menghela napas beberapa kali. Ia menyibak rambut sebelum akhirnya bicara, "Gue lagi nggak pengen ngomong sama lo."

Jella memutar bola matanya malas. Ia melipat tangan di dada dan mendongak supaya bisa menatap mata temannya. "Yang gue tanya alasannya. Kenapa lo menghindari gue?"

Tim terdiam. Ia membuang pandangan matanya ke segala arah, berusaha mencari alasan yang lebih pantas dan masuk akal dibandingkan dengan alasan aslinya. Tidak mungkin Tim mengatakan kalau ia cemburu karena cincin yang melingkar di jari manis wanita itu.

"Tim, gue nunggu jawaban lo. Jangan kabur dari masalah. Apa lo nggak terima karena gue pegang tangan lo tanpa minta izin? Atau lo nggak suka waktu gue bilang ke Niko kalo kita serumah? Atau lo ada masalah lain? Salah gue apa? Seenggaknya kasih gue penjelasan!"

Pertanyaan Jella membuat Tim merasa bersalah. Ia langsung menatap mata wanita bermata besar itu dengan tatapan sendu. Namun, belum juga ia bicara, Jun sudah menghampiri mereka.

"Rapat sama Bu Alia dimajuin, soalnya gue sama Bu Alia ada seminar siang ini." Jun bicara dengan nada tenang, tetapi matanya menatap Tim dan Jella bergantian.

"Oke, gue ambil bahan rapat dulu." Tim langsung berbalik dan masuk ke gedung bidang herbarium.

"Gue udah jelasin sama orang-orang tentang tinggal serumah yang lo maksud. Biar nggak pada salah paham. Maaf udah ganggu lo ngobrol sama Tim, tapi Bu Alia udah manggil. Ntar lanjut lagi aja, ya." Jun berbisik setelah melihat sorot kecewa di mata anak buahnya.

Setelah tiba di ruangan Bu Alia, mereka duduk berdampingan di satu sofa yang sama. Kalau dulu, Jella yang duduk di tengah karena Tim dan Jun tengah bertengkar, kini Jun harus mengalah dan duduk di tengah karena dua anggotanya tengah terlibat perang.

"Maaf harus panggil kalian ke sini. Tadinya saya mau langsung ke gedung herbarium, tapi Jun menolak karena takut mengganggu yang lain."

"Iya, Bu. Nggak apa-apa." Jella menjawab ramah.

"Oh, iya. Gimana pengalaman di hutan?" Bu Alia bertanya pada Jella, tetapi matanya sesekali melirik Tim yang terus menunduk.

Jella melirik Tim, kemudian ia menjawab, "Menyenangkan, rekan-rekan di sana juga kompeten dan baik sekali. Saya berasa liburan karena dikasih kamar sendiri."

Jun menoleh dan menatap Tim tidak percaya. "Lo kasih Jella kamar sendiri? Lah, biasanya juga nggak mau ngalah. Kalo jadi ketua Tim, lo pasti langsung klaim kamar."

Jun mengaduh setelah Tim menginjak kakinya tanpa peringatan.

Jella menarik senyum tipis setelah mengetahui kalau Tim memang memberikan perhatian berlebih padanya. Jella tidak sengaja melihat Bu Alia menatap Tim dengan ekspresi heran. Wanita paruh baya itu mengunci tatapannya pada Tim, hingga Jun memecah keheningan.

"Untuk spesimen, kami sudah menyelesaikan hampir seluruhnya. Hari ini kami akan menyelesaikannya dan untuk dokumentasi diperkirakan akan selesai di minggu ini. Untuk foto spesimen, saya yang akan mengerjakan, sedangkan untuk foto di lapangan, Tim dan Jella yang akan mengerjakan. Data base sudah kami kirimkan via email. Ini hasil print out-nya." Jun menjelaskan dengan penuh wibawa.

Bu Alia menerima laporan Jun, melihat lembar-lembar tersebut, kemudian beralih pada Tim.

Kini, ganti Tim yang bicara. "Ada satu spesimen yang rusak karena di lapangan kami cukup kewalahan menerjang hujan, tapi untungnya kita selalu mengambil sampel ganda, jadi tidak ada masalah. Hanya saja, satu spesimen ini harus ditandai agar tidak dilakukan pertukaran."

"Proses identifikasi sudah selesai setelah revisi terakhir. Penulisan laporan sudah selesai dan sudah saya email untuk di-review. Sempat ada pembaruan karena diduga kita menemukan spesies baru atau spesies yang bermutasi, tetapi setelah dilakukan penelusuran, identitas spesimen itu sudah diketahui." Jella menambahkan dengan penuh percaya diri.

"Oke, terima kasih. Kalian sudah bekerja keras." Bu Alia menyunggingkan senyum dan menatap mereka satu per satu. "Khusus Jella, saya boleh minta waktunya sebentar?"

Pertanyaan wanita berambut tergulung itu, mendapat anggukan dari Jella. Tim dan Jun juga langsung beranjak dari sana setelah pembahasan mereka selesai.

"Saya suka hasil laporan kamu." Bu Alia berpindah ke samping Jella.

"Terima kasih, Bu. Saya nggak mungkin bisa tulis itu semua tanpa bantuan teman-teman di lapangan." Jella menjawab dengan senyuman yang membuat matanya menyipit dan membentuk lengkungan kembar.

"Jella, saya boleh tanya sesuatu?"

Jella langsung mengangguk, tetapi ia langsung membeku di tempat begitu mendengar pertanyaan Bu Alia.

"Kamu punya hubungan spesial dengan Tim?"

Sebuah ketukan membuat perhatian mereka teralih ke pintu.

"Silakan masuk." Bu Alia menjawab.

"Maaf mengganggu, Bu. Supir sudah siap, Pak Jun juga sudah ada di depan." Pria yang mengenakan tag nama V-Bio itu langsung tersenyum begitu melihat Jella. "Bu Jella."

Senyuman itu langsung dibalas senyum oleh Jella. "Pak Jamal, akhirnya ketemu di kantor, ya."

Bu Alia terkejut karena interaksi antara Jella dan asistennya yang tidak terduga. "Kalian kenal?"

"Bu Jella sama Pak Tim main ke rumah saya minggu lalu." Pak Jamal menjawab malu-malu.

"Ah, begitu. Tolong sampaikan pada Jun, kita berangkat sepuluh menit lagi."

"Baik, Bu." Jamal kembali menutup pintu.

"Jella, kamu sama Tim punya hubungan spesial? Saya nggak pernah dengar Tim kasih kamar ke orang lain, bahkan Jun sahabatnya." Alia tertawa kecil. Nada bicaranya jadi penuh antusias. "Kamu ke rumah Pak Jamal sama Tim? Kenapa bisa kamu pergi ke sana sama Tim?"

Jella tersenyum kaku. Ia mengusap tengkuknya dan tanpa sadar meniup poni. "Saya cuma berteman sama Tim, Bu." Pengennya, sih, lebih. Cuma orangnya lagi silent mode jadi gue nggak tahu harus gimana. "Saya diajak Tim ke sana."

"Ah, berteman, ya?" Bu Alia tersenyum penuh arti. "Menurut kamu Tim gimana? Anaknya memang keras kepala dan agak manja, tapi kata rekannya di lapangan, dia bisa jadi leader yang baik."

"Tim itu baik banget, Bu. Semua rekan kerjanya nggak cuma menganggap dia sebagai ketua, tapi juga keluarga. Saya juga kagum sama pengambilan keputusannya yang cepat kalau di lapangan. Dia selalu memastikan semua anggotanya dalam kondisi siap sebelum bergerak. Dia perhatian." Dan selalu ada buat gue. Jella tidak sadar kalau ia mendeskripsikan Tim seperti orang yang sudah dibayar untuk semua pernyataannya.

Bu Alia tersenyum sangat lebar. Jella tidak pernah melihat seorang direktur yang tersenyum selebar itu hanya karena salah satu anak buahnya bekerja dengan baik.

"Jella, saya titip Tim, ya. Saya dengar dari Jun, dia tinggal di rumah yang sama dengan kamu."

Jella langsung pening seketika. Biasanya ia ingin baku hantam dengan adiknya, tetapi kini, ia ingin baku hantam dengan Jun. Melihat Bu Alia yang tersenyum, mau tidak mau Jella mengangguk.

Nitip Tim, kayak nitip anak kucing. Boro-boro mau jagain Tim, dia aja nggak mau ngomong sama gue.

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro